Pilpres 2024

Inilah Profil 3 Tokoh di Film Dirty Vote, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, Feri Amsari

Lantas siapakah ketiga penggagas film dokumenter Dirty Vote, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari?...

|
Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: Teddy Malaka
Tribun
Inilah Profil 3 Tokoh di Film Dirty Vote, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, Feri Amsari 

BANGKAPOS.COM -- 3 ahli hukum tata negara dalam film Dirty Vote menguak sejumlah fakta dan bukti-bukti dugaan adanya penyelewengan perundang-undangan dalam Pemilu 2024.

3 tokoh di film Dirty Vote itu adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Film Dirty Vote merupakan film dokumenter yang mengupas perihal dugaan adanya kecurangan selama persiapan pemilu 2024.

Film ini diluncurkan pada masa tenang pemilu Minggu (11/2/2024) dan langsung menjadi bahan perbincangan di berbagai media sosial.

Bahkan di media sosial X (dulu Twitter), film Dirty Vote ini berhasil menjadi trending topic.

Lantas siapakah ketiga penggagas film dokumenter Dirty Vote, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari?

Zainal Arifin Mochtar merupakan seorang pria kelahiran Makassar Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 8 Desember 1978.

Saat ini ia bekerja sebagai dosen hukum tata negara di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Zainal pernah menjabat sebagai Direktur Pukat UGM dan meraih gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum UGM pada 2003.

Hingga kini Zainal aktif dalam kegiatan anti-korupsi melalui lembaga Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM.

Selanjutnya, Zainal Arifin Mochtar melanjutkan studi magister hukum di Northwestern University, Amerika Serikat, pada 2006.

Ia kemudian kembali menempuh pendidikan di UGM untuk mendapat gelar doktor pada 2012.

Selain bergiat di PUKAT UGM, ia juga menjadi anggota Tim Task Force Penyusunan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2007.

Selanjutnya menjadi anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan pada periode 2015 hingga 2017, anggota Komisaris PT Pertamina EP dari 2016 hingga 2019.

Pada 2022 ia ditunjuk sebagai Anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya pada 2023, mendapatkan penunjukan sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan untuk periode 2023 hingga 2026.

Bivitri Susanti lahir pada 5 Oktober 1974, yang berarti saat ini ia berusia 50 tahun.

Perempuan yang akarab disapa Bibip ini merupakan lulusan Sarjana Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1999.

Setahun sebelum lulus dari UI, Bivitri bersama beberapa senior dan rekannya mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Dikutip dari situs Bung Hatta Award, Bivitri lantas melanjutkan studinya di University of Warwick di Inggris dan lulus pada 2002.

Dari Warwick, Bivitri menempuh pendidikan doktoral di University of Washington School of Law, AS.

Selama ini, Bivitri dikenal sebagai dosen, aktivis, dan juga pakar hukum tata negara.

Ia juga dikenal aktif dalam kegiatan pembaruan hukum lewat perumusan konsep dan langkah-langkah konkrit pembaruan,

serta dalam mempengaruhi langsung penentu kebijakan.

Bivitri pernah tergabung dalam Koalisi Konstitusi Baru (1999-2002), penulisan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, Tenaga Ahli untuk Tim Pembaruan Kejaksaan (2005-2007), Tenaga Ahli untuk Dewan Perwakilan Daerah (2007-2009), hingga advokasi berbagai undang-undang.

Saat ini, ia tercatat sebagai pengajar tetap di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, dikutip dari situs resmi PSHK.

Atas dedikasinya di bidang hukum tata negara, Bivitri meraih Anugerah Konstitusi M Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada 2018.

Feri Amsari adalah pria kelahiran Padang, Sumatra Barat (Sumbar), pada 2 Oktober 1980. Ia merupakan lulusan S1 dan S2 Hukum Universitas Andalas (Unand).Tak hanya itu, ia juga merupakan lulusan William & Mary Law School, AS.

Saat ini, Feri tercatat sebagai dosen FH Unand.

Dikutip dari situs resmi Unand, ia juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Unand.

Feri diketahui sudah bergabung dengan Pusako sejak Desember 2004.

Sebagai pakar hukum tata negara, Feri aktif menulis di berbagai media cetak lokal maupun nasional. seperti Kompas, Kotan Tempo, Media Indonesia, Padang Ekspress, Singgalang, dan Haluan.

Diketahui, film Dirty Vote besutan Dandhy Laksono tayang perdana pada Minggu (11/2/2024).

TKN Pertanyakan Keterangan 3 Tokoh Pakar Hukum Tata Negara di Film Dirty Vote

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman mempertanyakan keterangan tiga orang pakar hukum tata negara yang diwawancarai dalam film dokumenter Dirty Vote.

Sebuah film dokumenter yang ramai diperbincangkan setelah ditayangkan di YouTube Dirty Vote pada Minggu (11/2/2024) kemarin.

Habiburokhman menyebut keterangan tiga pakar hukum tata negara dalam film dokumenter Dirty Vote tidak ilmiah dan lemah secara argumen.

Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Politikus Partai Gerindra itu mengkritik keterangan Feri Amsari tentang penunjukkan 20 pj. kepala daerah terkait pemenangan paslon tertentu.

Habiburokhman mempertanyakan bagaimana kepala daerah bisa memastikan pilihan politik warganya.

"Itu kan narasi yang sangat spekulatif yang lemah secara argumen, makanya jauh dari ilmiah."

"Saya ragukan dia (Feri Amsari) ini doktor apa bukan? Emang bukan doktor? Oh, belum. Pantas juga, jadi ilmunya belum sampai di tingkatan yang filosofis,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI itu pun mempertanyakan keterangan Bivitri Susanti tentang kecurangan Pemilu yang disebutnya tidak melampirkan bukti dan status pelaporan.

Habiburokhman juga mempertanyakan keterangan Zainal Arifin Mochtar tentang keterlibatan kepala desa.

"Di negara demokrasi semua orang memang bebas menyampaikan pendapat."

"Namun, kalau kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan dalam film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang sangat asumtif dan sangat tidak ilmiah,” katanya.

Adapun Dirty Vote mengungkap kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dan dugaan penggunaan instrumen kekuasaan untuk memenangkan paslon tertentu dan “merusak tatanan demokrasi.”(*)

(Bangkapos.com/Banjarmasinpost.co.id/Kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved