Tribunners

Pasal Royalti Undang-Undang Hak Cipta

Hak cipta sering kali dianggap sebagai konsep yang sederhana, bahkan cenderung sering diabaikan tanpa adanya penghormatan sama sekali.

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI) 

Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI)

APA itu royalti?  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), royalti adalah; (1) uang jasa yang dibayar oleh penerbit kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan; (2) bagian produksi atau penghasilan yang dibayarkan kepada orang yang mempunyai hak memberi izin pengusahaan (eksplorasi) minyak dan sebagainya; (3) uang jasa yang dibayarkan oleh orang (perusahaan) atas barang yang diproduksinya kepada orang (perusahaan) yang mempunyai hak paten atas barang tersebut. 

Dari tiga makna tersebut, dua di antaranya mengarah pada bagian penghasilan yang diterima dalam kontak hak kekayaan intelektual (HKI), yakni hak atas hasil secara ekonomi yang diterima oleh pengarang dan bagian dari hasil produksi pagi pemegang paten.

Istilah royalti memang identik dengan konsep HKI, utamanya paten. Pasal 1 Angka 21 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), mengartikan royalti sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Setali tiga uang dengan KBBI, fondasi utama konsep royalti adalah didasarkan pada manfaat secara ekonomi. Royalti juga memang dikenal dalam paten, yakni imbalan yang diberikan untuk penggunaan hak atas paten (Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten).

Royalti; (Salah Satu) Pangkal Sengketa

Hak cipta sering kali dianggap sebagai konsep yang sederhana, bahkan cenderung sering diabaikan tanpa adanya penghormatan sama sekali. Padahal, tidaklah demikian adanya. Perlindungan hukum terhadap hak cipta bukan hanya penting. Pada perkembangannya, pemberian perlindungan yang optimal terhadap karya-karya intelektual yang masuk pada ruang lingkup hak cipta, berhadapan pada kondisi yang kadang kala mengharuskan adanya perubahan-perubahan pada aspek regulasi, umpamanya perkembangan teknologi. Selain perwujudan yang kini tidak harus selalu dalam bentuk fisik (seperti buku misalnya), pun dengan mudah cukup hanya dalam bentuk digital (e-book). Demikian juga dengan karya-karya yang lain. Hal ini kemudian meluas pada aspek pelanggaran terhadap hak cipta itu sendiri. Teknologi yang demikian canggih, memudahkan kehidupan manusia, pun memudahkan dilakukan pelanggaran terhadap hak cipta, dalam konteksnya seperti mudahnya memproduksi buku yang terlihat asli nyatanya palsu (pembajakan buku).

Persoalan lain yang kini sedang mendera upaya perlindungan hak cipta adalah diskursus soal alur pemberian royalti. Pada sebuah kasus yang menyita perhatian publik, yakni Ari Bias versus Agnez Mo, setidaknya-tidaknya didapati beberapa hal sebagai entry point untuk membenahi banyak aspek pada hak cipta, termasuk royalti. Ringkas perkara, Ari Bias kemudian membawa kasus ini dengan menggugat Agnez Mo secara perdata ke Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat. Hakim memutuskan Agnez Mo terbukti melanggar UUHC dan diperintahkan untuk membayar denda atau royalti ke Ari Bias sebesar Rp 1,5 miliar sesuai yang tertera di UUHC. Putusan ini ternyata tidak menyelesaikan masalah, sebab pihak Agnez Mo bersikukuh tidak ada masalah dengan sistem royalti.

Persoalan royalti, termasuk perkara antara Ari Bias versus Agnez Mo ini, setidaknya memberitahukan kepada publik beberapa hal. Pertama, ada nilai ekonomi yang terkandung pada sebuah ciptaan, termasuk sebuah lagu. Dengan demikian, apa pun bentuknya, sebuah ciptaan harus dihormati dengan beragam cara, yang paling sederhana adalah dengan meminta izin terlebih dahulu. 

Kedua, ada hubungan simbiosis mutualisme antara berbagai pihak yang terlibat, bukan hanya dalam proses produksi, tetapi juga distribusi. Dalam konteks lagu misalnya, ada hubungan yang erat antara si pencipta lagu dengan penyanyi yang diminta untuk menyanyikan lagu tersebut. Contoh lain, ada hubungan yang terbangun dan saling mendukung antara seorang penulis dengan perusahaan yang menerbitkan buku, dan masih banyak lagi. Ketiga, dan ini yang perlu segera dikokohkan bangunannya dalam konstruksi regulasi, ada masalah pada level regulasi dan implementasi menyangkut royalti.

Bagaimana royalti diatur UUHC?

Pengaturan mengenai royalti dalam UUHC salah satunya dapat dilihat dari diaturnya lembaga manajemen kolektif. Oleh UUHC, institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba ini diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait untuk mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Royalti salah satunya muncul karena adanya lisensi atas sebuah hak cipta. Dalam hal ini, pemberian lisensi yang dituangkan dalam sebuah perjanjian, disertai kewajiban penerima lisensi untuk memberikan royalti kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait selama lisensi berlangsung, kecuali para pihak menyepakati hal lain di luar ketentuan ini.

Sejatinya, ketentuan itu juga masih tergolong problematik. Misalnya, hanya menyatakan “disertai kewajiban penerima lisensi untuk…”, bukan “harus disertai kewajiban penerima lisensi untuk…”. Diperbolehkannya penyimpangan dari kewajiban ini juga kian memperumit soal royalti, walau ini sejatinya tunduk pada hukum perjanjian dalam bidang perdata.

Masalah lain soal royalti juga terlihat pada ketentuan yang khusus mengatur tentang lembaga manajemen kolektif. Lihat saja Pasal 87 UUHC. Dari ketentuan ini, didapati beberapa hal. Pertama, tidak ada kewajiban pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota lembaga manajemen kolektif. Dengan demikian, dapat saja masing-masing berhubungan langsung dengan pengguna.

Kedua, jika tidak masuk lembaga manajemen kolektif, bagaimana mekanisme penarikannya? Hal ini memang terjawab pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik sebagai aturan pelaksana, bahwa lembaga manajemen kolektif dapat menarik sekalipun tidak sebagai anggota. Masalahnya kemudian adalah bagaimana proses sebelum dan sesudah itu, misalnya izin dan distribusi royalti. Ini belum termasuk dalam hal yang lebih teknis, seperti kasus Ari Bias versus Agnez Mo.

Ini adalah sedikit hal dapat diuraikan di sini. Bila dilihat dari peristiwa konkret yang selama ini jamak terjadi, seperangkat regulasi yang ada sekarang memang perlu diperbarui. Ada banyak hal yang mesti diselesaikan melalui revisi atau pembuatan regulasi baru sebagai pengganti. Pembenahan regulasi memang mutlak dilakukan untuk melindungi kepentingan banyak pihak secara setara dan seimbang, bukan hanya salah satu pihak saja.

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved