Berita Bangka Selatan

2 Pelaku Curanmor Dibebaskan Kejari Basel Gunakan Restorative Justice Ini Alasan dan Dasar Hukumnya

Kejaksaan Negeri Bangka Selatan mengakhiri dua kasus pencurian dengan pendekatan restorative justice.

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: Teddy Malaka
Ist Kejari Bangka Selatan
Kepala Kejaksaan Negeri Bangka Selatan, Riama Sihite saat menghentikan kasus pencurian dengan tersangka Ayel (41) di Kantor Kejaksaan setempat, Kamis (19/10/2023). Kasus pencurian itu kini berakhir damai setelah diselesaikan melalui keadilan restoratif. 

BANGKAPOS.COM--Kejaksaan Negeri Bangka Selatan mengakhiri dua kasus pencurian dengan pendekatan restorative justice.

Keputusan ini diterima setelah Jaksa Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum), menyetujui sembilan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan prinsip keadilan restoratif.

Kepala Kejaksaan Negeri Bangka Selatan, Riama Sihite, menjelaskan bahwa dua kasus telah dihentikan penuntutannya dengan dasar keadilan restoratif.

Sebagai tindak lanjut, pihak kejaksaan telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022.

"Jam Pidum menyetujui sembilan permohonan penghentian berdasarkan keadilan restoratif. Dua di antaranya berasal dari Kejaksaan Negeri Bangka Selatan," kata Riama Sihite pada Jumat (20/10).

Riama menjelaskan bahwa dua kasus yang diakhiri penuntutannya adalah kasus yang melibatkan tersangka Ayel (41), warga Kelurahan Teladan, Kecamatan Toboali, serta tersangka Nazori alias Erik (35), warga pendatang Kelurahan Ulak Kemang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Ayel ditangkap oleh polisi setelah mencuri sepeda motor teman dekatnya yang tidak dikunci pada Minggu (20/8).

Tersangka mengakui pencurian tersebut bertujuan untuk memiliki kendaraan tersebut dan menggunakannya sendiri, karena ia tidak memiliki kendaraan.

Sementara itu, tersangka Erik mencuri sepeda motor milik seorang penjual nasi uduk pada Rabu (6/8/2023).

Pencurian terjadi saat pemilik sepeda motor membuka warung nasi uduk di Jalan Jendral Sudirman, Kecamatan Toboali.

Pada saat itu, sepeda motor milik korban diparkirkan di tepi jalan dengan kunci masih melekat pada kendaraan.

Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian.

Ada beberapa alasan penuntutan kedua kasus ini dihentikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif.

Pertama, kedua tersangka dan korban telah menjalani proses perdamaian dan telah meminta maaf serta menerima permohonan maaf.

Kedua, kedua tersangka belum pernah dihukum sebelumnya dan ini merupakan tindakan pidana pertama mereka.

Ketiga, ancaman hukuman maksimal adalah denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun.

Keempat, tersangka berjanji untuk tidak mengulangi tindakan kriminal.

Kelima, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, atau intimidasi.

Riama menegaskan bahwa dalam menyelesaikan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif, pihaknya selalu memprioritaskan perlindungan korban.

Tujuan utama dari keadilan restoratif adalah memastikan bahwa korban mendapatkan keadilan dan pemulihan dari kerugian yang dialaminya.

"Kita ingin korban merasa puas, telah memaafkan tanpa adanya paksaan. Dengan demikian, situasinya akan kembali normal, sehingga kita merasa tidak perlu lagi menghukum orang ini dengan penjara," pungkas Riama.

Apa Itu Restorative Justice, Dasar Hukum dan Syarat Dilaksanakannya

Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu pendekatan dalam penegakan hukum dan penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada pemulihan dan perdamaian.

Pendekatan ini memungkinkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan lainnya untuk secara bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan ke keadaan semula.

Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan, yang bisa melibatkan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Tujuan utamanya adalah memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta menghindari stigmatisme sosial yang sering terjadi dalam proses penegakan hukum tradisional.

Dasar Hukum Restorative Justice:

  • Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal ini mengatur tentang penyelesaian perkara dengan perdamaian antara pelaku dan korban dalam kasus tertentu.
  • Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP): Pasal ini mengatur proses penyelesaian perkara pidana melalui mediasi.
  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012: Peraturan ini berkaitan dengan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia: Dokumen ini mengatur pelaksanaan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda, serta penerapan restorative justice.
  • Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015: Surat ini menyinggung penyelesaian tindak pidana ringan dengan pendekatan restorative justice.
    Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif: Peraturan ini mengatur prosedur penanganan perkara dengan pendekatan restorative justice oleh Kepolisian.
  • Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif: Peraturan ini mengatur penghentian penuntutan perkara dengan pendekatan restorative justice oleh Kejaksaan.

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice meliputi tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 483 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana paling lama 3 bulan atau denda sebesar Rp 2,5 juta.

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara tindak pidana anak, tindak pidana perempuan yang berhadapan dengan hukum, tindak pidana narkotika, tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, tindak pidana lalu lintas, dan perkara pidana lainnya.

Syarat Pelaksanaan Restorative Justice:

Syarat pelaksanaan restorative justice dapat dibagi menjadi dua, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat-syarat ini akan memastikan bahwa pendekatan restorative justice dilakukan dengan benar dan sesuai dengan hukum.

Syarat Umum:

  • Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat: Penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice harus diterima dan tidak menimbulkan konflik sosial.
  • Tidak berdampak konflik sosial: Proses restorative justice tidak boleh menciptakan konflik baru di masyarakat.
  • Tidak berpotensi memecah belah bangsa: Proses ini tidak boleh mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
  • Tidak berhubungan dengan radikalisme dan separatisme: Tindakan kejahatan yang memiliki kaitan dengan radikalisme atau separatisme mungkin tidak cocok untuk penyelesaian dengan restorative justice.
  • Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan: Pelaku yang sering melakukan tindak pidana dan sudah memiliki putusan pengadilan sebelumnya mungkin tidak memenuhi syarat.
  • Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang: Tindakan kriminal dengan karakteristik tertentu seperti terorisme, pengancaman keamanan negara, korupsi, atau tindak pidana yang melibatkan nyawa orang tidak cocok untuk pendekatan restorative justice.

Syarat Khusus:

  • Perdamaian dari kedua belah pihak: Harus ada kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat. Namun, dalam kasus tindak pidana narkotika, perdamaian tidak dapat digunakan.
  • Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku: Ini meliputi pengembalian barang yang dicuri, ganti rugi kepada korban, penggantian biaya yang ditimbulkan oleh tindakan pidana, dan/atau penggantian kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan pidana. Semua ini harus diatur dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak korban.
  • Kesepakatan semua pihak: Proses restorative justice harus didasarkan pada kesepakatan sukarela semua pihak tanpa paksaan atau tekanan.

Dengan memenuhi syarat-syarat ini, restorative justice dapat menjadi alternatif yang efektif dalam penyelesaian perkara pidana di mana perdamaian, pemulihan, dan keterlibatan semua pihak menjadi prioritas.(*)

(Bangkapos.com/Zulkodri)

 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved