Berita Bangka Selatan
Sudah Mencemari Lingkungan, Walhi Babel Minta Izin Perusahaan Tambak Udang di Pantai Jibur Disetop
Walhi Babel meminta agar pemerintah segera melakukan audit terhadap sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) perusahaan.
Penulis: Cepi Marlianto | Editor: Hendra
BANGKAPOS.COM, BANGKA – Aktivitas tambak udang PT. SBM di kawasan Pesisir Pantai Jibur, Dusun Gusung, Desa Rias, Kabupaten Bangka Selatan diduga telah mencemari lingkungan.
Diduga limbah dari perusahaan tambak udang tersebut dibuang begitu saja laut lepas tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu.
Direktur Eksekutif WALHI Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz mengatakan izin perusahaan tambak udang di Pesisir Pantai Jibur harus dihentikan karena sudah mencemari lingkungan.
Tak hanya itu, Walhi meminta agar pemerintah segera melakukan audit terhadap sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) perusahaan.
Sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
“Izin perusahaan tambak udang intensif di Pesisir Pantai Jibur, Dusun Gusung, Desa Rias harus dihentikan,” ujar dia kepada Bangkapos.com, Kamis (23/5/2024).
Hafiz sapaan akrabnya menilai, jika dilihat dari aktivitas tambak memang mengakibatkan tercemarnya pesisir Pantai Jibur sudah selayaknya dievaluasi dan dihentikan izinnya.
Bahkan berdasarkan pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kematian spesies dilindungi dan rusaknya ekosistem pesisir. Mulai dari kepiting remangok, ikan hingga penyu sisik.
Lebih parahnya kalangan nelayan pesisir mengalami penurunan hasil tangkapan, sekaligus merasa gatal-gatal ketika usai melaut.
Dirinya menduga perusahaan itu tidak memiliki carrying capacity alias perencanaan yang memperhatikan daya dukung lingkungan.
Perencanaan tersebut sangat penting dilakukan untuk melihat kemampuan lingkungan untuk mendukung, mengurai, dan menetralkan limbah-limbah hasil buangan budidaya tambak udang
“Jika menurunnya hasil tangkap nelayan ada beberapa ancaman pidana terhadap perusahaan pencemar lingkungan. Utamanya menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH-Red),” jelas Hafiz.
Di sisi lain sambung dia, fenomena usaha tambak udang yang berjalan di Bangka Belitung yang belum memiliki carrying capacity alangkah baiknya tidak boleh beroperasi sebelum izin tersebut dikeluarkan.
Ekspansi tambak udang di Bangka Belitung menambah ancaman ekologi di pesisir, terutama hilangnya hutan mangrove. Catatan Walhi Kepulauan Bangka Belitung ekosistem mangrove yang sebelumnya seluas 273.692,81 hektar, kini tersisa 33.224,83 hektar.
Tahun 1993, luas mangrove di Kepulauan Bangka Belitung 273.692,81 hektar. Kepulauan Bangka Belitung kehilangan mangrove seluas 240.467,98 hektar.
Sementara terumbu karang yang luas sebelumnya 82.259,84 hektar, kini tersisa 12.474,54 hektar. Sekitar 5.720,31 hektar karang mati.
“Rusaknya terumbu karang berdampak menurunnya populasi ikan, sehingga hasil tangkap masyarakat pesisir juga menurun,” ucapnya.
Meskipun demikian, Hafiz mendesak segera adanya tindak lanjut dari pemerintah daerah maupun perusahaan untuk mengatasi dugaan pencemaran lingkungan ini.
Baik melalui adanya pengujian sampel air laut maupun limbah yang dibuang. Sehingga tidak terkesan terjadinya pembiaran pencemaran lingkungan.
Sementara itu, manajemen perusahaan memilih bungkam. Awak media sudah beberapa kali melakukan upaya konfirmasi dugaan pencemaran lingkungan sejak Rabu (22/5/2024) hingga Kamis (23/5/2024) hari ini.
Baik melalui aplikasi pesan singkat maupun sambungan telepon. Sayangnya manajemen perusahaan memilih untuk tidak menjawab.
Nelayan Mengeluh
Kalangan nelayan pesisir Pantai Jibur, Dusun Gusung, Desa Rias, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung dibuat geram oleh aktivitas tambak udang di wilayah itu.
Pasalnya, perusahaan budidaya udang vaname itu membuang limbahnya ke laut diduga tanpa diolah. Akibatnya, perairan laut setempat tercemar hingga ikan, biota laut hingga penyu sisik mati.
Sopian Hadi Nelayan Udang Sungkur setempat mengatakan, air laut tersebut tercemar limbah diduga berasal dari tambak udang yang dibangun berdekatan dengan pesisir pantai desa.
Akibat dari limbah tak diolah dengan baik air laut berubah menjadi berwarna coklat kehitaman. Kondisi air keruh membuat nelayan kesulitan mencari udang maupun ikan.
“Kejadian ini sudah terjadi sejak dua pekan terakhir. Hasil tangkapan berkurang, baik ikan maupun udang di Pantai Jibur,” kata dia kepada Bangkapos.com, Selasa (21/5/2024).
Sopian Hadi memaparkan, keberadaan tambak udang dinilai tidak dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang baik.
Baik limbah padat maupun cair setiap masa panen dibuang ke laut. Hal tersebut membuat air laut tercemar, menyebabkan sejumlah biota laut mati.
Tak hanya itu, hasil tangkapan udang maupun ikan nelayan juga turun drastis. Semula mencapai 20 kilogram dalam sekali cari, kini tinggal hanya hitungan kilogram saja.
Parahnya, nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan laut juga mengeluhkan rasa gatal-gatal setelah mencari ikan di air laut tercemar.
Masalah ini tentunya berdampak besar terhadap pendapatan nelayan pesisir. Perlunya ketegasan dari pihak terkait untuk menindaklanjuti permasalahan ini.
“Memang ada imbas dari limbah dibuang sembarangan, biota laut banyak mati. Misalnya penyu, ikan hingga kepiting,” jelas Sopian Hadi.
Di sisi lain sambung dia, peristiwa pembuangan limbah ini terjadi setiap masa panen tambak udang. Selama satu tahun kurang lebih terjadi tiga kali pencermatan air laut.
Parahnya pada Senin (20/5) kemarin limbah air yang dibuang berwarna hitam pekat dan menimbulkan bau tak sedap.
Jarak tampungan limbah juga hanya berjarak puluhan meter dari bibir pantai. Tampungan limbah hanya dilapisi terpal hitam.
Tak jarang cairan hitam pekat seperti lumpur disertai banyak bangkai udang dibuang langsung ke laut lepas.
“Kalaupun kami dapat udang Sungkur, ketika dibuat terasi itu menjadi busuk. Diduga memang karena limbah tambak udang yang tidak sesuai,” ucapnya.
Kendati demikian kata Sopian Hadi, sejauh ini pihaknya telah melapor kejadian tersebut ke pemerintah desa setempat akan tetapi belum ada tindak lanjut.
Sama halnya dengan komunikasi yang dilakukan kepada pihak perusahaan juga berujung buntu. Oleh sebab itu, dirinya meminta tindak lanjut dinas terkait untuk menindaklanjuti permasalahan ini.
“Kami berharap jangan beroperasi lagi tambak udang ini. Walaupun sudah ada izin, limbah diolah sesuai standar dan aturan pemerintah. Karena limbah langsung dibuang langsung, bahkan terjadi kebocoran,” pungkas Sopian.
Sementara itu pantauan awak media di lapangan bau tak sedap akibat limbah tambah tercium jelas saat tiba di kawasan wisata Pantai Jibur.
Tepat di lokasi pembuangan limbah, air yang dibuang dari pipa tampak berwarna hijau gelap. Parahnya, di bawah pipa pembuangan juga diduga terjadi kebocoran, limbah berwarna hijau muncul dari bawah permukaan pasir pantai. (Bangkapos.com/Cepi Marlianto)
| Selebgram Tersangka Arisan Bodong di Bangka Selatan Akhirnya Dimaafkan Lewat Restorative Justice |
|
|---|
| Ironi Lonjakan Kasus HIV Mengintai Basel, Terdeteksi 12 Pasien Baru, Mayoritas Usia 18 Tahun ke Atas |
|
|---|
| Deteksi Kasus HIV, Pemkab Bangka Selatan Lakukan Skrining di Kawasan Lokalisasi dan Tempat Umum |
|
|---|
| 12 Orang Mengidap HIV di Bangka Selatan, 4 Orang di Antaranya Meninggal Dunia |
|
|---|
| Cek Kesehatan Gratis Ungkap Ribuan Warga Toboali Derita Hipertensi dan Diabetes |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.