Resonansi

Kisah Klasik Soal Ketimpangan

Kekayaan 50 triliuner teratas Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.

|
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Bangkapos.com
Ade Mayasanto, Editor In Chief Bangka Pos/Pos Belitung. 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.
Editor in Chief 
Bangka Pos/Pos Belitung

Riset Center of Economic and Law Studies (Celios) berjudul "Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin: Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024," bikin geleng-geleng kepala. Sebabnya, kekayaan 50 triliuner teratas Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.

Catatan Celios, kekayaan 50 triliuner ini cukup untuk membayar gaji seluruh pekerja penuh dalam angkatan kerja di Indonesia sepanjang tahun.

Disebutkan, butuh waktu 100 tahun bagi pekerja untuk menyamai kekayaan lima triliuner teratas Indonesia

Padahal, bila disandingkan dengan catatan Badan Pusat Statistik, pada Maret 2023, rasio gini Indonesia berada di angka 0,388.

Angka itu terbilang sedikit turun pada Maret 2024 menjadi 0,379. Sementara Rasio gini daerah perkotaan pada Maret 2024 tercatat 0,399, turun seikit dibandingkan rasio gini Maret 2023 yang sebesar 0,409.

Adapun rasio gini di perdesaan pada Maret 2024 tercatat 0,306, turun tipis dibandingkan rasio gini Maret 2023 sebesar 0,313.

Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,40 persen.

Jika dirinci, daerah perkotaan tercatat 17,41 persen dan daerah perdesaan 21,39 persen.

Data ini yang kemudian dikatakan Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin tidak terdistribusi secara merata. 

Ironi lain adalah triliuner Indonesia justru bermukim di Singapura demi menikmati kebijakan pajak yang lebih mengggiurkan.

Sementara kekayaan dipungut dari bisnis di Tanah Air.

Sementara di sisi lain, masyarakat kelas bawah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, dengan banyak di antaranya terjebak dalam siklus utang berbunga tinggi.

Ini baru bicara ketimpangan tajam antara si superkaya dan si miskin.

Belum lagi bicara soal persoalan ketimpangan yang dialami masyarakat Indonesia dalam menggapai akses ekonomi secara adil dan merata. Sebabnya, ketimpangan ini menjadi akar penyebab kian sulitnya negara dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. 

Laporan Bank Dunia berjudul “Jebakan Pendapatan Menengah,” yang dirilis pada awal Agustus 2024, di banyak negara berpendapatan menengah, termasuk Indonesia, terbukanya akses masyarakat terhadap peluang ekonomi tidak berlandaskan pada prestasi (merit) semata.

Itu berarti, tidak ada jaminan bagi individu yang memiliki keterampilan dalam bidang tertentu untuk mendapat kemudahan akses menuju lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya.

Terbukanya akses ekonomi bagi seorang individu di negara berkembang sangat bergantung kepada tiga aspek, yakni modal jaringan (networking) yang dimiliki, lingkungan (neighborhood) tempat ia tumbuh, dan norma (norms) sosial yang dianut individu tersebut. 

Ketimpangan menjadi persolan klasik bukan? Ya, bisa jadi. Banyak pihak menyalahkan kebijakan yang pro kapitalisme.

Kebijakan yang menitikberatkan paham maksimalisasi keuntungan dan memprioritaskan keutungan finansial jangka pendek ketimbang investasi bersifat sustain alias berkelanjutan dalam jangka panjang. 

Bagi John Mackey dan Raj Sisodia dalam bukunya berjudul Conscious Capitalism (2013), ketimpangan yang terjadi antara si kaya dan miskin merupakan bentuk praktek kapitalisme yang salah jalan.

Praktik kapitalisme saat ini sudah melenceng jauh dari konsep awal yang dicetuskan mahaguru ekonomi yang juga bapak pencetus kapitalisme modern, Adam Smith.

Secara sederhana kapitalisme berarti memberikan kuasa atau kesempatan bagi para pemilik modal sebuah kemampuan untuk menciptakan produksi yang bisa memberikan keuntungan dan nilai tambah di masyarakat.

Namun, rupanya para pebisnis hanya mengambil secuplik bagian konsep mendapatkan keuntungan tapi lupa bahwa mereka juga mestinya punya kesadaran untuk berkontribusi ke komunitas lebih luas.

Inilah yang membuat kapitalisme dan pengusaha itu seolah-olah jahat di mata masyarakat. 

Dewi Lusiana, Dosen Pascasarjana FIA-UI dalam tulisan "Kapitalisme, Masihkah Menjanjikan?" menyebut bahwa Teori Trickle Down Effect yang digagas Albert Otto Hirschman tahun 1954, jelas tidak terbukti.

Jika ada, keuntungan yang ada sesungguhnya hanya akan diraih kelompok tertentu, yaitu oleh kaum kapitalis itu sendiri.

Sementara di banyak negara lain, kapitalisme justru membawa dampak negatif berupa peningkatan kemiskinan, terutama di negara berkembang yang terpaksa menjadi ”buruh” dan ”pasar” bagi kaum kapitalis, serta juga meningkatnya sampah di berbagai belahan dunia. 

Tapi tunggu dulu. Bukankah ideologi sudah mati. Di akhir tahun 50-an, sejumlah ahli sosiologi bicara secara fasih perihal berakhirnya ideologi. Daniel Bell menuliskan hal itu dalam buku The End of Ideology. 

Catatan di atas seolah ideologi tidak mati.

Ideologi justru berganti fungsi. Bukan lagi sebagai pembakar emosi dan keyakinan, tapi menjadi semakin kontrol dan kekuasaan.

Tengok saja Cina. Deng Xiaoping tak bicara pemerataan saat membangun Cina. Deng justru bicara pembangunan menurut konsep barat.

Deng sadar bahwa akan ada resiko ketimpangan sosial. Oleh karena itu, Cina yang eksotis bergerak unik. Tidak kiri, dan tidak juga kanan.

Ideologi entah hidup dan entah mati, yang jelas Cina tidak menampakkan mukanya di satu sisi demi menjawab soal ketimpangan. 

Mungkin Deng tahu bahwa ketimpangan tak urung menimbulkan kebencian dan memupuk kecurigaan. Dan masyarakat sudah kerap bergesekan dengan ketimpangan dari masa ke masa. Apalagi, ada catatan yang mengingatkan bahwa perlawanan atas ketimpangan itu mahal sekali.

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved