Breaking News

Tribunners

Pendidikan Berbasis Komunitas ala Hanandjoeddin untuk Nusantara  

Dari Belitung untuk Indonesia, pahlawan kita Hanandjoeddin sudah menginspirasi kita. Hanandjoeddin telah menyalakan api dari pinggiran.

Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Andy Muhtadin
Andy Muhtadin - Kepala SMPN 2 Dendang, Kabupaten Belitung Timur 

Oleh: Andy Muhtadin - Kepala SMPN 2 Dendang, Kabupaten Belitung Timur 

BULAN Agustus kembali datang. Bendera Merah Putih berkibar kembali di halaman-halaman rumah, irama lagu kebangsaan terdengar di seluruh penjuru negeri, dan masyarakat Indonesia bersama-sama mengenang momen proklamasi dengan semangat yang menyala. Di balik meriahnya perayaan, terselip pertanyaan penting yang patut kita pikirkan bersama: apakah kemerdekaan itu telah benar-benar terwujud dalam dunia pendidikan kita? Sudahkah pendidikan Indonesia menjadi alat pembebas bagi rakyat, bukan sekadar alat administratif pembangunan?

Pertanyaan tersebut membawa kita menengok ke satu sosok pahlawan dari Bangka Belitung, dia adalah H.AS. Hanandjoeddin. Namanya mungkin tak sering terpampang di buku sejarah nasional, namun jejaknya membekas kuat di tanah Belitung. Ia adalah Bupati Belitung era 1960-an yang menjadikan pendidikan sebagai poros utama perjuangan, bukan hanya dalam kebijakan, tetapi dalam tindakan nyata di tengah rakyat.

Dalam buku Memenuhi Panggilan Rakyat (Andersen & Trisno, 2021), Hanandjoeddin digambarkan bukan hanya sebagai teknokrat militer atau pejabat sipil, tetapi sebagai pemimpin rakyat sejati. Ia melihat pendidikan bukan sekadar soal bangku sekolah, tetapi sebagai jalan pembebasan dari ketertinggalan, kebodohan, dan ketergantungan struktural warisan kolonial.

Masa awal kemerdekaan yang penuh keterbatasan, ia tak menunggu instruksi pusat. Hanandjoeddin menggagas pendirian sekolah-sekolah rakyat di desa-desa terpencil, bahkan memimpin langsung gotong royong membangun ruang kelas dari papan kayu dan atap rumbia. Masyarakat menyumbang tenaga, bahan bangunan, dan semangat. Inilah potret pendidikan yang benar-benar memerdekakan tumbuh dari kesadaran kolektif, bukan semata bantuan formal dari negara.

Salah satu gagasan paling progresif Hanandjoeddin adalah bahwa pendidikan sejati lahir dari dan untuk komunitas. Komunitas sebgai nadi pendidikan. Ia mendirikan Kursus Kilat Persiapan Guru (KKPG) dengan cara merekrut pemuda-pemuda desa agar bisa menjadi pengajar di kampung mereka sendiri. Ia percaya, hanya mereka yang hidup di tengah rakyat yang mampu mendidik dengan hati, mengenali realitas lokal dan membangun karakter masyarakat dari dalam.

Dalam perspektif Hanandjoeddin, komunitas bukanlah penonton dari proses pendidikan, melainkan aktor utama. Ia menyatukan berbagai eleman masyarakat mulai dari tokoh agama, perempuan, petani, dan pemuda dalam kegiatan belajar. Sekolah bukan hanya tempat anak-anak belajar, tetapi pusat kehidupan sosial, ruang diskusi, pelatihan keterampilan, hingga laboratorium pertanian ketika krisis pangan melanda saat itu. Kita menyebut ini sekarang sebagai pendidikan berbasis masyarakat.

 Jauh sebelum istilah tersebut dikenal luas, Hanandjoeddin sudah lebih dahulu mengamalkannya. Ia tidak sekadar menjadikannya sebuah program, melainkan hadir sebagai tokoh utama sekaligus motor penggeraknya. Pemikiran ini sejalan dengan konsep pendidikan kritis Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), yang menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, namun juga upaya membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan. Hanandjoeddin, tanpa mengenal teori itu secara formal, telah melakukannya di Belitung: menjadikan rakyat sebagai subjek pendidikan, bukan objek.

Setelah 80 tahun Indonesia merdeka, tantangan pendidikan kita kian kompleks, kesenjangan akses di wilayah 3T, krisis nilai, peran orang tua yang melemah, hingga beban administratif guru. Gerakan pendidikan komunitas ala Hanandjoeddin justru menawarkan solusi alternatif yang kontekstual dan partisipatif yang relavan di masa kini. Jika ditarik ke konteks sekarang, gagasannya sejalan dengan visi Merdeka Belajar yang dicanangkan Nadiem Makarim.

Inti dari filosofi Merdeka Belajar ialah memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru untuk menata proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan siswa serta kondisi lingkungan tempat mereka berada. Inilah yang sudah dilakukan Hanandjoeddin enam dekade lalu. Bedanya, beliau tidak memiliki anggaran besar atau instruksi pusat, melainkan mengandalkan kekuatan kolektif masyarakat.

