Tribunners

Dilematika Asuransi Kesehatan Swasta dengan Sistem Co-Payment 

Sudah sepantasnya pemerintah, dalam hal ini OJK sebagai lembaga yang berwenang, untuk tidak melanjutkan penerapan sistem co-payment ini

Editor: suhendri
Dokumentasi Fabiola Nurul Oktavianingrum
Fabiola Nurul Oktavianingrum - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Fabiola Nurul Oktavianingrum - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

ASURANSI merupakan suatu skema pertanggungan yang berusaha memberikan keuntungan bagi perusahaan asuransi dan juga imbal balik berupa perlindungan atas segala bentuk kerugian yang diperjanjikan bagi nasabah. Asuransi bukan merupakan pertanggungan baru yang ada di Indonesia, bahkan keberadaannya sudah menjamur sejak kolonialisme. Hal ini dapat dibuktikan melalui ketentuan pengaturan pertanggungan pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau KUHD yang merupakan warisan penjajah.

Saat ini, pengaturan mengenai asuransi sudah ada pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Selain itu untuk aturan yang bersifat umum atau lex generalis terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan KUHD. Kemudian juga Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang mengawasi dan juga mengatur sektor jasa keuangan, termasuk perasuransian di Indonesia dewasa ini.

Sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pada sektor jasa keuangan, termasuk asuransi, OJK mengeluarkan Surat Edaran No. 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang di dalamnya mengatur persoalan co-payment pada asuransi kesehatan. 

Apa itu co-payment ? Co-payment merupakan skema pembagian risiko pada asuransi kesehatan. Pada keterangan yang disampaikan oleh OJK yang termuat dalam laman OJK, disampaikan bahwa keberadaan co-payment sebagai bentuk pencegahan terhadap moral hazard dan juga mengurangi penggunaan layanan kesehatan oleh peserta secara berlebihan atau overutilitas. 

Co-payment yang disampaikan dalam surat edaran ini adalah peserta asuransi kesehatan menanggung 10 persen dari total biaya yang diajukan. Kemudian juga disampaikan bahwa perusahaan asuransi dapat menerapkan batas maksimum biaya sendiri yang lebih tinggi, selama tertuang dalam polis asuransi. 

Hal ini dirasa bertentangan dengan fungsi dan tujuan perasuransian sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)  disebutkan bahwa “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikatkan diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti”.

Pasal 247 KUHD juga memberikan pengertian mengenai pertanggungan yang dimaksud dan salah satunya berkaitan dengan pertanggungan jiwa satu orang atau lebih. Artinya sebagai nasabah atau tertanggung, terdapat kewajiban yang harus dilakukan berupa pembayaran sejumlah uang yang kemudian disebut sebagai premi kepada perusahaan asuransi. 

Pembayaran premi ini adalah bentuk perwujudan kewajiban nasabah atau tertanggung dalam memberikan hak perusahaan asuransi, termasuk dalam asuransi kesehatan. Penentuan premi ini tidak dilakukan secara acak, tetapi dengan perhitungan yang matang, berdasarkan dengan keadaan dari tertanggung. Premi ini yang kemudian sebagai dasar mengalihkan risiko-risiko yang ada, dalam hal ini risiko kesehatan kepada perusahaan asuransi.

Jika yang dibicarakan adalah asuransi kesehatan, terdapat pemeriksaan kesehatan awal untuk menentukan jumlah premi yang berkaitan dengan keadaan nasabah atau tertanggung. Begitu juga dengan nilai pertanggungan yang akan ditanggung perusahaan asuransi juga telah disampaikan di awal. 

Pada dasarnya, untuk skema asuransi kesehatan, sudah terdapat batas nilai tahunan (annual limit) dan juga batas nilai seumur hidup (life limit). Batas-batas inilah yang menjadi acuan bagi nasabah atau tertanggung asuransi kesehatan dalam memanfaatkan fasilitas yang ditanggung, berkaitan dengan risiko kesehatan yang tertuang dalam polis asuransi.

Annual limit merupakan batasan nominal produk kesehatan yang dapat diklaim oleh nasabah dalam waktu per tahun. Jadi nasabah tidak bisa mengklaim lebih dari limit tahunannya.

Untuk life limit sendiri merupakan batas tahunan yang dapat diklaim oleh nasabah. Penggantian biaya kesehatan atau medis yang dapat diklaim oleh nasabah dalam kurun waktu perlindungan, tidak boleh melebihi life limit. 

Asuransi hadir sebagai perlindungan dan peralihan risiko bagi nasabah asuransi. Terlebih dalam asuransi swasta, baik asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan juga asuransi kesehatan. Kepesertaan nasabah pada asuransi swasta bukan merupakan sifat yang wajib. Mereka secara sadar bergabung dan sepakat menutup polis bersama perusahaan asuransi untuk mengalihkan risiko-risiko yang dipertanggungkan kepada perusahaan asuransi dengan membayar sejumlah premi. Artinya nasabah asuransi secara sadar menginginkan sebuah kepastian perlindungan pada risiko-risiko yang tidak pasti. 

Bila kemudian terdapat aturan mengenai co-payment yang di mana nasabah diharuskan turut membayarkan biaya-biaya yang timbul dari pemanfaatan produk kesehatan, sementara nasabah sudah menjadi bagian dari kepesertaan asuransi kesehatan adalah hal yang tidak masuk akal. Sudah dibebankan dengan annual limit dan juga life limit, kini nasabah masih harus dibebankan dengan menanggung biaya produk kesehatan yang timbul dengan sistem co-payment. System ini sejatinya telah mencederai kalimat peralihan risiko yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung. 

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved