Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah
Kuasa Hukum Aon Nilai Kejagung Tak Fair, Paksakan Kerugian Negara dari Korupsi Timah Rp271 Trilliun
Menurut Jhohan, nilai kerusakan ekologis sebesar Rp271 triliun bukan dihitung dari kerusakan yang diakibatkan dari kasus korupsi tata niaga komoditas
Penulis: Sepri Sumartono | Editor: Hendra
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Kejaksaan Agung RI, hingga saat ini masih memproses dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 hingga menyeret 22 orang menjadi tersangka.
Dari hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) total kerugian negara dari kasus korupsi tersebut mencapai Rp 300 trilliun.
Terkait kerugian negara yang disampaikan oleh Kejagung mencapai Rp 300 trilliun, Kuasa Hukum Tersangka Tamron alias Aon, Jhohan Adhi Ferdian menilai jumlahnya tak masuk akal.
Menurut Jhohan, nilai kerugian negara mencapai Rp 300 trilliun tersebut berasal dari akumulasi kerugian Rp29,499 triliun dan nilai kerusakan ekologis Rp271 triliun.
"Kami menilai, masuknya nilai kerusakan ekologis Rp271 triliun menjadi nilai kerugian negara sangat amat dipaksakan," kata Jhohan Adhi Ferdian, Rabu (5/6/2024.
"Apakah nilai kerusakan ekologis termasuk nilai kerugian negara dalam tindak pidana tersebut, saya jawab bisa, tetapi dengan tanda kutip Jika dipaksakan atau dalam dialeg Bangka saya menyebutnya, daripada malu muka alung masukken bai," tambahnya.
Sebab, pada pasal 1 ayat 22 UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Menurut Jhohan, nilai kerusakan ekologis sebesar Rp271 triliun bukan dihitung dari kerusakan yang diakibatkan dari kasus korupsi tata niaga komoditas timah pada tahun 2015-2022, tetapi dihitung berdasarkan kerusakan Bangka Belitung saat ini.
Artinya, kerusakan tersebut telah dimulai jauh sebelum itu, bisa saja pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kolonialisme, sampai kegiatan illegal mining yang dilakukan oleh hampir mayoritas masyarakat Bangka Belitung saat ini.
"Sangat tidak fair jika kerusakan akibat aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh kerajaan sriwijaya dilimpahkan ke-22 tersangka ini," keluhnya.
Jika BPKP memasukkan kerusakan ekologis Rp271 triliun sebagai bagian dari kerugian negara, semestinya BPKP juga menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah dibayarkan ke 6 perusahaan smelter tersebut pada kementerian terkait.
Pada pasal 100 UU Nomor 3/2020 menyatakan pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana jaminan reklamasi atau dana Jaminan pasca tambang.
Lalu menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi atau pasca tambang dengan dana jaminam sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi atau pasca tambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.
Termasuk juga dana-dana lain yang dapat dikategorikan sebagai pendapatan negara, termasuk keterbukaan lapangan pekerjaan.
"Jika nilai kerusakan ekologis menjadi bagian dari kerugian negara maka seharusnya ke 22 orang tersangka ini hanya bertanggung jawab terhadap kerusakan ekologis yang dilakukan pada medio 2015 sampai 2022 saja," tuturnya.
(Bangkapos.com/Sepri Sumartono)
Helena Lim Tetap Dihukum 10 Tahun Penjara dalam Korupsi Timah Rp 300 Triliun |
![]() |
---|
Kasasi Harvey Moeis Ditolak MA, Suami Sandra Dewi Tetap Jalani Hukuman 20 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Peran Hendry Lie Pendiri Sriwijaya Air Divonis 14 Tahun dan Denda Rp 1 Triliun Kasus Korupsi Timah |
![]() |
---|
Harta dan Sumber Kekayaan Hendry Lie, Pendiri Sriwajaya Air Didenda Rp1 Triliun di Kasus Timah |
![]() |
---|
Biodata Hendry Lie Pendiri Sriwijaya Air yang Berbisnis Timah Lalu Ditangkap dan Divonis 14 Tahun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.