Pendidikan berbasis komunitas ini juga relevan dengan gagasan Ki Hajar Dewantara. Ia menegaskan bahwa pendidikan seharusnya berakar pada budaya serta realitas kehidupan masyarakat setempat, sejalan dengan prinsip Tut Wuri Handayani. Ki Hajar melihat sekolah sebagai bagian dari ekosistem sosial, bukan ruang yang terpisah. Hanandjoeddin membuktikan bahwa prinsip ini bukan sekadar filosofi, tetapi bisa diwujudkan dalam tindakan nyata. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil untuk membumikan kembali semangat Hanandjoeddin hari ini, di antaranya:

⦁ Sekolah sebagai pusat komunitas

Sekolah bisa difungsikan sebagai tempat pertemuan warga, wadah pelatihan keterampilan, sekaligus pusat pengembangan literasi dan pelestarian budaya setempat.

⦁ Melibatkan masyarakat dalam perencanaan

Musyawarah desa dan forum warga seharusnya menjadi ruang bersama untuk merumuskan arah pendidikan sesuai kebutuhan setempat, bukan sekadar menyalin kebijakan dari pusat.

⦁ Pemuda sebagai penggerak literasi

Seperti halnya konsep KKPG, para pemuda di desa dapat diberdayakan menjadi fasilitator literasi, mentor di bidang teknologi digital, sekaligus pendamping belajar bagi anak-anak.

⦁ Kurikulum kontekstual

Pembelajaran muatan lokal sebaiknya diperkuat agar materi pelajaran selaras dengan kehidupan nyata masyarakat, mencakup bidang seperti pertanian, perikanan, kebudayaan, dan kelestarian lingkungan.

⦁ Dokumentasi praktik baik lokal

Cerita tentang dedikasi para guru, kepala sekolah, dan masyarakat yang berupaya membangun pendidikan dari tingkat paling dasar perlu dihimpun serta disebarluaskan sehingga dapat menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.

Pemerintah daerah dan pusat seharusnya melihat gerakan semacam ini bukan sebagai pendidikan alternatif semata, tetapi sebagai bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang hidup dan adaptif terhadap konteks lokal. Membumikan kembali semangat kepemimpinan Hanandjoeddin berarti mengembalikan sekolah ke pangkuan komunitas bukan sekadar sebagai tempat mengajar, tetapi sebagai pusat kehidupan warga sebagai ruang pertemuan, bengkel keterampilan, dan gudang warisan budaya.

Proses itu haruslah bersifat partisipatif, perencanaan pendidikan dirumuskan bersama warga lewat musyawarah, bukan hanya menyalin kebijakan dari pusat. Pemuda didorong untuk mengambil peran sentral sebagai motor penggerak literasi serta menjadi pendamping bagi anak-anak dalam memanfaatkan teknologi secara tepat. Kurikulum disesuaikan dengan konteks lokal yang mengikat pelajaran pada pertanian, perikanan, lingkungan dan kebudayaan setempat, sementara praktik-praktik baik guru dan komunitas yang berhasil dikumpulkan, didokumentasikan dan disebarluaskan sebagai model replikasi.

Apa yang membuat gagasan Hanandjoeddin bertahan? Bukan hanya narasi hebatnya, tetapi konsistensi tindakannya. Ia tidur di rumah warga, menginap di sekolah desa, bahkan ikut menggarap sawah bersama rakyat ketika krisis pangan menghantam. Ia tak memimpin dari atas, tetapi dari tengah menjadi bagian dari rakyat yang Ia layani. Keteladanan inilah yang hilang dari banyak pemimpin hari ini.  Di tengah sistem yang sering hanya mengejar angka-angka capaian, kita butuh pemimpin yang hadir secara nyata, bukan hanya dalam pidato atau laporan.

Peringatan hari kemerdekaan adalah momentum penting untuk mengingat bahwa kemerdekaan sejati tak hanya diukur dari kebebasan politik atau pertumbuhan ekonomi, tetapi dari seberapa besar rakyat berdaya membangun masa depannya sendiri melalui pendidikan yang relevan, merdeka dan membumi.

Dari Belitung untuk Indonesia, pahlawan kita Hanandjoeddin sudah menginspirasi kita. Hanandjoeddin telah menyalakan api dari pinggiran. Tugas kita hari ini adalah menjaga nyala itu tetap hidup dengan kebijakan yang inklusif, kepemimpinan yang teladan, dan kesadaran bahwa pendidikan bukan proyek elite, melainkan hak dan kewajiban seluruh komunitas.

Dari Belitung, Hanandjoeddin telah memberi teladan. Kini, dari mana pun kita berada, mari kita teruskan perjuangan itu. Karena sejatinya, kemerdekaan dimulai dari mereka yang berani mendidik bangsanya sendiri. Kado terindah buat pahlawan tanah air kita. Salam merdeka. HUT ke-80 RI. (*)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved