Tribunners

Dinasti Kurikulum yang Tak Pernah Monarki

Kurikulum harus dibangun atas dasar riset mendalam, kolaborasi dengan guru dan akademisi, serta evaluasi yang transparan.

Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Firdaus
Firdaus - Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung 

Oleh: Firdaus - Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung

DALAM sejarah pendidikan Indonesia, kurikulum telah silih berganti dengan semangat perubahan, namun tetap meninggalkan jejak yang nyaris seragam: kebingungan. Setiap pergantian menteri atau era pemerintahan seolah melahirkan "dinasti" baru dalam dunia pendidikan. Dari Kurikulum 1975 hingga Kurikulum Merdeka dan sebentar lagi kemungkinan akan berganti pula.

Metamorfosis yang terjadi menunjukkan wajahnya berubah, namanya berganti, tetapi substansi kegamangan di lapangan nyaris tetap. Hal ini selalu kita (para pendidik) hadapi setiap kali ada pergantian kekuasaan yang kemudian memberikan gaung yang samar untuk menentukan arah kompas pendidikan bangsa. 

Yang menarik, meski disebut sebagai "dinasti", kurikulum Indonesia tak pernah benar-benar monarki. Ia tidak memiliki satu "raja" yang visioner dan konsisten. Alih-alih berdiri kokoh di atas pilar filosofi pendidikan jangka panjang, kurikulum kita kerap lahir dari kepentingan sesaat, program lima tahunan, atau sekadar rebranding politik.

Kurikulum sebagai alat politik?

Perubahan kurikulum di Indonesia sering kali tidak bisa dilepaskan dari pergantian menteri pendidikan atau presiden. Setiap tokoh yang memimpin kementerian merasa perlu meninggalkan “jejak sejarah” melalui kurikulum baru. Dalam hal ini, kurikulum menjadi alat politik pencitraan, bukan instrumen pedagogis yang lahir dari kebutuhan nyata di lapangan. Padahal, pendidikan adalah proses jangka panjang yang memerlukan kestabilan arah dan visi.

Tidak seperti monarki, yang cenderung mempertahankan garis keturunan dan sistem pemerintahan yang stabil, perubahan kurikulum di Indonesia justru fluktuatif dan reaktif. Ia seperti rezim demokratis yang terlalu cair: mengikuti arus, mudah berubah, dan sering tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan. Inilah ironi dari "dinasti" yang tak pernah benar-benar monarki selalu berganti tampuk kepemimpinan tanpa kesinambungan visi.

Lebih dari itu, perubahan kurikulum tidak selalu berdasarkan evaluasi ilmiah atau refleksi mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Ia kerap didasarkan pada persepsi elite pendidikan dan birokrasi, yang belum tentu sesuai dengan kenyataan di kelas-kelas pelosok negeri. 

Sementara itu, perubahan kurikulum yang terjadi jika ada pergantian kekuasaan seakan-akan ada tuntutan bagi menteri atau presiden yang terpilih  untuk mengeluarkan produk baru yang  tampak terlihat beda, tetapi masih memiliki esensi yang tetap sama, atau yang sering kita dengar dengan istilah “ganti baju”.

Di sisi lain, tuntutan perubahan kurikulum harus dieksekusi karena menyangkut serapan anggaran kementerian yang harus direalisasikan dalam berbagai bentuk proyek kementerian, salah satunya adalah perubahan kurikulum yang diawali dengan wacana yang kemudian dilakukan perencanaan, lalu disahkan dan sosialisasikan, selanjutnya diaplikasikan ke setiap satuan pendidikan. Proses tersebut yang dimulai dari hilir sampai ke hulu, tentunya dianggap efektif dalam penyerapan anggaran kementerian yang dalam pengadaannya menjadi proyek kementerian yang rentan dikorupsi. 

Guru dan siswa sebagai korban eksperimen

Guru dan siswa menjadi pihak yang paling terdampak oleh perubahan kurikulum. Ketika kurikulum berubah, guru dituntut menyesuaikan metode, pendekatan, hingga administrasi pengajaran. Namun, pelatihan yang diberikan sering kali bersifat seremonial, tidak mendalam, dan tidak menjawab kebutuhan spesifik di lapangan. Banyak guru yang mengaku bingung, bahkan stres, dengan tumpukan administrasi baru yang dibawa oleh kurikulum baru.

Di satu sisi, guru dituntut menjadi fasilitator, pembimbing, bahkan inovator dalam pembelajaran. Tetapi di sisi lain, mereka juga dibebani dengan laporan-laporan administratif yang menguras energi dan waktu. Ketimpangan kompetensi guru di berbagai daerah membuat implementasi kurikulum tidak merata.

Sementara itu, siswa menjadi korban dari ketidakkonsistenan sistem. Mereka harus mengikuti sistem penilaian yang terus berubah, beban pelajaran yang kadang terlalu banyak atau justru terlalu minim, serta metode belajar yang belum tentu sesuai dengan karakteristik mereka.

Sekolah-sekolah di daerah tertinggal makin tertinggal karena tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi dengan cepat. Anak-anak di kota mendapatkan pelatihan coding dan literasi digital, sedangkan di desa, buku teks pun masih menjadi barang langka. 

Catatan lain, belum habis dan masif untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada, seperti contoh  media belajar yang dipakai (buku) harus diperbarui alias diganti karena harus mengikuti kurikulum baru dan dirasa menjadi beban baik secara finansial maupun mental anak didik dan orang tua. 

Kurikulum Merdeka: Harapan Baru atau Wajah Lama yang Diperbarui?

Kurikulum Merdeka yang digagas pasca-pandemi Covid-19 digadang-gadang sebagai bentuk pembelajaran yang lebih humanis dan fleksibel. Dengan pendekatan diferensiasi, proyek penguatan profil pelajar Pancasila, dan kebebasan memilih materi, kurikulum ini seharusnya menjadi angin segar dalam dunia pendidikan. Namun, tantangannya tidak kecil.

Pertama, tidak semua sekolah siap dengan infrastruktur dan SDM yang memadai. Sekolah di kota besar mungkin mampu menerapkan Kurikulum Merdeka dengan cukup baik, tetapi bagaimana dengan sekolah di pelosok yang bahkan kekurangan guru tetap? 

Kedua, pemahaman guru terhadap filosofi kurikulum ini belum merata. Banyak guru yang masih berorientasi pada penuntasan materi dan pencapaian nilai, bukan pada proses pembelajaran yang bermakna.

Ketiga, sistem evaluasi yang belum tuntas. Kurikulum Merdeka masih dalam tahap implementasi terbatas dan uji coba. Namun, di banyak tempat sudah diberlakukan seolah-olah telah siap pakai. Ini menimbulkan kebingungan di kalangan sekolah dan orang tua.

Keempat, partisipasi masyarakat dan orang tua masih minim. Kurikulum Merdeka mengandaikan adanya kerja sama yang kuat antara sekolah dan lingkungan sosial murid. Namun, tanpa dukungan budaya literasi yang kuat dan pemahaman mendalam dari orang tua, tujuan kurikulum ini sulit tercapai.

Kembali pada esensi pendidikan

Sudah saatnya kita melepaskan pendidikan dari jerat kepentingan politik sesaat. Kurikulum harus dibangun atas dasar riset mendalam, kolaborasi dengan guru dan akademisi, serta evaluasi yang transparan. Visi pendidikan tidak bisa dikejar dalam lima tahun masa jabatan. Ia harus diletakkan dalam fondasi jangka panjang yang berpihak pada anak didik, bukan pada ego birokrat.

Pendidikan harus dibumikan, bukan sekadar dimimpikan. Harapan tentang generasi unggul, berakhlak mulia, dan berdaya saing global tidak akan pernah terwujud jika landasan pendidikannya goyah dan berubah-ubah. Kita perlu menghargai konsistensi, bukan sekadar kebaruan.

Jika memang ingin membangun dinasti kurikulum, maka jadikanlah ia sebagai dinasti yang berkarakter negarawan: visioner, konsisten, berkelanjutan, dan mendengar suara rakyat. Bukan sekadar dinasti kosmetik yang berganti wajah namun tetap mengabaikan akar masalah. Kita tidak butuh raja yang baru setiap lima tahun. Kita butuh pemimpin pendidikan yang bisa menanam pohon kurikulum hari ini, meski ia tahu bahwa buahnya baru bisa dinikmati generasi mendatang.

Saatnya membangun kurikulum yang berdaulat

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Ia tidak boleh tunduk pada ambisi jangka pendek. Maka, mari kita dorong terbentuknya kebijakan kurikulum yang tidak hanya terpusat pada birokrasi, tetapi melibatkan para pelaku di lapangan: guru, siswa, dan komunitas sekolah. 

Dinasti kurikulum harus berhenti menjadi panggung politik. Ia harus menjadi medan perjuangan bersama untuk membangun masa depan bangsa. Untuk itu, pembuatan kurikulum sejatinya harus berlepas diri dari conflict of interest  rezim yang  berkuasa yang harus mengawal proses pembuatan kurikulum yang disusun dan dijalankan berdasarkan kepentingan pendidikan jangka panjang dan kebutuhan nyata peserta didik, bukan atas dasar tekanan politik, ekonomi, atau pencitraan individu/kelompok.

Sebab, hanya dengan kurikulum yang berdaulat dan merdeka dari kepentingan sempit, kita bisa melahirkan generasi yang benar-benar merdeka dalam berpikir, berkarya, dan menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan visi Pendidikan Nasional  Indonesia yakni  “Mewujudkan sistem pendidikan yang memberdayakan semua warga negara untuk menjadi manusia berkualitas dan mampu menghadapi tantangan zaman.” (*)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved