Tribunners

Di Balik Trauma, Ada Tumbuh: Menelusuri Faktor yang Mendorong Perawat Bangkit

Trauma menjadi bagian tak terpisahkan dari profesi ini. Namun, dari balik luka yang dalam, justru muncul kekuatan untuk bangkit dan tumbuh

Ist/Ega Mustika
Ega Mustika, Mahasiswa Prodi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang 

Oleh: Ega Mustika, Mahasiswa Prodi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang 

DI TENGAH hiruk pikuk sistem kesehatan yang sering kali timpang, perawat menjadi garda terdepan yang paling sering terluka baik secara fisik, emosional maupun mental. 

Trauma menjadi bagian tak terpisahkan dari profesi ini. Namun yang menarik, dari balik luka yang dalam, justru sering kali muncul kekuatan untuk bangkit dan tumbuh.

Pertanyaannya: apa yang sebenarnya mendorong para perawat untuk tetap bertahan, bahkan bangkit lebih kuat?

Sebagai mahasiswa, kita sering mempelajari konsep "post-traumatic growth" dalam kajian psikologi. Ini adalah proses di mana seseorang tidak hanya pulih dari trauma, tetapi justru mengalami perkembangan pribadi yang lebih dalam setelahnya.

Dalam konteks perawat, hal ini bukan hanya teori, ini nyata.

Kita bisa melihat banyak perawat yang setelah mengalami kelelahan ekstrem atau kehilangan pasien secara tragis, justru menjadi lebih empatik, lebih tangguh dan lebih sadar akan makna pekerjaannya.

Faktor pertama yang mendorong kebangkitan ini adalah makna profesi. Banyak perawat melihat pekerjaan mereka bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan hidup.

Ketika mereka merawat pasien, mereka tidak hanya menjalankan tugas, tetapi juga memenuhi peran kemanusiaan yang mendalam. Kesadaran ini memberi mereka kekuatan untuk tetap berdiri, bahkan ketika dunia seakan runtuh.

Kedua, ada dukungan sosial baik dari sesama tenaga kesehatan, keluarga maupun komunitas. 

Dalam budaya kerja yang penuh tekanan, solidaritas antar-perawat sering menjadi "pelampung" emosional yang menyelamatkan mereka dari tenggelam dalam keputusasaan.

Sayangnya, dukungan ini tidak selalu difasilitasi dengan baik oleh institusi. Ini jadi catatan penting bagi kita semua, termasuk calon tenaga kesehatan, untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif kedepannya.

Faktor ketiga yang tak kalah penting adalah akses terhadap refleksi diri dan ruang psikologis yang aman.

Perawat yang diberi ruang untuk bercerita, menangis atau sekadar didengarkan, cenderung memiliki resiliensi yang lebih kuat. Maka dari itu, penting bagi lembaga pendidikan dan rumah sakit untuk menyediakan fasilitas konseling atau forum diskusi yang tidak menghakimi.

Namun di balik semua ini, kita juga harus jujur bahwa tidak semua perawat bisa bangkit dengan mudah. Ada yang terjebak dalam trauma berkepanjangan, ada yang memilih mundur dari profesi, dan itu bukan kegagalan itu adalah bentuk lain dari keberanian.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved