Tribunners
Keterlibatan Kolektif Menuju Pendidikan Unggul Untuk Semua Kalangan
Keterlibatan kolektif menjadi semakin penting sebagai pendorong utama tercapainya pendidikan yang unggul dan merata.
Oleh: Muhammad Isnaini
(Pengamat Pendidikan dan Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Raden Fatah Palembang)
Pendidikan bukan hanya urusan lembaga sekolah dan pemerintah. Ia merupakan tanggung jawab bersama yang menuntut keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Dalam konteks dunia yang terus berkembang, keterlibatan kolektif menjadi semakin penting sebagai pendorong utama tercapainya pendidikan yang unggul dan merata.
Pendidikan juga sering disebut jantung kemajuan bangsa. Namun, keberhasilannya tidak semata ditentukan oleh kurikulum atau kebijakan, melainkan juga oleh sejauh mana seluruh elemen bangsa terlibat dalam prosesnya.
Dalam semangat ini, peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, yang menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor demi terwujudnya pendidikan yang adil, merata, dan berkualitas.
Tema tersebut merefleksikan sebuah paradigma baru dalam dunia Pendidikan, bahwa pemerintah bukan satu-satunya aktor, melainkan fasilitator dalam membangun ekosistem pendidikan.
Sejalan dengan gagasan Paulo Freire (1970) yang menyatakan bahwa pendidikan yang membebaskan hanya bisa terjadi jika ada dialog antara pendidik dan peserta didik, maka dalam konteks nasional, pendidikan yang membebaskan hanya mungkin jika ada dialog dan keterlibatan aktif antara negara, masyarakat, dan dunia usaha.
Perayaan Hardiknas 2025 menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali bahwa tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat menjadi madrasah pertama bagi anak-anak.
Komunitas lokal berperan penting dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Sementara itu, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) semakin membuka ruang partisipasi digital yang luas bagi siapa pun untuk berkontribusi, dari guru di kota hingga relawan di pelosok desa.
Menurut beberapa pakar Pendidikan misalnya John Dewey menekankan bahwa pendidikan adalah proses sosial yang tak terpisah dari lingkungan tempat individu hidup (Dewey, 1916).
Artinya, keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh keterlibatan orang tua, komunitas, bahkan dunia usaha.
Ketika seluruh pihak memiliki kepedulian dan kontribusi terhadap pendidikan, maka proses pembelajaran akan lebih bermakna dan relevan.
Teori connectivism dari George Siemens (2005) semakin relevan dalam konteks ini.
Ia menekankan bahwa pembelajaran modern harus berbasis jaringan, keterhubungan, dan partisipasi aktif dalam komunitas digital.
Maka partisipasi semesta dalam dunia pendidikan saat ini tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga melalui ruang-ruang digital, misalnya platform pembelajaran daring, forum edukasi, hingga inisiatif open source pendidikan.
Namun, partisipasi tidak boleh hanya menjadi slogan. Ia harus dimaknai sebagai keterlibatan yang sadar, terstruktur, dan berkelanjutan.
Negara perlu membuka ruang bagi aspirasi masyarakat; masyarakat pun perlu bergerak, tidak hanya menuntut tetapi turut serta memberi solusi.
Di Indonesia sendiri, tantangan pemerataan dan mutu pendidikan masih nyata.
Disparitas fasilitas, kualitas guru, hingga akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) masih menjadi kendala serius, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Oleh karena itu, keterlibatan kolektif harus juga mencakup pemanfaatan teknologi sebagai alat pemersatu dan pemerata akses.
Seperti diungkap oleh Siemens di atas, bahwa pembelajaran modern harus mampu memanfaatkan jaringan digital dan kolaboratif sebagai sumber daya belajar yang luas dan dinamis.
Keterlibatan kolektif juga memperkuat nilai-nilai gotong royong dalam pendidikan.
Ketika masyarakat secara aktif mendukung sekolah melalui program literasi, pendampingan siswa, atau penyediaan fasilitas, maka kualitas pendidikan meningkat bukan hanya dari aspek akademik, tetapi juga dari segi karakter dan nilai sosial.
Pemerintah memang memiliki peran strategis dalam menetapkan arah dan kebijakan, tetapi implementasinya sangat bergantung pada peran serta semua pihak.
Dengan keterlibatan semesta yang terstruktur dan kolaboratif, visi pendidikan yang unggul untuk semua kalangan bukan lagi utopia. Ia menjadi sesuatu yang bisa dicapai melalui kerja bersama, semangat kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi secara bijak.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa pendidikan bermutu untuk semua tidak dapat dicapai hanya melalui peran formal institusi pendidikan atau kebijakan pemerintah semata.
Ia membutuhkan keterlibatan kolektif yang nyata dari seluruh unsur masyarakat.
Setiap pihak memiliki peran strategis yang saling melengkapi. Sekolah sebagai pusat pembelajaran, keluarga sebagai fondasi karakter, masyarakat sebagai ekosistem pendukung, serta dunia usaha dan teknologi sebagai penggerak inovasi.
Ketika semua unsur ini bersinergi, maka pendidikan menjadi lebih dari sekadar proses transfer ilmu, melainkan menjadi gerakan sosial yang membentuk manusia seutuhnya.
Dalam praktiknya, semangat partisipasi semesta dapat diimplementasikan melalui berbagai cara.
Komunitas lokal dapat mengambil bagian dalam mendampingi proses belajar siswa, baik melalui kegiatan literasi, kelas kreatif, maupun forum belajar bersama.
Sekolah dan guru dapat mengembangkan pembelajaran kontekstual berbasis kolaborasi lintas sektor.
Pemerintah daerah bisa mendorong pemanfaatan teknologi pendidikan yang inklusif agar tidak ada anak yang tertinggal karena keterbatasan akses.
Bahkan dunia usaha pun dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial yang mendukung peningkatan sarana dan prasarana belajar.
Rekomendasi yang muncul dari semangat ini adalah perlunya kebijakan yang membuka ruang partisipasi lebih luas bagi masyarakat, pelatihan berkelanjutan bagi tenaga pendidik agar mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, serta penguatan jejaring kolaboratif antara sekolah, keluarga, dan komunitas.
Selain itu, perlu dorongan nyata agar TIK digunakan tidak sekadar sebagai alat, melainkan sebagai jembatan pembuka akses dan pemersatu pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian, jika partisipasi semesta benar-benar diwujudkan dalam bentuk nyata dan berkelanjutan, maka pendidikan unggul untuk semua bukan hanya semboyan dalam peringatan Hardiknas, tetapi menjadi gerakan kolektif menuju kemajuan bangsa yang sejati. Wallahu a’lam Bisshowab.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.