Berita Bangka Barat
Ini Wilayah Operasi Kawanan Bajak Laut di Perairan Bangka, Terkenal Sadis, Berhasil Dibekuk Polisi
Seperti empat titik daerah kerja para pelaku ini, Sungsang, Tempilang, Pulau Nangka, dan Selat Bangka. Para tersangka perompak ini
Penulis: M Zulkodri CC | Editor: fitriadi
BANGKAPOS.COM-- Empat pelaku perompakan dengan modus operandi yang sadis dan berbahaya telah berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung.
Mereka dikenal aktif beraksi di perairan Tempilang dan sekitarnya, dengan target utama para nelayan yang sedang beroperasi di wilayah tersebut.
Keempat pelaku tersebut adalah Hidayat alias Dayat (28), Mat Raye alias Mat, Krisna Alias Nyonya (21), dan Rudi (39), semuanya berasal dari Desa Sungsang II, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Mereka ditangkap setelah polisi mendapat informasi dari berbagai pihak terkait aktivitas mereka.
Wakapolres Bangka Barat, Kompol Iman Teguh, mengungkapkan bahwa para pelaku biasanya beroperasi dengan menggunakan kapal jenis tongkang dan tidak segan-segan menggunakan senjata tajam, seperti parang, untuk mengancam korban.
Terungkap dari pengakuan mereka, ada titik wilayah kerja yang sering perompak berkeliaran mencari korban dari kalangan nelayan.
Wilayah itu antara lain perairan Sungsang, Selat Bangka, Tempilang dan Pulau Nangka.
Ia mengatakan, dengan berhasilnya polisi menangkap empat perompak, pada Sabtu 20 Januari 2024, di daerah Sungsang banyak informasi yang didapatkan kepolisian.
"Seperti empat titik daerah kerja para pelaku ini, Sungsang, Tempilang, Pulau Nangka, dan Selat Bangka. Para tersangka perompak ini biasanya sering naik ke kapal jenis tongkang," kata Wakapolres Bangka Barat, Kompol Iman Teguh, kepada wartawan, Kamis (8/2/2024).
Mereka dikenal sangat berbahaya dan tidak ragu melukai korban jika bertindak melawan.
Modus operandi para pelaku adalah menghadang kapal-kapal nelayan yang lewat di perairan Tempilang dan sekitarnya.

Mereka melakukan perampokan dengan cara mengancam para awak kapal dan mengambil barang-barang berharga milik korban.
Meskipun para tersangka ini ditangkap tanpa perlawanan, polisi menemukan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam jenis parang yang digunakan dalam aksi kejahatan mereka.
Beruntungnya, tidak ada korban jiwa atau luka-luka dalam serangkaian perompakan yang dilakukan oleh kelompok ini.
Untuk mencegah, kejahatan di perairan Bangka Barat, dikatakan Iman, personel Polairud Polres Bangka Barat telah melakukan patroli dan menerima sejumlah aduan dari nelayan, apabila kembali ditemukan perompak.
"Kegiatan rutin itu patroli, tetapi jangkauanya kalau kapal kita ada batas wilayahnya, seperti di Tempilang dan kita info dari masyarakat nelayan kepada Polairud kerjasama dengan kepolisian di wilayah lain," lanjutnya.
Diberitakan, sebelumnya, empat perompak yang garang saat melakukan perompakan terhadap awak kapal nelayan, kali ini tak bernyali ketika dicokok aparat kepolisian dari Sat Polairud Polres Bangka Barat.
Keempat tersangka itu, Hidayat alias Dayat (28), Mat Raye alias Mat, Krisna Alias Nyonya (21) dan Rudi (39) semuanya berasal dari Desa Sungsang II, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Kemudian satu lagi, tersangka yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) bernama Mat Yani alias Sibo (22).
Wakapolres Bangka Barat, Kompol Iman Teguh, menyampaikan kronologis ungkap kasus tersebut pada Rabu (7/2/2025) di Mapolres Bangka Barat.
Ia menjelaskan, pada Jumat (19/2/2024) sekitar pukul 17.00 WIB, terjadi pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan di perairan Tempilang, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung.
"Pada saat itu, kapal bubu KM Mega Padang milik Sudirga alias Dirga yang berlayar berdekatan dengan kapal bubu KM Guna 1 milik Karjono, berlayar dari perairan pulau Nangka Bangka Tengah menuju perairan Mentok. Ketika tiba di perairan Tempilang kapal bubu dihadang oleh kapal kecil yang tak beratap," kata Wakapolres Bangka Barat, Kompol Iman Teguh, di dampingi Kasat Polairud Iptu Yudi Lasmono, kepada wartawan, Rabu (7/2/2024) di Mapolres Babar.
Ia menambahkan, kapal tak beratap itu bertuliskan doa ibu yang berawak sebanyak empat orang, kemudian menghentikan kapal bubu milik Sudirga dan Karjono.
"Mereka beraksi menggunakan senjata tajam jenis parang. Dengan cara tiga orang segera menaiki kapal bubu, dengan dua membawa senjata tajam, jenis parang dan mengancam," kata Iman Teguh.
Sembari mengancam, para tersangka ini melakukan aksinya dengan mengambil benda ataupun barang milik korban yang dirompaknya di tengah laut perairan Tempilang. Akibat peristiwa itu, korban merasa dirugikan dan melaporkan ke Satpolairud Polres Bangka Barat.
Sejarah Lanun dan Elanong di Bangka Belitung, Bajak Laut di Perairan Timur Sumatera

Fenomena bajak laut di perairan timur Sumatra bukanlah hal baru. Aktivitas mereka telah menjadi masalah yang dihadapi kerajaan-kesultanan dan pemerintah kolonial sejak zaman dahulu.
Para bajak laut tersebut terkenal karena aksi kejam mereka dan tidak segan-segan melukai korbannya.
Mereka sering kali meneror kapal-kapal perdagangan di perairan strategis seperti Selat Malaka, Selat Bangka, dan Selat Belitung.
Pada masa kekuasaan Sriwijaya di wilayah barat daya Asia Tenggara, aktivitas bajak laut diatur dengan ketat.
Ini memungkinkan para pedagang Muslim untuk melakukan perdagangan di Nusantara melalui jalur seperti Aceh, Selat Malaka, dan wilayah Melayu lainnya. Sriwijaya memiliki kontrol yang kuat atas para bajak laut ini, terutama untuk menjaga keamanan laut dan memastikan kelancaran perdagangan ke ibu kotanya.
Sriwijaya juga mengendalikan lalu lintas transportasi laut yang menghubungkan India dan Cina pada abad ke-7 hingga ke-11.
Namun, setelah Sriwijaya jatuh, kontrol atas bajak laut tersebut mulai berkurang.
Tidak ada catatan pasti tentang bagaimana kebijakan bekas penguasa Sriwijaya saat menjadi vasal Majapahit di abad-abad berikutnya.
Akibatnya, aktivitas bajak laut semakin meningkat di perairan tersebut.
Periode berikutnya menyaksikan perubahan dari kerajaan Hindu-Buddha di Sumatra menjadi kesultanan Islam.
Penguasa setempat beralih agama menjadi Muslim atau digantikan oleh penguasa muslim lainnya.
Salah satu contohnya adalah Palembang, yang pada saat itu menjadi tempat pelarian orang-orang Kesultanan Demak selama konflik.
Raja Ki Mas Hindi kemudian memutuskan hubungan dengan Pulau Jawa, membentuk kesultanan baru yang meliputi Sumatra Selatan, Bangka, dan Belitung.
Namun, kesultanan ini juga harus menghadapi masalah lama yang sebenarnya bisa ditangani oleh Sriwijaya, yaitu keberadaan bajak laut.
