Tribunners
Perundungan di Sekolah, Antara Konflik Wajar dan Kekerasan Terselubung
Bullying di sekolah bukan hanya soal hubungan antaranak, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan intervensi hukum dan kebijakan.
Oleh: Muhammad Bachtiyar, S.Pi., M.T. - Pendidik di Toboali, Bangka Selatan
FENOMENA bullying atau perundungan di sekolah tidak bisa dianggap remeh. Kasus- kasusnya makin sering muncul di pemberitaan, media sosial, maupun laporan resmi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa perundungan termasuk laporan terbanyak di bidang pendidikan. Artinya, masalah ini bukan sekadar “anak-anak yang sedang main kasar” atau “kenakalan kecil”, melainkan persoalan serius yang berdampak pada psikologi, perkembangan sosial, bahkan masa depan anak. Pada beberapa kasus, berakibat pada luka fisik yang fatal, bahkan hilangnya nyawa.
Secara bahasa, istilah bully berasal dari bahasa Inggris yang berarti menggertak, menindas, atau memperlakukan orang lain dengan kasar, terutama terhadap yang lebih lemah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kini sudah menyerap istilah ini menjadi “perundungan”, yang didefinisikan sebagai perbuatan merundung, yakni mengganggu, mengusik, menyusahkan, atau menyakiti orang lain secara berulang.
Bullying vs konflik anak
Konflik di antara anak-anak sebenarnya bagian alami dari proses pertumbuhan. Jean Piaget (1932) lewat teori perkembangan moral menjelaskan bahwa pertengkaran kecil membantu anak memahami aturan, keadilan, dan perspektif orang lain. Erik Erikson (1950) dengan teori tahap psikososial menekankan bahwa di usia sekolah, konflik teman sebaya bisa membentuk rasa percaya diri atau justru melahirkan rasa minder.
Demikian pula Lev Vygotsky (1978) melalui teori interaksi sosial melihat konflik sebagai ruang belajar anak dalam mengendalikan emosi, berdiskusi, dan menemukan solusi bersama. Dari perspektif sosiologi, Lewis Coser (1956) dalam teori konflik sosial menyebut konflik yang sehat dapat memperkuat hubungan karena memaksa adanya negosiasi ulang aturan antar individu.
Dari berbagai teori di atas, dapat dipahami bahwa konflik wajar sesekali justru menumbuhkan keterampilan sosial, tetapi bila konflik berubah menjadi pola dominasi sepihak yang berulang seperti dalam bullying, maka hasilnya bukan lagi pembelajaran, melainkan luka psikologis dan rusaknya relasi sosial.
Menurut Dan Olweus (1993), seorang psikolog asal Norwegia yang banyak meneliti fenomena bullying, dalam bukunya Bullying at School: What We Know and What We Can Do, terdapat tiga ciri utama perundungan, yakni dilakukan secara sengaja untuk menyakiti atau melukai korban, terjadi secara berulang-ulang, bukan sekali dua kali, dan ada ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban (baik fisik, psikologis, maupun sosial).
Dengan kata lain, tidak setiap konflik antaranak dapat dikategorikan sebagai bullying. Anak-anak bisa saja berbeda pendapat, marah, bahkan berkelahi sebentar, lalu berdamai. Itu bisa disebut konflik wajar dalam perkembangan sosial.
Namun, jika ada satu anak atau kelompok yang terus-menerus merendahkan, menyakiti, dan membuat korban tidak berdaya, maka hal itu jelas termasuk perundungan. Contoh yang paling sering kita jumpai adalah ejekan dan ledekan. Anak-anak mungkin menyebut temannya dengan panggilan seperti “gendut”, “hitam”, “kutu buku”, atau “keriting”. Jika terjadi sesekali dan dalam konteks bercanda yang setara, mungkin bisa disebut kenakalan. Tetapi jika ejekan ini terus diulang, ditertawakan banyak orang, membuat korban merasa rendah diri dan malu, maka jelas itu sudah bullying verbal.
Barbara Coloroso, seorang pendidik, penulis, dan pembicara internasional asal Kanada-Amerika yang banyak menulis soal pendidikan anak, disiplin tanpa kekerasan, resolusi konflik, serta isu bullying di sekolah, membedakan antara konflik biasa dengan bullying. Menurutnya, konflik bisa diselesaikan dengan kompromi atau kesepakatan kedua belah pihak. Namun, bullying bukan konflik biasa karena korban tidak punya posisi tawar untuk melawan. Bullying hanya berhenti jika pelaku berhenti atau ada intervensi dari luar.
Dari perspektif Islam, perilaku mengejek orang lain bukan sekadar kenakalan, tetapi bisa menjadi dosa besar. Allah menegur dengan tegas dalam QS. Al-Hujurat ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok...” Ayat ini menunjukkan bahwa ejekan bisa merusak martabat manusia.
Rasulullah SAW pun mengingatkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya; ia tidak boleh menzaliminya, dan tidak boleh merendahkannya.” Dengan demikian, ejekan yang terus-menerus jelas bukan hal remeh, melainkan perbuatan zalim yang merendahkan martabat sesama manusia.
Generasi Z, keluarga, dan media
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.