Tribunners

Pilkada Hasilkan Apa?

Tahun 2005 menjadi tahun awal sejarah dilaksanakan pemilihan kepala daerah yang disebut pemilukada secara langsung

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Ariandi A Zulkarnain, S.IP, M.Si., C.M.C 

Terjadi keterputusan keterhubungan (broken linkage) antara aspirasi publik dengan keluaran yang dihasilkan oleh partai politik tersebut membuat politik mengerucut pada demokrasi di level elite. Selain itu, pragmatisme partai menjadi satu kondisi tersendiri yang membuat pilkada calon tunggal mewarnai di Indonesia. Jika bisa masuk lebih jauh kita bisa melihat bagaimana terdapat tukar guling kekuasaan pada basis-basis tertentu, terdapat partai politik yang ingin mengamankan basis utama demi menjaga posisi tawar pada menuju 2029. Dengan menjaga daerah-daerah strategis dari basis partai tersebut tentu membuka peluang hegemoni partai tetap terjaga, di satu sisi pilihan yang diambil adalah dengan melepas satu wilayah dan fokus pada wilayah-wilayah dengan calon incumbent dengan elektabilitas yang dianggap tinggi. 

Meskipun putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 yang terbit pada tanggal 20 Agustus 2024 lalu seolah-olah menjadi angin segar, namun keluarnya putusan tersebut dianggap masih terlalu dekat dengan batas waktu pencalonan pada tanggal 27-29 Agustus. Di mana mayoritas rekomendasi partai dari DPP sudah keluar sebelum putusan MK tersebut keluar sehingga tidak banyak memengaruhi konfigurasi politik di daerah.

Kemudian kompromi di tingkat elite nasional dan daerah yang bersama-sama mengusung calon tertentu membuat konfigurasi makin kuat pada calon tunggal serta ditambah lagi dengan mayoritas incumbent yang berkontestasi tentu membuat partai politik akan berpikir ulang untuk mengusung pasangan calon. Hal ini disebabkan persoalan anggaran yang akan dikeluarkan dalam kontestasi yang menjadi pertimbangan bagi parpol sebelum mengusung calon yang kemudian melawan calon secara elektabilitas cukup kuat. 

Biaya Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia

Mahalnya ongkos penyelenggaran pilkada menjadi satu hal yang perlu kita renungkan bersama dan capaian substansial yang perlu dicapai demi memastikan manfaat penyelenggaraan pilkada. Sejak 2005 hingga 2024 negara sudah mengalokasikan Rp89,67 triliun yang jika dirinci pada 2005 diselenggarakan di 269 daerah (Rp7,09 triliun), tahun 2007 diselenggarakan di 101 daerah (Rp5,96 triliun), tahun 2008 digelar di 171 daerah (Rp15,16 triliun), tahun 2020 digelar di 270 daerah (Rp20,46 triliun), dan tahun 2024 digelar di 545 daerah dengan biaya mencapai Rp41 triliun). 

Pertanyaan pada judul opini perlu kita renungkan dan perjuangkan bersama, yakni pilkada akan hasilkan apa? Sejatinya dengan anggaran sebesar itu, pilkada berkorelasi dengan tujuan demokrasi yang ingin dicapai, yakni pilkada yang bermakna, pilkada yang menyejahterakan, dan pilkada yang meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Semua ini perlu diperjuangkan dan dikawal bersama.

Pasca-1998, kita semua berharap ada perubahan signifikan pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat di daerah. Sejak 2005 hingga 2020 yang lalu sebagai pelaksanaan terakhir pemilihan kepala daerah, sebagian ilmuwan berpendapat otonomi daerah masih jauh panggang dari api, pilkada dianggap masih menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Persoalan korupsi, munculnya oligarki di tingkat lokal yang biasa di sebut raja-raja  kecil di daerah, pelayanan publik masih belum optimal hingga upaya meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang sejak awal reformasi menjadi cita-cita bersama. (*)

 

 

 

Sumber: bangkapos
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved