Tribunners
Melindungi Kekayaan Intelektual Komunal
Pernah ada produk seni, budaya, dan kuliner Indonesia yang mendapat klaim dari negara lain, di antaranya adalah rendang yang diklaim Malaysia
Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI)
SALAH satu hal yang membedakan antara manusia dan makhluk hidup yang lain adalah manusia dibekali akal budi yang digunakan untuk berpikir secara logis, mengelola ide dan gagasan, sekaligus mewujudkannya dalam bentuk nyata (tangible). Hasil penggunaan akal budi oleh seorang manusia belum tentu sama dengan manusia yang lain. Ini menandakan bahwa kemampuan intelektualitas manusia itu berbeda-beda. Dari ide dan gagasan yang dimiliki misalnya, ada orang yang mampu merealisasikannya dalam bentuk karya sastra, tetapi ada juga ide dan gagasan itu mengendap di kepala. Dalam konstruksi hukum, hak atas hasil dari kemampuan intelektual inilah yang kemudian dikenal dengan hak kekayaan intelektual (HKI).
Hak kekayaan intelektual merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif atau hasil dari kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, dapat berupa karya cipta atau karya di bidang industri. Karya-karya ini dalam praktik memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, sekaligus juga memiliki nilai ekonomi. Oleh sebab itu, menjadi sangat berdasar mengapa penting untuk melindungi HKI seseorang. Perlu diperhatikan, bahwa perlindungan yang dimaksud bukan diberikan kepada benda secara fisik, tetapi lebih kepada proses pengolahan ide dan gagasan yang ada di balik terciptanya sebuah benda.
Kementerian Hukum dan HAM selama ini membedakan HKI berdasarkan bentuk kepemilikannya, yakni kepemilikan yang bersifat personal dan kepemilikan yang bersifat komunal. Hak kekayaan intelektual yang bersifat personal adalah HKI yang dimiliki sepenuhnya oleh individu atau kelompok individu dengan atau tanpa mengajukan permohonan kepada negara untuk mendapatkan hak monopoli atas eksploitasi secara ekonomi. Hak kekayaan intelektual yang bersifat komunal merupakan HKI yang dimiliki sepenuhnya oleh suatu kelompok masyarakat yang hidup di suatu tempat secara tetap, menyasar hasil olah pikir manusia silam yang tidak dapat diidentifikasi secara individual. Hak kekayaan intelektual komunal kemudian dikenal dengan sebutan kekayaan intelektual komunal (KIK).
HKI dan Kreativitas Kolektif
Indonesia adalah negeri yang kaya, baik sumber daya alam maupun dari aspek seni dan budaya. Ini adalah berkah yang diberikan oleh Tuhan yang itu belum tentu ada di bangsa lain di dunia. Kekayaan yang dimiliki ini sudah ada sejak lama, termasuk berkah terhadap manusia Indonesia yang salah satunya bercirikan kreatif. Manusia Indonesia sudah kreatif sejak dahulu. Ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan masa lampau yang beberapa di antaranya masih dapat terindetifikasi hasil olah pikirnya, meskipun sulit dilacak secara individual.
Fakta-fakta ini pada perkembangannya kemudian menjadi salah satu bagian penting dalam perkembangan kekayaan intelektual manusia Indonesia yang kepemilikannya bersifat kolektif (komunal), dan ini sudah ada jauh sebelum konsep hak kekayaan intelektual (HKI) lahir, terutama pengakuannya secara normatif di Indonesia.
Oleh sebab itu, salah satu topik penting yang berhubungan dengan kekayaan intelektual adalah bagaimana karya-karya tradisional yang sudah lama hidup di masyarakat mendapat perlindungan (M. Hawin & Budi Agus Riswandi; 2018, 88). Dengan seperangkat regulasi yang ada sekarang, data-data yang ada, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (sebelum terbagi menjadi 3 kementerian), sudah melakukan sejumlah langkah yang bukan hanya penting, tetapi juga harus dilakukan secara berkelanjutan.
KIK dalam Konstruksi Regulasi
Pengaturan tentang KIK belum diatur dalam undang-undang tersendiri, tetapi masih menyebar di banyak jenis peraturan perundang-undangan dan tingkatan. Dengan kata lain, tidak ada undang-undang (salah satu jenis peraturan perundang-undangan, di bawah TAP MPR), yang secara khusus mengatur tentang KIK ini. Secara khusus, KIK diatur pada level peraturan pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal. Sebagaimana hakikatnya sebuah peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari sebuah undang-undang, peraturan pemerintah ini secara substansi lebih banyak pada hal-hal yang bersifat teknis.
Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal, terdapat Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Data Kekayaan Intelektual Komunal yang mana dalam peraturan tersebut mengatur mengenai inventarisasi dan pusat data kekayaan intelektual komunal yang terdiri dari pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, sumber daya genetik, dan potensi indikasi geografis.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal, disebutkan perlindungan kekayaan intelektual komunal terdiri atas ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, indikasi asal, dan potensi indikasi geografis. Dari kelima jenis kekayaan intelektual di atas pada dasarnya telah disinggung pada beberapa ketentuan perlindungan kekayaan intelektual yang telah ada sebelumnya, seperti ekspresi budaya tradisional yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, serta indikasi asal dan potensi indikasi geografis yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
KIK Harus (Tetap) Dilindungi
Data terakhir di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (yang dapat diakses di laman https://kikomunal-indonesia.dgip.go.id/), setidaknya ada 11.020 KIK yang terdaftar saat ini, terdiri dari 1.802 ekspresi budaya tradisional, 491 pengetahuan tradisional, 122 potensi indikasi geografis, 8.565 sumber daya genetik, dan 40 indikasi asal. Sekilas, angka ini dirasakan fantastis, tetapi sesungguhnya tergolong kecil bila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki dan menyebar di banyak wilayah. Oleh sebab itu, keaktifan berbagai pihak, terutama pemerintah daerah dan komunitas asal, termasuk perguruan tinggi, sangat dibutuhkan untuk melestarikan kekayaan intelektual komunal. Apalagi, potensi pencurian terhadap KIK kian terbuka lebar di era globalisasi ini, termasuk dengan teknologi yang terus berkembang.
Perlindungan terhadap KIK sejatinya tidak cukup hanya berhenti pada berhasilnya sebuah objek KIK terdaftar secara resmi, tetapi juga harus ada upaya pascateregistrasi. Upaya ini jauh lebih penting karena bukan hanya melestarikan secara formal, tetapi merawat secara material. Bayangkan, apa jadinya jika ada KIK yang terdaftar, tetapi secara de facto tak pernah dirawat keberadaannya? Ini akan menjadi sia-sia, sebab KIK tersebut bukan menjadi lestari, tetapi hanya akan dikenang sebagai bagian dari sejarah, bahwa bangsa ini hanya pernah memiliki, tetapi tidak lagi memiliki.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.