Resonansi
Perang
Memasuki hari ke-1.000, Ukraina justru menyerang wilayah Rusia dengan rudal Jarak jauh bantuan Amerika Serikat dan Inggris.
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.
Editor in Chief Bangka Pos/Pos Belitung
Lebih dari 1.000 hari Rusia dan Ukraina berperang. Tapi tanda-tanda damai belum juga datang.
Memasuki hari ke-1.000, Ukraina justru menyerang wilayah Rusia dengan rudal Jarak jauh bantuan Amerika Serikat dan Inggris.
Media Ukraina, RBC melaporkan rudal taktis Angkatan Darat Amerika Serikat (ATACMS) menyerang wilayah Rusia sejak Selasa (19/11/2024) sore Waktu Kyiv.
Ukraina juga meluncurkan rudal Storm Shadow buatan Inggris-Perancis ke wilayah Rusia pada Rabu (20/11).
Rusia tak tinggal diam. Kamis (21/11/2024), giliran Rusia membalas menyerang Ukraina dengan menembakkan rudal balistik antarbenua.
Lebih parahnya, Rusia memilih mengubah doktrin perang yang semula hanya menggunakan pesawat nirawak alias drone berpeledak, kini menjadi nuklir.
Presiden Rusia Vladimir Putin memperbarui doktrin nuklirnya demi mempermudah pemerintah dan tentara Rusia menggunakan senjata nuklir.
Satu perubahan yang beredar di media adalah tentang serangan negara non nuklir terhadap Rusia.
Disebutkan dalam dokumen setebal tujuh halaman itu bahwa agresi atau serangan negara non nuklir terhadap Rusia yang dilakukan atas dukungan negara nuklir akan dianggap sebagai serangan gabungan.
Kremlin menilai, dukungan negara-negara Barat dengan membiarkan atau memberi izin kepada Ukraina untuk menyerang Rusia dengan rudal yang mereka kirim, sama artinya dengan perang terhadap Rusia.
Anggota senior Majelis Tinggi Parlemen Rusia Dewan Federasi, Andrei Klishas, dan Wakil Kepala Pertama Komite Urusan Internasional Dewan Federasi Vladimir Dzhabarov menyebut, balasan Rusia ditengarahi bisa mengarah ke Perang Dunia III.
Belum juga Rusia-Ukraina berdamai, sorotan beralih ke Timur Tengah. Sepekan sejak Presiden Suriah Bashar al-Assad digulingkan, Israel terus menyerang Suriah.
Sejak Sabtu pekan lalu, Israel melancarkan setidaknya 500 serangan udara ke berbagai penjuru Suriah.
Bagi Israel, serangan itu demi mencegah cadangan senjata Suriah dikuasai kelompok-kelompok milisi yang tidak dikehendaki Israel.
Pangkalan udara, pangkalan laut, gudang senjata, sampai laboratorium Suriah diserang Israel. Namun nyatanya, Israel justru mencaplok wilayah penyangga antara Dataran Tinggi Golan dan Suriah.
Israel kini menguasai area hingga 18 kilometer dari perbatasan Golan dengan wilayah lain di Suriah.
Israel seolah mengulangi pola di Lebanon dan Palestina. Dengan alasan menciptakan zona penyangga untuk keamanannya, Israel mencaplok wilayah negara lain.
Walhasil, PBB menilai pencaplokan itu melanggar kesepakatan 1974. Kala itu, PBB menyepakati zona penyangga yang bebas dari militer Suriah ataupun Israel.
Bukan Pilihan
Dalam bayang-bayang yang mengerikan itu perdamaian hingga kini bukan menjadi pilihan.
Perang seolah menjadi pilihan yang lebih baik ketimbang damai. Mereka seolah beradu peran, strategi, gerak demi tak mau kalah perang.
Dalam kecamuk mesin perang yang kian brutal itu, banyak orang juga sudah mengingatkan. Orang-orang yang menderita dan tak bersalah menjadi korban.
Berbekal catatan dari sejarah dalam Perang Dunia II, jumlah mereka yang menjadi korban perang mencapai beratus juta jiwa.
Lalu bagaimana sekarang? Anda mau menghitungnya? Saya tentu tidak ingin menghitungnya. Sebab, angka itu akan memperlihatkan bagaimana kekejaman tanpa maaf itu diperlukan.
Apalagi, perang, militerisme dan penindasan modern, tak akan berubah hanya karena niat satu-dua orang yang melawan.
Itu baru perang menggunakan senjata mematikan.
Saat ini, Kita juga harus menyaksikan perang dagang dan fragmentasi ekonomi dan keuangan global, yang menyeret pertumbuhan ekonomi dunia melambat.
Ditengarai, angkanya menyusut dari 3,2 persen pada 2024 menjadi 3,1 persen pada 2025 dan tiga persen pada 2026.
Setidaknya ini tertuang dalam catatan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo Ketika mengikuti Seminar Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (Kafegama) bertajuk “Memacu Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju”, secara hibrida, Sabtu (14/12/2024) kemarin.
Catatan Perry yang lain adalah soal penurunan inflasi global yang juga diperkirakan melambat, bahkan berisiko meningkat seiring dengan kebijakan tarif perdagangan AS.
Selain itu, ada pula pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed) diperkirakan lebih rendah, sedangkan suku bunga obligasi pemerintah AS akan meningkat seiring dengan membengkaknya defisit fiskal dan utang pemerintah AS.
Disebutkan, kondisi itu pada gilirannya memicu penguatan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang negara lain.
Selain itu, preferensi investor global pun beralih, dari sebelumnya menanamkan modal portofolio di negara berkembang menuju AS.
Kita perlu beradaptasi. Kita perlu sinergi bauran kebijakan transformasi ekonomi nasional untuk memperkuat stabilitas dan mendorong pertumbuhan tinggi. Begitu, kata tokoh dan pengamat memberi solusi atas banyak-banyak perang yang terjadi saat ini.
Walau terkadang cemas akhirnya yang datang. Tapi, bukankah kita mulai terbiasa ketika cemas datang. Apalagi, tiap hari, bulan dan tahun, cemas itu seolah dilatih.
Sebut saja saat Iran membalas serangan Israel terhadap Hamas, Hizbullah dan aneka kelompok perlawanan pada pendudukan Israel dan sekutunya.
Serangan balasan itu berhasil merontokkan tak hanya bursa Israel.
Di Amerika Serikat, indeks Dow, S&P500, dan Nasdaq kompak merosot.
Nasdaq paling buruk, 1,5 persen. Sementara Dow dan S&P terkoreksi masing-masing 0,4 persen dan 0,9 persen.
Penurunan juga terpantau di bursa Australia, Jerman, Perancis, dan Uni Eropa. Hanya bursa London, Inggris, yang justru mencatatkan kenaikan.
Kecemasan itu bukan barang baru, memang. Apalagi, soal kemiskinan tetap tak punya jawaban. Dan atas semua kejadian, hanya senyum dan lambaian tangan, seraya berharap semua akan berkilau pada waktunya.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.