Profil Tokoh

Profil Hetifah Sjaifudian, Ketua Komisi X DPR RI Kritik Keputusan MK Soal Gratiskan Sekolah Swasta

Hetifah menilai tak masuk akal jika masyarakat yang menyekolahkan anak di sekolah swasta premium, juga menginginkan seluruh biayanya ditanggung negara

Penulis: Vigestha Repit Dwi Yarda | Editor: fitriadi
Laman DPR RI
KRITISI SEKOLAH GRATIS - Anggota Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sekolah gratis. 

BANGKAPOS.COM -- Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sekolah gratis.

Hetifah menilai tidak masuk akal jika masyarakat yang secara sukarela menyekolahkan anak di sekolah swasta premium, juga menginginkan seluruh biayanya ditanggung negara.

Ujaran itu dikeluarkannya seiring keputusan MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Baca juga: Perlu Rp 84 Triliun Untuk Sekolah Gratis, Ketua PBNU: Sekolah Negeri Saja Masih Narik Iuran ke Siswa

MK mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terutama frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya".

Gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas dilayangkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), yang dikabulkan MK dalam putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo membaca putusan, Selasa (27/5/2025).

Dalam pertimbangan hukum, MK berpandangan bahwa frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas hanya berlaku terhadap sekolah negeri.

Hal tersebut tentu menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah dasar swasta akibat keterbatasan kuota di sekolah negeri.

Karenanya, frasa "tanpa memungut biaya" memang dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik antara sekolah negeri dengan swasta.

"Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," ujar Enny.

Enny menambahkan, salah satu aspek krusial dalam implementasi ketentuan tersebut adalah negara harus memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan secara efektif dan adil.

Terkait hal tersebut, Hetifah menilai, sekolah swasta yang memberikan layanan pendidikan premium harus dikecualikan.

Sebab, menurutnya, tidak semua sekolah swasta berada dalam kategori yang sama.

“Ada sekolah-sekolah swasta yang betul-betul ada karena tidak bisa pemerintah hadir di sana, jadi mereka betul-betul mengisi kekosongan," katanya.

Kendati begitu, ada pula sekolah swasta yang memang secara khusus menawarkan layanan pendidikan dan fasilitas berstandar tinggi.

Sumber: bangkapos.com
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved