Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah

Aneh Pendiri Perusahaan Boneka Timah Tak Tahu Alamat Kantornya, Diduga Kamuflase Bisnis Timah Ilegal

Agustiono, seorang pendiri CV Rajawali Total Persada, mengaku tidak tahu lokasi kantor perusahaan yang dibuat pada 2018.

Editor: fitriadi
Bangka Pos
Dari kiri ke kanan - Direktur Utama CV Venus Inti Perkasa, Hasan Tjhie, Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa Suwito Gunawan, Direktur Utama PT Timah Tbk Tahun 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah Tbk Tahun 2017-20218 Emil Ermindra, dan Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa MB Gunawan saat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tata niaga timah. Kini mereka masuk deretan 22 nama terdakwa yang sedang menghadapi persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Pendirian perusahaan boneka atau perusahaan cangkang dalam bisnis jual beli bijih timah di Bangka Belitung terungkap.

Perusahaan itu diduga sengaja didirikan sebagai kamuflase untuk menjalankan aktivitas pertimahan ilegal.

Bahkan ada perusahaan boneka itu yang tidak jelas alamat kantornya.

Hal ini terungkap saat sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (6/11/2024).

Agustiono, seorang pendiri CV Rajawali Total Persada, perusahaan cangkang dalam kasus korupsi tata niaga timah, mengaku tidak tahu lokasi kantor perusahaan yang dibuat pada 2018 silam tersebut.

Agustiono yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dicecar tim penasihat hukum terdakwa Direktur PT Stanindo Inti Perkasa, MB Gunawan.

"Kantornya (CV Rajawali Inti Persada) di mana saksi?" tanya Tim Penasihat Hukum.

Mendengar pertanyaan pengacara, Agustiono mengaku dirinya tidak mengetahui di mana letak kantor perusahaan yang ia dirikan tersebut.

Agustiono bahkan mengatakan di perusahaan itu belum pernah ada kegiatan dan karyawan yang direkrut selama 2 pekan dirinya bergabung.

"Saya tidak tahu (soal lokasi kantor)," kata Agustiono.

"Tadi kan saksi bilang tidak ada kegiatan, apakah sudah pernah ada karyawan yang di-hired (dipekerjakan) untuk CV tersebut?," tanya Tim Hukum.

"Tidak ada," jawab Agustiono.

Praktis kata dia, pada tahun 2018 kegiatan yang dilakukannya hanya membentuk perusahaan boneka dalam kasus korupsi timah tersebut.

Agustiono menyebut, selama dua pekan dirinya berada di CV itu, tidak ada operasional yang dijalankan.

"Berati hanya pendirian saja waktu itu ya saksi?" tanya tim hukum.

"Hanya pendirian saja," jelasnya.

"Belum ada operasional sama sekali?" tanya Tim Hukum lagi.

"Tidak ada kegiatan apa pun," kata Agus.

Dalam kasus dugaan korupsi timah terungkap adanya praktik perusahaan cangkang yang diduga digunakan sebagai kamuflase untuk menutupi aktivitas ilegal.

Fakta tersebut terungkap dalam dakwaan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung terhadap terdakwa MB Gunawan, Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).

Menurut jaksa, MB Gunawan bersama Suwito Gunawan alias Awi, diduga membentuk dua perusahaan cangkang, yaitu CV Bangka Jaya Abadi dan CV Rajawali Total Persada, yang bertujuan untuk mengumpulkan bijih timah dari penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

Dua perusahaan tersebut diketahui beroperasi sebagai transporter dengan memanfaatkan surat perintah kerja (SPK) pengangkutan.

Bijih timah yang dikumpulkan kemudian dijual kepada PT Timah, yang kemudian mengirimkannya ke PT Stanindo Inti Perkasa sebagai bagian dari kerja sama sewa peralatan processing.

Jaksa juga mengungkap bahwa harga bijih timah yang dijual oleh perusahaan cangkang tersebut kepada PT Timah mencapai USD 3.700 per ton, yang lebih mahal dari harga pasar.

Penentuan harga ini dilakukan tanpa adanya kajian yang memadai.

Bos Timah Bangka Beber Asal-usul Perusahaan Boneka

Diberitakan sebelumnya, sejumlah perusahaan boneka sengaja didirikan untuk mengangkut bijih timah ilegal dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Perusahaan-perusahaan boneka dalam bentuk CV (Commanditaire Vennootschap) atau Persekutuan Komanditer adalah badan usaha yang didirikan oleh minimal dua orang yang berperan sebagai sekutu aktif dan sekutu pasif.

Dalam sidang perkara korupsi tata niaga timah merugikan negara Rp 300 triliun terungkap pendirian beberapa CV boneka itu atas inisiatif alias titipan dari PT Timah Tbk.

Hal ini terungkap saat Beneficial Owner atau pemilik PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (1/11/2024).

Awi menyebut PT Timah Tbk menitipkan beberapa perusahaan boneka kepada perusahaan smelter swasta untuk dimanfaatkan mengambil bijih timah yang dikeruk penambang ilegal dari wilayah IUP PT Timah.

Awi jadi saksi dalam sidang terdakwa bos CV Venus Inti Perkasa (VIP) Tamron Alias Aon, Direktur Utama CV VIP Hasan Tjie, Komisaris CV VIP Kwang Yung Alias Buyung dan Manajer Operasional CV VIP Achmad Albani.

Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalami pengetahuan Suwito soal pembentukan perusahaan boneka yang terafiliasi dengan PT SIP.

"Saya tanyakan lagi, ini mengenai mitra borongan ya yang di PT Stanindo. Untuk Stanindo yang terafiliasi atau perusahaan yang melakukan mitra borongan pengangkutan ini siapa saja saat itu? apakah dibuatkan saat itu?," tanya Jaksa.

Menjawab pertanyaan Jaksa, Suwito mengaku awalnya tidak tahu secara pasti perihal pembentukan perusahaan-perusahaan boneka tersebut.

Namun setelah ia pelajari dan bertanya pada Direktur SIP yakni MB Gunawan disitu baru diketahui asal muasal pembentukan CV-CV atau mitra pengangkut bijih timah tersebut.

"Rupanya kita disuruh mendirikan CV untuk menerima pasir timah dari masyarakat yang ditentukan PT Timah. CV itu adalah yang diharuskan untuk memungut pajak PPN dan PPH pasal 23," kata Suwito.

Suwito menuturkan terdapat dua perusahaan boneka yang terafiliasi dengan PT SIP dan merupakan titipan dari PT Timah Tbk.

Adapun dua perusahaan itu yakni CV Bangka Jaya Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada.

"Saat itu itu apakah itu permintaan dari PT Timah atau pengajuan dr perusahaan saksi?," tanya Jaksa.

"Kalau BJA kita yang mendirikan atas permintaan PT Timah. kalau Rajawali atas titipan PT Timah," jelas Suwito.

Lalu Suwito menerangkan dua perusahaan boneka tersebut diketahui mengambil bijih-bijih timah dari wilayah IUP PT Timah yang dikeruk oleh masyarakat penambang ilegal.

Nantinya jika bijih-bijih timah itu sudah diperoleh maka hasilnya akan dibayarkan oleh PT Timah sendiri yang selanjutnya disebut sebagai kompensasi.

"Yang bayar PT Timah ya?," tanya Jaksa.

"PT Timah," jawab Suwito.

Sopir Pribadi Dijadikan Direktur Perusahaan Boneka Timah

Pada persidangan tersebut, Suwito Gunawan mengakui menjadikan sopir pribadi keluarganya sebagai direktur perusahaan boneka pengangkut bijih timah yakni CV Bangka Jaya Abadi.

Seperti diketahui CV Bangka Jaya Abadi merupakan salah satu perusahaan yang terafiliasi dengan PT SIP yang selama ini mengambil bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

"Kalau untuk CV Bangka Jaya Abadi itu Direkturnya siapa?," tanya Jaksa Penuntut Umum.

Suwito menjelaskan, saat awal pembentukan CV tersebut dirinya menunjuk sopir ayahnya mengisi posisi Direktur.

"Direkturnya adalah bekas sopir papa saya, setelah papa saya meninggal dia saya bawa lagi. Tapi gak terus menerus," kata Suwito.

Namun ketika ditanya Jaksa soal rutinitas sopir tersebut selama beperan sebagai Direktur di perusahaan boneka tersebut, Suwito mengaku tak paham.

Pasalnya, kata dia, terkait persoalan teknis perusahaan MB Gunawan yang lebih mengetahuinya selalu Direktur Utama PT SIP.

"Saya enggak jelas, yang lebih tahu Pak MB Gunawan," ucap Suwito.

Dakwaan Untuk MB Gunawan

Terkait perusahaan boneka atau cangkang ini sebelumnya juga pernah terungkap dalam dakwaan Jaksa di persidangan MB Gunawan pada Senin (26/8/2024) lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta.

MB Gunawan disebut jaksa, membentuk dua perusahaan cangkang atau boneka bersama saudaranya, Suwito Gunawan alias Awi.

"Terdakwa MB Gunawan baik sendiri maupun bersama Suwito Gunawan alias Awi membentuk perusahaan cangkang atau boneka, yaitu CV Bangka Jaya Abadi dan CV Rajawali Total Persada," ujar jaksa penuntut umum saat membacakan dakwaan di persidangan.

Menurut jaksa, dua perusahaan cangkang tersebut sengaja dibentuk untuk mengumpulkan bijih timah dari kegiatan penambangan ilegal di wilayah ijin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

Kedua perusahaan itu diketahui mengumpulkan bijih timah bermodalkan surat perintah kerja (SPK) pengangkutan atau sebagai transporter.

"Seolah-olah sebagai mitra jasa pemborongan yang akan diberikan surat perintah kerja atau SPK pengangkutan di wilayah IUP PT Timah Tbk," kata jaksa.

Bijh timah yang dikumpulkan perusahaan cangkang kemudian dibeli PT Timah. Kemudian PT Timah mengirimnya kepada PT Standindo Inti Perkasa.

"Bijih timah tersebut dibeli PT Timah Tbk dan dikirim ke PT Stanindo Inti Perkasa sebagai pelaksanaan kerja sama sewa peralatan processing antara PT Timah dengan PT Stanindo Inti Perkasa," ujar jaksa.

Untuk harga bijih timah yang dijual perusahaan cangkang ke PT Timah, dihargai USD 3.700 per ton.

Harga itu menurut jaksa, lebih mahal daripada harga di pasaran. Terlebih, penentuan harga dilakukan tanpa adanya kajian memadai.

"Terdakwa MB Gunawan, baik sendiri maupun bersama Suwito Gunawan alias Awi, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan Alwin Albar mengetahui dan atau menyepakati harga sewa processing penglogaman PT Timah sebesar 3.700 US Dolar per ton untuk empat smelter, yaitu PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, dan CV Venus Inti Perkasa tanpa dilakukan studi kelayakan atau kajian yang memadai, sehingga PT Stanindo Inti Perkasa menerima pembayaran dari PT Timah yang terdapat kemahalan harga pembayaran," jelas jaksa.

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. 

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. 

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Terdakwa Direktur PT Stanindo Inti Perkasa, MB Gunawan kini menghadapi dakwaan pelanggaran Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

(Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved