Tribunners
Meriang Velocity dan Stecu-stecu
Setiap tren (tidak hanya velocity dan stecu-stecu) bisa menjadi pisau bermata dua. Ia bisa memberi manfaat, namun terbuka juga untuk keburukan
Oleh : Yusrajar Fikma - ASN Pemda Belitung Timur, Alumnus Universitas Andalas
DILANSIR dari datareportal, pada awal tahun 2025, platform Tiktok di Indonesia digunakan oleh 108 juta pengguna berusia 18 tahun ke atas. Jika dilihat dari jenis kelamin pengguna Tiktok di Indonesia, terdapat 50,8 persen audiens adalah perempuan, sedangkan 49,2 persen laki-laki. Artinya, dengan perbandingan jumlah total penduduk Indonesia tahun 2025 yang diproyeksikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 284 juta jiwa, terdapat hampir setengah populasi masyarakat Indonesia dengan rentang usia 18 tahun ke atas adalah pengguna Tiktok.
Tiktok mulai menembus pasar di Indonesia pada tahun 2018. Fitur-fitur menarik seperti video pendek dengan beragam filter dan efek khusus, livestream, hingga konten berbayar berimplikasi pada pesatnya tumbuh kembang media ini. Pengguna platform ini dapat membuat konten kreatif yang bisa dibagikan dengan mudah dengan jangkauan global. Popularitas Tiktok melonjak tajam di kalangan generasi muda. Tiktok pada akhirnya merajai pasar media untuk tren viral, challenge, dan konten hiburan lainnya di Indonesia.
Tren seperti velocity dan stecu-stecu akhir-akhir ini viral di berbagai platform media, di mana Tiktok menjadi salah satu platform yang menyediakan fitur untuk melahirkan tren viral ini. Penulis sendiri pernah iseng bertanya kepada teman-teman yang sedang asyik membuat konten velocity dan stecu-stecu, “velocity itu apa?”, dan dijawab “lihat Tiktok”, dan penulis lanjut bertanya, “kalau stecu-stecu?”, dan lagi-lagi dijawab, “coba cari saja di Tiktok, lagi viral itu”. Jawaban itu mengindikasikan bahwa tidak semua pembuat konten tahu arti atau makna lahirnya konten yang sedang mereka buat.
Jika kita cari istilah velocity di mesin pencarian Google, velocity sebenarnya sudah digunakan sejak lama, khususnya dalam keilmuan fisika. Velocity pada ilmu fisika dapat diartikan sebagai kecepatan. Jika dihubungkan dengan tren viral ini, velocity artinya cara mengedit video yang memanipulasi kecepatan pemutaran yang identik dengan slow motion.
Adapun tren stecu-stecu sendiri merupakan akronim dari stelan cuek alias setelan cuek. Stecu-stecu adalah lagu yang diciptakan oleh Farid Egall dan dinyanyikan oleh Faris Adam. Jika kita lihat pada platform YouTube, lagu Stecu-stecu ini sudah ditonton 34 juta kali. Tingginya angka viewers lagu ini masih bisa terus naik dikarenakan salah satu penyebabnya adalah penggunaan potongan lagu ini pada platform Tiktok. Lagu yang menggambarkan sikap cuek atau acuh tak acuh dalam percintaan ini pada pengguna Tiktok dipadupadankan dengan berbagai interpretasi dan gaya menari. Bahkan lagu ini bisa dipadukan dengan gerakan menari ala tren velocity.
Pertanyaannya, mengapa tren velocity dan stecu-stecu ini bisa viral? jika dilihat dari ilmu sosiologi, ada yang dinamakan Bandwagon Effect. Istilah ini menggambarkan fenomena di mana seseorang cenderung mengikuti perilaku atau opini populer atau sedang tren dikarenakan ingin merasa menjadi bagian dari kelompok atau menghindari perasaan dikucilkan. Maka sekarang siapa pun bisa mengikuti tren viral seperti ini atau bahkan menjadi viral dengan tren ini. Tidak perlu kemampuan khusus seperti kemampuan menari dengan berbagai macam teknik ilmu menari, kita semua bisa menjadi penari dadakan dengan hanya menghafal sedikit gerakan dan kemampuan mengedit video dengan fitur pengeditan yang telah disediakan oleh Tiktok. Mulai dari anak-anak hingga orang tua sudah join dalam tren ini.
Secara ilmiah tren velocity dan stecu-stecu ini juga dapat dijelaskan dengan teorinya sosiolog asal Amerika, George H. Mead tentang interaksi simbolik. Mead menekankan bahwa interaksi sosial terjadi melalui penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna bagi individu dan kelompoknya. Simbol-simbol ini dapat berupa kata-kata, bahasa tubuh atau gerakan, atau juga benda-benda yang memiliki makna yang dipahami dan disepakati bersama. Secara implisit, tren viral ini menampilkan beberapa simbol di antaranya ekspresi identitas dan budaya kolektif. Ekspresi identitas dalam tren ini adalah mayoritas orang membuat tren viral untuk menunjukkan eksistensinya di dunia digital. Maka setelah join the trend, individu merasa tervalidasi dan menjadi bagian dari komunitas secara global.
Lantas kemudian apa dampak dari meriang velocity dan stecu-stecu ini? Tentu ada dampak positif maupun negatif pada tren-tren viral seperti ini. Bicara soal dampak positif, tren ini bisa meningkatkan kreativitas dan mempererat hubungan sosial via media sosial. Gerakan joget velocity maupun stecu-stecu dapat menjadi bentuk relaksasi dan manajemen stres yang ujung-ujungnya hanya soal kepuasan emosional yang sifatnya subjektif.
Sementara itu, dampak negatif dari tren ini membuat beberapa orang resah sebab dianggap sudah over-used dan tidak semestinya dilakukan pada tempat atau momen tertentu. Dampak negatif lainnya adalah potensi tekanan sosial untuk mengikuti tren tersebut, ketergantungan pada teknologi dan media sosial hingga acuh tak acuh pada kehidupan nyata, serta risiko cyberbullying bagi mereka yang dianggap gagal atau tidak pantas mengikuti tren. Tidak cukup hanya itu, kecemasan berlebih untuk selalu up-to-date dapat mengganggu produktivitas serta jam tidur kita, dikarenakan pikiran akan terus berputar dari tren apa yang mungkin dilewatkan ketika sedang offline. Keinginan untuk selalu mengikuti perkembangan terbaru sering kali menimbulkan perasaan selalu merasa tidak cukup, bahkan ketika segala sesuatunya berjalan baik-baik saja.
Setiap tren (tidak hanya velocity dan stecu-stecu) bisa menjadi pisau bermata dua. Ia bisa memberi manfaat, namun terbuka juga untuk keburukan yang datang. Oleh karena itu, fokuslah mengembangkan pola pikir, adab, dan hati. Pola pikir; agar dapat memilah tren mana yang harmless, mana yang lebih banyak keburukannya. Adab; agar dapat menempatkan diri kapan dan di mana pantas untuk membuat konten. Hati; agar tidak mudah iri dengki dan menghakimi jika melihat orang lain coba membahagiakan diri sendiri, termasuk lewat hal-hal kecil seperti tren velocity dan stecu-stecu ini. (*)
Memacu Pangkalpinang sebagai Kota Jasa, Perdagangan, dan Pariwisata |
![]() |
---|
200 Triliun untuk Bank BUMN: Dalam Persfektif Ekonomi Islam Benarkah Menjadi Solusi? |
![]() |
---|
Perundungan di Sekolah, Antara Konflik Wajar dan Kekerasan Terselubung |
![]() |
---|
Dari Timah ke Talenta: Membangun SDM Bangka Belitung |
![]() |
---|
Di Balik Trauma, Ada Tumbuh: Menelusuri Faktor yang Mendorong Perawat Bangkit |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.