Banyak bajak laut yang beroperasi di perairan timur Sumatra Selatan, tinggal secara nomaden di atas kapal, dan singgah di perairan dangkal atau pesisir untuk waktu yang singkat. Di Bangka Belitung, mereka dikenal sebagai lanun yang mengganggu kapal dagang dan nelayan, bahkan melakukan aktivitasnya di perairan air tawar seperti Sungai Musi di Sumatra Selatan.
Menurut Fithrorozi, seorang budayawan Belitung, lanun sebenarnya adalah suku Iranun yang berasal dari Filipina Selatan dan terkenal sebagai bajak laut di Asia Tenggara sejak abad ke-18.
Fithrorozi dari budayawan Belitung mengatakan, Lanun sebenarnya adalah suku Iranun yang asalnya dari Filipina Selatan. Mereka dikenal sebagai bajak laut di Asia Tenggara sejak abad ke-18.
Sejatinya, tidak semua orang suku Lanun adalah bajak laut, hanya saja stereotip yang digaungkan oleh kolonial Belanda.
"Sehingga muncul banyak folklor yang menjadikan Lanun sebagai tokoh antagonis," terangnya. "Meskipun jika dirunut toponimi, pulau kecil menujukan Lanun, tidak sepenuhnya bajak laut. Dari Filipina Selatan mereka ke Belitung. Bisa jadi Belitung sudah lama menjadi melting point bagi pengarung samudra." Ujarnya seperti dikutip dari Nationalgeografic.grid.id
Sementara di Sungai Musi dan Selat Bangka, bajak laut disebut sebagai Elanong yang akar istilahnya sama dengan Lanun.
Peneliti sejarah Endang Rochmiatun dari UIN Raden Fatah Palembang menjelaskan bahwa kesultanan Palembang sering kali menghadapi masalah dengan bajak laut, bahkan melakukan beberapa upaya untuk menanggulanginya.
Lewat makalahnya ia menjelaskan, residen Palembang berkali-kali mengajukan protes kepada Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804) soal bajak laut. Pihak kesultanan pun sudah berkali-kali menghalau para elanong, tetapi tidak bisa menghilangkannya.
Bahkan, pada abad ke-19, terdapat tokoh bajak laut yang sangat terkenal bernama Raden Jafar.
Kesultanan harus beradu kekuatan besar untuk menaklukkannya. Ada juga tokoh lain bernama Panglima Raja dari Belitung.
Kekuasaan bajak laut ini bahkan sampai ke Cirebon.
Aktivitas bajak laut ini juga berdampak pada perdagangan timah oleh VOC, yang mengalami kemunduran karena VOC tidak mampu membeli timah.
Sultan Bahauddin menolak untuk memberikan komoditas tersebut kepada VOC secara kredit, sehingga pegawai VOC terpaksa melakukan perdagangan gelap dengan pedagang lokal.
Namun, perdagangan gelap ini juga menghadapi tantangan karena ancaman bajak laut.
Hingga saat ini, keberadaan bajak laut di perairan timur Sumatra seperti Laut Natuna dan dekat Belitung masih menjadi masalah yang relevan.
Masyarakat setempat masih menyebut mereka sebagai lanun atau elanong, menandakan bahwa fenomena bajak laut masih terus berlanjut dan menjadi perhatian serius.(*)
(Bangkapos.com/Riki Pratama/Zulkodri/Nationalgeografic.Grid.id)
Polisi Tangkap Pelaku Penganiayaan Pemuda di Bangka Barat, Korban Anton Tewas |
![]() |
---|
Kejari Bangka Barat Gelar Lomba Karikatur dan Cerpen, Ajak Siswa Kenal Kejaksaan Lebih Dekat |
![]() |
---|
Jalan Buntu Atasi Defisit Anggaran, Pemkab Bangka Barat Potong TPP PNS hingga 65 Persen |
![]() |
---|
Lomba Gerak Jalan HUT ke 80 RI di Bangka Barat, Bupati Berharap Memberikan Dampak ke UMKM |
![]() |
---|
Polres Bangka Barat Bongkar 4 Ponton Isap Produksi Ilegal di Perairan Cupat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.