Tribunners
MUI: Di Antara Para Akademisi dengan Semangat Kebudayaan
Jika kita boleh ilustrasikan, kepengurusan MUI Bangka Belitung kali ini, terlihat bagai lokomotif kokoh yang menarik gerbong dengan muatan melimpah
Oleh: Dr. Wahyudin Noor, M.S.I. - Wakil Dekan II FTAR IAIN SAS Babel, Anggota Komisi Pendidikan dan Pengkaderan MUI Bangka Belitung 2025-2030
KETIKA sejumlah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bangka Belitung periode 2025-2030 dikukuhkan, ada yang menarik untuk dicermati. Satu hal jelas menonjol, pengurus yang dilantik tampak dominan dari kalangan akademisi perguruan tinggi. Kendatipun tak dinafikan, beberapa di antaranya masih terlihat eksis perwakilan dari elemen-elemen ormas Islam, pondok pesantren, profesional dan birokrasi. Setidaknya untuk kali ini, pengurus MUI betul-betul bercita rasa kampus.
Taruhlah, terpilihnya Prof. Dr. KH. Hatamar Rasyid, M.Ag., menjadi ketua umum MUI Bangka Belitung yang juga merupakan wakil rektor I IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, -termasuk sejumlah pihak yang berlatar belakang akademisi, tentunya akan memberi peluang munculnya kebijakan maupun keputusan-keputusan yang bersifat strategis menuju tumbuh kembangnya kultur yang lebih moderat dan berkemajuan di Bangka Belitung. Bila dilihat dari kapasitas para personel pengurus misalnya, memang masih terlalu dini untuk dinilai. Namun, kolaborasi yang terbangun antarelemen tentunya memberikan rasa optimisme yang besar.
Jika kita boleh ilustrasikan, kepengurusan MUI Bangka Belitung kali ini, terlihat bagai lokomotif kokoh yang menarik gerbong dengan muatan melimpah dan megah. Oleh sebab itu, periode kepengurusan MUI Bangka Belitung ini harus benar-benar dapat memanfaatkan peluang dengan kepercayaan tinggi, tanpa perlu lagi khawatir oleh image organisasi yang selama ini dikesankan sebagian kalangan sangat eksklusif, konservatif, dan fundamental. Masyarakat kita sebagian tentu sangat paham!
Persoalannya ialah mengapa kepengurusan MUI Bangka Belitung periode kali ini melibatkan banyak dosen? Ini soalnya. Menurut hemat penulis, paling sedikit ada empat alasan yang bisa dijelaskan. Pertama, dari sisi makna ulama. Sejauh ini masyarakat memahami ulama sebatas ahli agama yang bersifat doktrinal, berintegritas moral dan berakhlak baik. Lebih dari itu, justru jadi lebih menarik jika menggunakan terminologinya Abuddin Nata (2012: 161), yang mengatakan, ulama sejatinya menggambarkan pribadi manusia yang paling ‘takut’ kepada Allah, mendalam keilmuan agamanya, termasuk juga merepresentasikan jiwa researcher dan scientist yang menghasilkan berbagai temuan di berbagai bidang ilmu. Kata researcher dan scientist ini cukup merepresentasikan akademisi.
Kedua, dosen umumnya terbiasa dengan wacana yang bersifat moderat dan berkemajuan. Di lingkungan kampus-kampus Islam misalnya, mewacanakan isu-isu moderat sesungguhnya telah lama disuarakan. Bukti-buktinya dapat ditemukan dari karya dosen, mata kuliah yang bersinggungan secara spesifik dengan studi Islam, kehadiran lembaga nonstruktural di kampus yang bersentuhan dengan moderasi, dan masih banyak contoh lainnya.
Ketiga, pandangan bahwa akademisi dan intelektual kampus tidak harus selalu berada di menara gading, sibuk dengan teori dan konsep yang serba melangit. Sesekali, - bolehlah inovasi dan hasil penelitian yang dihasilkan dari kampus dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. MUI, adalah salah satu rumah besar masyarakat itu.
Keempat, khusus intelektualis dan akademisi IAIN, bahwa keterlibatan mereka di MUI harus dilihat sebagai penyeimbang dua kecenderungan bahaya laten yang siap mengancam eksistensi negara, bahkan agama. Paham liberalisme Islam dan radikalisme Islam adalah dua ekstrem yang saling berhadap-hadapan. Secara pergerakan praktis, bisa jadi keduanya tidak terlihat.
Namun, perlu diingat, bahwa paham-paham sebagaimana dimaksud selalu mengarah pada pemikiran yang sangat dalam dengan pemahaman secara masif dan terstruktur gerakannya. Oleh karena itu, MUI tidak boleh menganggap bahwa tidak adanya gerakan bukan menjadi sebuah pertanda baik, barangkali menjadi anomali yang perlu kita mawas diri.
Ke depan tugas kepengurusan MUI Bangka Belitung, tentunya akan sangat berat dalam menjaga keutuhan, upaya perbaikan, melayani umat, menjaga kepercayaan dan penguatan organisasi keumatan kita di Negeri Serumpun Sebalai. KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden 2019-2024, pada satu waktu tertentu pernah mengungkapkan, “MUI harus dapat berperan sebagai agen perbaikan dan perubahan, yang menjadi inspirasi dan memperjuangkan kepentingan umat baik dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan”. Idealnya secara organisatoris, MUI tentu tidak saja hanya melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas kesepakatan hukum, tetapi lebih dari itu, harus juga melakukan zona perbaikan dan perubahan yang terkait dengan permasalahan keumatan dan kebangsaan di berbagai tempat.
Persoalannya adalah masalah keumatan dan kebangsaan yang mana yang bisa ‘dintervensi’ oleh MUI? Sebuah pertanyaan yang cukup menggoda, memang. Sekilas persoalan umat dan bangsa tampak berbeda. Tetapi sebenarnya adalah masalah umat itu terjadi tidak terlepas dari permasalahan bangsa, sebaliknya permasalahan bangsa juga merupakan permasalahan umat.
Fenomena belakangan misalnya, terlihat ada sesuatu yang paradoks, agama oleh sebagian kalangan muslim tidak lagi dihayati secara esensial. Kita tentu tidak begitu saja menutup mata. Bahkan, peristiwa-peristiwa yang kerap kali berhubungan di antaranya dengan tindakan kriminal, korupsi, ujaran kebencian, dan sejenisnya justru malah dilakukan pihak yang mestinya jadi teladan. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit dari mereka justru acap kali mengenakan simbol-simbol keagamaan untuk menutupi kejahatannya.
Alih-alih agama jadi landasan hidup, yang terjadi malah sebaliknya digunakan sebatas simbol di permukaan untuk menunjukkan identitas, bukan substansi yang esensial. Dari titik ini, idealisasi sebuah ajaran agama yang kita pahami seolah tidak simetris lagi dengan idealisasi kehidupan nyata di masyarakat.
Dari sudut ini, kita patut bertanya, “apakah kita telah betul-betul memahami agama? Tentu masalahnya tidak terletak pada agama, akan tetapi lebih pada cara kita memahami dan menjalaninya. Agama bukan semata-mata persoalan ritual, atribut, dan performa yang ditampilkan, doa-doa yang diucapkan, atau bahkan beragam bentuk rumah ibadah yang didirikan. Agama merupakan tentang bagaimana kita memilih sekaligus melakoni hidup agar tetap berada di jalur yang benar. Termasuk, kita perlu meyakini dan memberikan keyakinan bahwa dengan beragama yang benar akan selalu ada kebaikan bagi kehidupan beragama di masa mendatang.
Lalu, pertanyaan provokatifnya adalah “mampukah MUI mengembalikan agama yang disalahfungsikan pemeluknya? Jawabannya tentu sangat beragam. Secara kelembagaan MUI bukan layaknya organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan ‘memaksa’ umat melaksanakan ajaran agama secara benar. MUI bukan pula lembaga penegak hukum yang bisa mengeksekusi kejahatan beragama dari para pemeluknya. Mereka, - tokoh-tokoh yang tergabung di MUI, seperti disindir Komaruddin Hidayat (2012: 202), hanya bisa menyampaikan kritik, khutbah dan teguran yang bersifat moral. Keterangan ini tidak berarti mengecilkan peran MUI, sebaliknya justru ingin memberikan pembelaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.