Tribunners

Guru “Arsitek Peradaban”  

Guru harus terus menyalakan semangat dan merawat api kecil dalam diri setiap anak atau peserta didik dengan harapan akan menjadi cahaya peradaban.

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Dr. Kartika Sari, M.Pd.I. - Pengawas Madya Kementerian Agama Kota Pangkalpinang 

Oleh: Dr. Kartika Sari, M.Pd.I. - Pengawas Madya Kementerian Agama Kota Pangkalpinang

DI tengah cepatnya perubahan dunia yang ditandai oleh revolusi teknologi, globalisasi, dan pergeseran nilai sosial, peran guru menjadi makin strategis dan menentukan. Bukan hanya sebagai penyampai ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu, guru adalah arsitek peradaban. Sejarah mencatat, kemajuan bangsa mana pun selalu diawali oleh kualitas pendidikan yang kuat, dan pendidikan yang kuat hanya bisa lahir dari tangan-tangan guru yang mumpuni.

Namun, realitas hari ini menunjukkan betapa profesi guru masih sering dipandang sebelah mata. Ada yang menganggap guru sekadar "pekerja rutin" yang mengajar, memberi tugas, dan mengoreksi pekerjaan siswa. Lebih ironis lagi, dalam era digital ini, di mana informasi tersedia hanya dalam genggaman, sebagian orang mulai mempertanyakan apakah guru masih relevan?

Inilah persoalan besar yang harus dijawab. Guru bukan hanya relevan, tetapi justru kian vital. Sebab, di era penuh ketidakpastian ini, dunia membutuhkan manusia-manusia yang bukan sekadar pintar, melainkan memiliki karakter kuat, berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan berempati tinggi. Mencetak manusia seperti itu bukan tugas teknologi, melainkan tugas guru. Dengan kata lain, guru adalah arsitek yang merancang fondasi dan membangun struktur peradaban masa depan.

Kurikulum Merdeka, yang membawa semangat deep learning atau pembelajaran mendalam, sejatinya adalah peluang besar bagi guru untuk mengambil peran strategis sebagai arsitek peradaban. Tidak lagi mengedepankan hafalan dangkal, tetapi menggali pemahaman yang substansial. Deep learning menuntut siswa bukan hanya tahu "apa" dan "bagaimana", tetapi juga "mengapa" dan "untuk apa". Ini berarti guru harus memfasilitasi siswa untuk memahami konsep, mengaitkannya dengan dunia nyata, dan membangun keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Di sinilah tantangan dan kemuliaan profesi guru berpadu. Guru bukan hanya pemberi informasi, melainkan pembimbing, inspirator, sekaligus pembentuk karakter. Guru adalah "arsitek" yang merancang bagaimana generasi masa depan mampu berpikir kritis, memiliki rasa ingin tahu, mampu memecahkan masalah, dan tetap berpegang pada nilai-nilai moral.

Guru yang memahami dirinya sebagai arsitek peradaban tidak akan puas hanya dengan "menyelesaikan perangkat pembelajaran yang lengkap". Mereka sadar bahwa misi mereka lebih besar: membentuk manusia utuh. Setiap materi pelajaran adalah bahan bangunan untuk membangun nilai-nilai luhur dalam diri anak didik. Misalnya, ketika mengajarkan matematika, bukan hanya tentang angka-angka, tetapi juga tentang ketekunan, kejujuran, dan logika berpikir. Saat mengajarkan sejarah, bukan sekadar hafalan tanggal, melainkan menanamkan nilai patriotisme, keteladanan, dan semangat belajar dari masa lalu.

Dalam kerangka deep learning, guru harus mampu membangun suasana pembelajaran yang merangsang rasa ingin tahu siswa, mendorong mereka untuk bertanya, mengeksplorasi, dan menemukan makna sendiri. Proyek-proyek berbasis masalah (project based learning), diskusi reflektif, pembelajaran kolaboratif, adalah strategi yang harus dikuasai guru agar pembelajaran benar-benar bermakna dan berkesan.

Tentu menjadi arsitek peradaban bukan tanpa tantangan. Guru harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, mengelola beragam karakter siswa, hingga tuntutan administratif yang kerap menyita energi. Tetapi di balik semua itu, ada peluang besar: teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperkaya metode pembelajaran, mengakses sumber belajar tak terbatas, dan memperluas jejaring kolaborasi.

Lebih dari itu, perubahan kurikulum membuka ruang inovasi. Guru tidak lagi terkungkung oleh buku teks, melainkan diberi kebebasan merancang pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Dengan kebebasan itu, guru dapat lebih kreatif menghubungkan pelajaran dengan kehidupan nyata sehingga pendidikan menjadi kontekstual dan berorientasi pada masa depan.

Momentum Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei menjadi pengingat penting akan misi luhur ini. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan refleksi mendalam bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemajuan peradaban, dan guru adalah penentu kualitas jalan tersebut. Semangat Ki Hadjar Dewantara—ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—kembali menguatkan bahwa guru bukan hanya pendidik, tetapi juga pemimpin moral dan penggerak nilai di tengah masyarakat yang terus berubah.

Kita ketahui bersama bahwa kualitas guru menentukan kualitas bangsa. Jika kita ingin membangun peradaban emas di masa depan, kita harus mulai dari membangun kualitas guru hari ini. Guru yang terus belajar, merefleksi diri, berinovasi, dan berkomitmen membentuk karakter generasi penerus. Menjadi arsitek berarti bukan hanya merancang di atas kertas, tetapi mewujudkan dalam tindakan nyata. Demikian pula guru, harus menjadi teladan hidup bagi nilai-nilai yang dia ajarkan. Anak-anak lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan hanya dari apa yang mereka dengar.

Guru yang penuh integritas, cinta damai, tekun, adil, kreatif, dan bersemangat, akan menjadi inspirasi sejati bagi siswa-siswanya. Ketika guru menunjukkan semangat belajar sepanjang hayat, maka siswa akan meniru. Ketika guru memperlihatkan empati dan rasa hormat dalam berinteraksi, maka siswa pun akan membiasakan diri untuk saling menghargai. Inilah esensi pendidikan yang sesungguhnya: membentuk manusia, bukan sekadar mengisi otak.

Peradaban tidak dibangun dalam sekejap, sebagaimana pohon besar tidak tumbuh dalam satu musim. Ia membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan tangan-tangan yang penuh cinta untuk merawatnya. Di ruang-ruang kelas yang mungkin sederhana, di tengah tantangan yang sering sunyi dari sorotan, guru menanam benih-benih masa depan dalam membentuk generasi yang kritis, kreatif, berkarakter, dan penuh daya juang.

Guru harus terus menyalakan semangat dan merawat api kecil dalam diri setiap anak atau peserta didik dengan harapan akan menjadi cahaya peradaban. Jangan pernah meremehkan satu langkah kecil, satu kalimat penyemangat, atau satu pelajaran kehidupan yang kita tanamkan hari ini. Karena sejatinya, di dunia yang terus berubah, warisan terbesar kita bukanlah bangunan megah atau teknologi canggih, melainkan manusia-manusia yang berjiwa besar. Dan membangun jiwa itulah tugas abadi seorang guru. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved