Tribunners
TKA dan Evaluasi Pendidikan yang Menenteramkan
TKA tidak hanya menilai hafalan, tetapi melatih nalar, pemahaman konteks, dan keterampilan memecahkan masalah.
Oleh: Arif Saifudin Yudistira – Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis Buku Momong, Seni Mendidik Anak (2022)
SUDAH sejak lama kata ujian membawa nuansa tegang dan rasa cemas—baik bagi siswa, guru, maupun orang tua. Anak-anak sering kali merasakan jantung berdebar lebih kencang hanya karena mendengar kata itu. Padahal sejatinya, ujian hanyalah salah satu metode untuk mengevaluasi pembelajaran, bukan alat penghakiman.
Tes kemampuan akademik (TKA) hadir untuk mengubah paradigma ini. Ia lahir bukan untuk menakut-nakuti, melainkan menjadi sarana evaluasi yang adil, terukur, dan menenteramkan, yang membantu anak memahami sejauh mana kesiapan dirinya sebelum melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya.
Pendidikan di Indonesia kini menghadapi tantangan yang makin kompleks. Tuntutan masyarakat terhadap mutu pendidikan makin tinggi, sementara kesenjangan kualitas antarwilayah masih terasa nyata. Selain itu, dunia pendidikan juga harus menyesuaikan diri dengan pesatnya perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan kebutuhan pasar kerja global yang dinamis.
Maka, pendidikan tidak cukup hanya membekali anak dengan kecerdasan akademik. Ia harus menumbuhkan kreativitas, kemampuan berpikir kritis, keterampilan memecahkan masalah, serta kesiapan menghadapi tantangan dunia nyata. Dalam konteks ini, evaluasi pendidikan memegang peranan penting. Namun, evaluasi yang dibutuhkan bukanlah ujian yang memberi tekanan berlebihan, melainkan cermin yang jernih—yang memantulkan gambaran sejati kemampuan anak.
Berdasarkan Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025, TKA dirancang berbeda dari ujian nasional (UN) yang selama ini dikenal kaku dan penuh beban psikologis. TKA bersifat opsional dan tidak menentukan kelulusan sehingga menghilangkan rasa takut gagal yang kerap membayangi siswa. Konsep ini menjadi angin segar.
TKA tidak hanya menilai hafalan, tetapi melatih nalar, pemahaman konteks, dan keterampilan memecahkan masalah. Standar yang diterapkan berlaku nasional sehingga anak-anak dari seluruh Indonesia memiliki tolok ukur yang sama. Format ini diharapkan tidak menjadi momok, tetapi juga tidak diremehkan.
Siswa dan orang tua tetap harus mempersiapkan diri, karena TKA berfungsi mengukur ketercapaian pembelajaran sekaligus menjadi salah satu alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pelaksanaan TKA juga dirancang untuk meminimalkan kecemasan. Ada sesi simulasi dan gladi bersih sebelum hari pelaksanaan sehingga siswa lebih siap secara mental.
Materi yang diujikan meliputi tiga mata pelajaran wajib—bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika—ditambah dua mata pelajaran pilihan sesuai minat siswa. Pendekatan ini memungkinkan anak mengerjakan soal yang relevan dengan minat dan rencana studinya, bukan sekadar materi umum yang mungkin terasa jauh dari minatnya.
Lebih dari sekadar evaluasi, TKA membuka jalan menuju peluang yang lebih luas. Hasilnya dapat digunakan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur prestasi maupun seleksi masuk perguruan tinggi. Dengan demikian, siswa dari daerah terpencil pun berkesempatan menembus sekolah atau universitas unggulan, setara dengan siswa dari kota besar.
Pemerintah turut memperkuat pelaksanaan TKA dengan langkah pendukung seperti digitalisasi pembelajaran, peningkatan fasilitas sekolah, penyediaan perangkat pembelajaran modern, serta pelatihan guru. Semua ini membentuk ekosistem pendidikan yang lebih merata dan berdaya saing.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Masalah pemerataan infrastruktur, keterbatasan sumber daya, dan adaptasi budaya sekolah terhadap model evaluasi baru memerlukan perhatian serius. Namun, dengan komunikasi yang terbuka, dukungan dari berbagai pihak, dan pemahaman yang tepat, TKA berpotensi diterima sebagai proses alami yang membantu anak menemukan arah masa depannya.
Pada akhirnya, TKA ibarat kompas, bukan palang pintu. Ia hadir untuk mengukur, bukan menghakimi; membimbing, bukan menakut-nakuti. Anak-anak perlu menyadari bahwa ujian ini adalah pintu menuju kesempatan yang lebih luas, bukan vonis akhir. Jika semua pihak—guru, orang tua, dan siswa—mampu memandang TKA dengan sudut pandang ini, maka ia akan menjadi sahabat perjalanan pendidikan anak, memberi arah, menumbuhkan rasa percaya diri, dan memastikan setiap anak Indonesia melangkah ke masa depan dengan hati yang tenang, pikiran yang jernih, serta mimpi yang terus menyala. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.