Tribunners

Pilkada Hasilkan Apa?

Tahun 2005 menjadi tahun awal sejarah dilaksanakan pemilihan kepala daerah yang disebut pemilukada secara langsung

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Ariandi A Zulkarnain, S.IP, M.Si., C.M.C 

Oleh: Ariandi A Zulkarnain, S.IP, M.Si., C.M.C - Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung

SEJAK beranjak dari reformasi upaya penguatan dan pendalaman demokrasi terus dilakukan dalam rangka mencapai tatanan demokrasi yang makin matang dan melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah. Pemilihan umum menjadi salah satu sarana penting dalam rangka menciptakan transisi dan sirkulasi elite secara damai, demokratis, dan berkesinambungan.

Pemilihan umum menjadi jalan mengartikulasikan representasi politik dalam panggung masyarakat yang multikultural di Indonesia, dengan jumlah penduduk Indonesia 282,4 juta jiwa dengan penduduk yang multietnik terdiri dari 1.340 suku bangsa, 6 agama, dan 245 aliran kepercayaan. Selain itu, kondisi demokrasi Indonesia hari ini ditopang dengan rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia berada pada kelas 2 sekolah menengah pertama (SMP) dan pendapatan penduduk Indonesia di bawah 6.000 USD.

Kondisi eksisting tersebut membuat pelaksanaannya mengalami tantangan dan kompleksitas sehingga upaya penyempurnaan perlu terus-menerus dilakukan. Secara prosedural dari masa ke masa, pemilu mulai menunjukkan peningkatan kualitas, namun masih terdapat pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan pada praktik demokrasi substansial yang ditujukan untuk mencapai tujuan tujuan demokrasi yang dicita-citakan.

Tahun 2005 menjadi tahun awal sejarah dilaksanakan pemilihan kepala daerah yang disebut pemilukada secara langsung, dilaksanakan di 7 Provinsi, 174 kabupaten, dan 32 kota dengan total keseluruhan 213 daerah. Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi penanda pilkada masuk pada rezim pemilu, dan DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang melaksanakan melalui undang-undang ini.

Hingga hari ini, kita sudah melakukan beberapa kali perubahan dan upaya penyempurnaan atas regulasi pilkada yang kemudian menjadi regulasi yang terpisah dengan undang-undang pemilihan umum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota telah mengalami beberapa kali penyempurnaan termasuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 hingga berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, setelah itu kita belum kembali memperbarui aturan main pemilihan kepala daerah tersebut. 

Biaya Kontestasi yang Mahal

Sejak pertama kali pilkada dilakukan hingga saat ini (2005-2020) yakni sebanyak 1.825 kali pelaksanaan pilkada telah dihelat, masih terdapat beberapa persoalan pemilihan kepala daerah yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Ongkos kandidat yang mahal seolah-olah menjadi ekosistem yang masih sulit diubah, hal ini imbas dari politik mahar (sewa kendaraan/perahu) menjadi syarat yang diperlukan untuk memasuki wilayah kontestasi, selain jalur independen yang kecenderungannya masih menjadi jalan terjal bagi politisi untuk masuk ke dalam gelanggang dengan syarat yang tidak sederhana. 

Ongkos yang mahal tersebut terdiri dari beberapa biaya politik dalam rangka menggerakkan mesin politik mulai dari biaya saksi TPS (uang transpor dan bimtek), biaya tim sukses (honor, sewa kantor/kendaraan, rapat, konsumsi dan operasional), biaya kampanye (iklan, alat peraga, rapat, dan perjalanan), beli suara (pemilih, tokoh masyarakat, dan panitia), serta biaya perselisihan pilkada (gugatan MK). Biaya-biaya tersebut merupakan konsekuensi dari budaya politik kita yang buruk sehingga aspek materiel (uang) yang dimaknai sebagai modal menjadi motor utama dalam menggerakkan mesin politik di akar rumput. Hal ini yang memperkuat posisi keterpautan politik (political linkage) bergerak dalam clientelistic linkage, yakni ikatan politik antara politisi dan pemilih yang didasarkan pada charisma personal dari politisi dan didasarkan pada insentif material tertentu dalam sebuah jaringan pertukaran langsung di antara keduanya.

Kondisi lain yang ikut memperkeruh ruang kontestasi terkait dengan sumber dana kandidat yang berasal dari kantong pribadi yang terbatas menjadi pintu masuk bagi cukong/investor politik mengambil kesempatan dan positioning. Hal ini juga diperkuat data dari KPK terdapat 82 persen pemilihan kepala daerah mendapat dukungan dana dari para cukong (pemilik modal) yang berdampak pada intervensi kekuasaan menjadi tidak terbatas. Galang dana yang dilakukan juga tidak maksimal dan terbatas sebagaimana diketahui sesuai dengan regulasi sumbangan perseorangan maksimal Rp75 juta dan sumbangan perusahaan maksimal Rp750 juta dan ditambah dengan sponsor dari parpol tidak berjalan dan kecenderungan parpol meminta jatah kepada kandidat.

Pecah Kongsi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Kondisi politik lokal juga memunculkan dinamika lain di dalamnya, salah satunya pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memang sejak awal keterpautan politik tidak benar-benar muncul akibat akumulasi kepentingan publik, melainkan bentuk wujud dari pragmatisme elite politik dalam orientasi memenangkan kontestasi. Hal ini yang kemudian pada prosesnya di tengah jalan membuat pasangan kepala daerah tidak dalam visi yang sama dan berujung pecah kongsi.

Politisasi Birokrasi dan Netralitas ASN

Permasalahan lain ketika kontestasi calon kepala daerah diikuti oleh petahana, maka potensi politisasi birokrasi dan netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi persoalan mendasar di dalamnya. Hal ini tidak jauh dari persoalan yang belum diurai dari pejabat pembina kepegawaian yang idealnya terlepas dari kepentingan politik.

Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan pelanggaran atas netralitas ASN selalu mengalami peningkatan dari setiap perhelatan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Terakhir data tahun 2020 pada saat berlangsungnya pemilihan kepala daerah serentak diketahui terdapat 1.575 kasus, sedangkan informasi data KASN pada tahun 2020 dan 2021, terdapat 2.034 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN. Sebanyak 1.596 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melanggar netralitas ASN. 

Sumber: bangkapos
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved