Resonansi

CELOTEH

Pendekatan sosiologi ini dinilai bisa mengungkap berbagai aspek, mulai dari struktur kekuasaan hingga dinamika ekonomi

Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Dok. Ade Mayasanto
Ade Mayasanto, Editor in Chief Bangka Pos/Pos Belitung. 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.

Editor in Chief 
Bangka Pos/Pos Belitung


CELOTEH burung camar serasa lebih indah dari suara gelombang ketakutan. Sebab, rasa cemas tak kunjung tenggelam seusai badai kematian di 2020 lalu.

Banyak orang berharap ketika covid-19 berlalu, senyum bakal datang. Nyatanya, setelah badai itu tenggelam, tersisa kabut yang terkadang menghalangi laju jalan.

Rasa was-was kembali datang saat ada ketidakpastian atas kabut lanjutan. Hitung-hitung laba pun mencemaskan karena kian luntur dan bahkan menghilang.

Renungan pagi berakhir dengan kemurungan di sore hari. Dan esok paginya, bukan lagi soal renungan, tapi diam dalam kemurungan.

Keadaan semakin menyedihkan saat menengok suara kawan di grup pesan pendek pimpinan. Kata-kata yang muncul bukan soal dialektika. Tapi, soal ilmu kaum penjilat. 'Keren ketua', 'Mantap Pak', 'Luar biasa', 'kebijakan anda mirip Nelson Mandela'. 

Semua kata-kata itu dalam hitungan detik menyirnakan teori modernisasi ala W.W Rostow, teori ketergantungan Andre Gunder Frank, atau teori sistem dunia ala Immanuel Wallestein.

Bahkan bisa jadi Karl Marx yang begitu semangat bicara soal pembangunan sebagai bagian dari konflik kelas antara kaum borjuis dan proletariat, terbengong-bengong saat mengetahui ilmu pendolopan begitu jaya di udara.  

Apakah itu salah? Ya, bergantung. Ilmu itu merupakan bagian dari sejarah politik dan sosial di berbagai era.

Coba tengok bagaimana Grigori Rasputin dikenal sebagai sosok manipulatif. Rasputin merupakan seorang penasihat ternama pada era Tsar Nicholas II di Rusia. 

Karakter manipulatif juga pernah masuk dalam drama Shakespreare Iago dalam Othello. Saksikan, bagaimana Iago menggunakan tipu daya demi ambisi, dan tak peduli keseimbangan dan keadilan dalam hubungan sosial luluh lantah. 

Beruntung, seorang professor mengingatkan. Ia meminta kajian tidak terjebak dalam karakter seseorang.

Ketika bertanya-tanya perihal dinamika ekonomi dan tata ruang demi kesejahteraan masyarakat, ada baiknya dikupas dari pendekatan sosiologi.

Pendekatan sosiologi ini dinilai bisa mengungkap berbagai aspek, mulai dari struktur kekuasaan, pola interaksi sosial, hingga dinamika ekonomi-politik yang mempengaruhi kebijakan daerah. Sebut saja soal struktur sosial dan kekuasaan.

Dalam konteks ini, pemerintahan suatu daerah dikaji dari distribusi kekuasaan dan bagaimana kelompok sosial berinteraksi dengan pemerintah. 

Begitu juga dalam konteks sosiologi pembangunan, perubahan sosial dalam masyarakat akibat pembangunan bisa juga dianalisis.

Sebut saja telaah Bert F. Hoselitz saat membeberkan teori ketergantungan dari strukturalisme. Bahwa, struktur sosial dan budaya mempengaruhi pola pembangunan.

Atau telaah Anre Gunder Frank yang melihat pembangunan dalam konteks ketimpangan global.

Seorang kawan kembali mengingatkan. Ada baiknya tidak menggunakan satu pendekatan. Sebab, banyak pendekatan yang bisa dilakukan. Namun, ada pula yang menimpali bahwa semua pendekatan itu tidak ada guna. Pasalnya, tokoh ketidakpastian sudah muncul.

Tokoh ini meniadakan teori dan pendekatan para ahli sekalipun. Ini bukan lagi soal nyalakan lampu sen kanan, belok kiri. Tapi, pendekatan suka-suka atas nama kuasa. Tak peduli soal cuan karena terkadang, penuh ketakjuban. 

Ah, siapa peduli itu semua. Lebih baik membaca catatan John Cornford berjudul To Margot Heinemann, yang kemudian diterjamahkan Chairil Anwar dalam Puisi Huesca.

Puisi tentang perasaan cinta, kerinduan, dan ketakutan dalam nuansa kehilangan dan kenangan mendalam sebuah perjalanan.  Siapa tahu itu adalah jawaban atas dunia yang hilang jiwa. 

 

 

 

 

 


  

 

 


  

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved