Resonansi
Apa Kabar Hilirisasi Timah?
Jauh hari sebelum Simbara muncul, desakan hilirisasi dan industrialisasi komoditas timah terus merebak.
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.
Editor in Chief
Bangka Pos/Pos Belitung
22 Juli 2024, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan hadir dalam acara Launching dan Sosialisasi Implementasi Komoditas Nikel dan Timah Melalui Sistem Informasi Mineral dan Batubara (Simbara) di Jakarta.
Dalam sambutannya, Menko Luhut menyoroti kelemahan tata kelola komoditas timah. Disebutkan, permasalahan yang terjadi tidak hanya berkait praktik penambangan ilegal, tetapi proses bisnis legal komoditas timah.
Catatan Menko Luhut, tata kelola melalui transparansi dan keterlusuran komoditas minerba sangat diperlukan demi memberikan kontribusi yang maksimal bagi pendapatan negara dan bagi kesejahteraan rakyat. Hal ini bisa terlihat dari PNBP minerba yang mencapai Rp 183,5 trilun pada 2022, dan pada tahun 2023 PNBP minerba mencapai Rp 172,9 triliun.
Jauh hari sebelum Simbara muncul, desakan hilirisasi dan industrialisasi komoditas timah terus merebak.
Pemerintah terus mendorong hilirisasi hasil timah guna menciptakan nilai tambah.
Dalam Mandiri Investmen Forum yang diselenggarakan di Jakarta pada 1 Februari 2023, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa Indonesia adalah pengekspor timah nomor satu di dunia, akan tetapi ekspor tersebut masih terbatas pada tin ore atau bijih timah mentah yang tidak banyak memiliki nilai tambah.
Melihat volume ekspor timah yang ada, di tahun 2021 Indonesia mengekspor hingga 75 ribu ton timah, jauh meninggalkan Australia di posisi kedua yang mengekspor timah sebanyak 15 ribu ton. Dan uniknya, ada sepuluh negara tercatat menerima paling banyak ekspor timah dari Indonesia. Mereka adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Singapura, India, Korea Selatan, Jepang, Belanda, Taiwan (PRC), Belgia, Italia, dan Amerika Serikat.
Hal ini berdasarkan data ekspor timah Indonesia di tahun 2022. Di tahun tersebut, RRT menerima paling banyak ekspor timah Indonesia, yakni 30,51 persen dari total ekspor Indonesia. Singapura dan India menerima 17,72 persen dan 12,81 persen. Sementara Korea Selatan, Jepang, dan Belanda masing-masing menerima 9,77 persen, 8,04 persen, dan 6,04 persen.
Sebelumnya, pemerintah sempat menyebutkan hendak menghentikan ekspor timah mentah sebagai bagian dari upaya hilirisasi industri timah di tanah air. Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo pada kunjungannya ke lokasi pembangunan smelter baru Top Submerged Lance (TSL) Ausmelt PT Timah Tbk di Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung pada 20 Oktober 2022.
Sebabnya, meskipun Indonesia adalah produsen terbesar kedua timah dunia, tetapi rata-rata per tahun menunjukkan 87 persen produksinya diekspor keluar dan hanya 13 persen diserap untuk kebutuhan domestik. Hal ini menunjukkan lemahnya industri hilir timah di Indonesia.
Berbeda dengan RRT yang merupakan produsen timah terbesar dunia, ia mampu mengolah timah untuk keperluan domestik bahkan sejak tahun 2015 menjadi net importir timah.
Niat baik pemerintah, nyatanya menimbulkan polemik. Sederet pertanyaan muncul silih berganti. Bahkan, program hilirisasi banyak dibicarakan dalam debat calon presiden ataupun calon wakil presiden, dan bisa jadi Pilkada 2024 mendatang.
Contoh soal ialah bagaimana hilirisasi diikuti industrialisasi sehingga mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi secara optimal.
Soal ini jadi pembahasan serius karena industri di Indonesia saat ini tengah dalam tren menurun.
Coba saja tengok laporan kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang terus menurun.
Catatan yang ada pada triwulan II-2024, porsi manufaktur sebesar 18,52 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Persoalan lain adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi di daerah berjalan ketika hilirisasi dilakukan.
Bila pertumbuhan ekonomi tumbuh dan kemudian menetes ke masyarakat, hilirisasi bisa menjawab sekaligus permasalahan kesejahteraan warga.
Ini penting diketahui agar hilirisasi tidak bicara melulu soal eksploitasi kekayaan sumber daya alam. Namun, juga bicara soal produk turunan untuk subtitusi impor.
Jangan sampai kemudian kita hanya sibuk memperbanyak smelter, tapi lupa dan menanggalkan pembangunan industrinya secara ekstensif dari hulu hingga hilir.
Untuk diketahui, Jokowi dalam berbagai kesempatan menyebut pengoperasian smelter dan hilirisasi sebagai fondasi baru perekonomian Indonesia dan pijakan untuk menjadi negara industri maju.
Sampai 2024, pemerintah menargetkan 53 fasilitas smelter atau pabrik pengolahan mineral siap beroperasi. Sebagian sudah beroperasi, sebagian lain sedang dalam proses pembangunan atau persiapan.
Dan terakhir sebagai penutup, bagaimana nasib hilirasasi minerba di Tanah Air sepeninggal Presiden Joko Widodo?
Hingga akhir masa jabatan, peta jalan kebijakan hilirisasi secara komprehensif belum diketahui.
Apakah sudah ada atau belum, mari kita tunggu selanjutnya. Kita hanya berharap peta jalan kebijakan hilirisasi itu sudah ada dan tersusun rapi.
Harapannya, pemerintah baru tidak kehilangan arah dan makna perihal hilirisasi di akhir episode pemerintahan Joko Widodo.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20240525_Ade-Mayasanto.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.