Digigit Ular Berbisa, Bukan Diikat atau Disayat, Begini Penanganan yang Benar Tapi Jarang Dilakukan

Editor: Alza Munzi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Raja Kobra menyerang ular sejenisnya

BANGKAPOS.COM -  Inilah kesalahan penanganan yang membuat orang digigit ular itu tak tertolong nyawanya. Jangan terulang!

Perawatan tepat saat kondisi darurat akan menentukan kesintasan seseorang melewati sebuah kecelakaan atau kejadian fatal, tak terkecuali perawatan usai mengalami gigitan ular.

Pakar toksikologi dan bisa ular DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM mengatakan, ada pemahaman masyarakat soal penanganan pertama ketika mengalami gigitan ular yang salah besar.

Umumnya, tindakan pertama dilakukan dengan mengikat daerah di sekitar area gigitan ular.

Tujuannya adalah untuk menghentikan pergerakan bisa ular agar tak menyebar ke seluruh tubuh.

Tindakan lainnya yang sering dilakukan adalah membuat sayatan di daerah gigitan untuk mengeluarkan darah.

Tujuannya pun sama, menghindari penyebaran bisa ular.

Menurut Tri, kedua tindakan tersebut salah besar, tidak membantu sama sekali.

Bisa ular akan tetap menyebar ke bagian tubuh lainnya.

“Kalau diikat hanya membuat kondisi seolah-olah bisa ular berhenti. Padahal yang diikat adalah pembuluh darah. Akibatnya pembekuan darah hingga amputasi,” kata Tri saat dihubungi, Minggu (10/9/2017).

Tri menjelaskan, cara penanganan yang tepat adalah dengan membuat bagian tubuh yang terkena gigitan tak bergerak.

Caranya sebenarnya tak sulit.

Anggota tubuh dihimpit dengan kayu, bambu, atau kardus layaknya orang patah tulang.

Baca: Tonton Detik-detik Pebalap Ducati Lorenzo Terjatuh di Balapan MotoGP 2017 San Marino

Akibat gigitan ular berbisa. 

“Betul-betul tidak bergerak sehingga bisa ular hanya ada di tempat gigitan, tidak menyebar ke seluruh tubuh,” kata Tri.

Kesalahan penangan pertama terjadi pada Ananda Yue Riastanto (8) yang digigit ular weling (Bungarus candidus) pada 5 Januari 2017 lalu.

Anak asal Peduhukan Dhisil, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Khusus Yogyakarta itu diberikan pertolongan pertama dengan mengikat bagian yang tergigit.

Baca: Status Terakhir Laudya Cynthia Bella dan Engku Emran Jleb Banget, Masih Ada yang Berani Ganggu?

Beruntung, dengan jenis bisa neurotoksin, Ananda masih selamat dari kematian meskipun mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan ketidakmampuan bicara.

“Neurotoksin memang berakibat lebih fatal karena bisa menimbulkan kelumpuhan otot pernafasan yang berakibat kematian. Kalau hemotoksin kan racunnya menyerang, membuat pendarahan, jadi matinya itu lama. Kalau neurotoksin matinya cepat,” ucap Tri.

Tri menuturkan, saat seseorang dengan luka gigitan ular, tenaga medis harus dapat mengatur jalannya pernapasan.

Pasien harus segera dibawa ke inkubasi, dipasang fentilator dan dibantu dengan pernapasan buatan.

Jika terjadi gagal jantung, tenaga medis dapat melakukan pijat jantung.

Baca: Heboh Video Wanita Pakai Kerudung Cuma Pakai Celana Dalam, Ada yang Bilang Mirip Artis Dangdut Ini

Teuku Muh Guci S Sugiyanto (33) memangku Ananda Yue Riastanto (8) di teras rumahnya di RT 27/14 Pedukuhan Dhisil, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Sabtu (9/9/2017). (Kompas.com)

Pelajaran Berharga dari Kasus Ananda yang Lumpuh akibat Gigitan Ular Berbisa

Gigitan ular berbisa tak bisa disepelekan dan butuh penanganan gawat darurat yang tepat.

Kasus Ananda Yue Riastanto bisa memberikan pelajaran.

Pada 5 Januari 2017 lalu, Ananda digigit ular weling (Bungarus candidus).

Kini, dia mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan tidak mampu bicara.  

Pakar toksikologi dan bisa ular DR Dr Tri Maharani Sp EM mengatakan, Ananda sebenarnya masih beruntung sebab masih bisa bertahan hidup.

“Kemarin waktu saya tanya ke orangtuanya itu, dia gigit waktu rumah itu baru dibangun. Sudah biasa ular weling itu di tanah. Ananda itu tidurnya beralaskan tikar. Nah terus digigit,” kata Tri saat dihubungi Kompas.com, Minggu (10/9/2017).

Setelah gigitan terjadi, orangtua Ananda mengikat bekas gigitan ular. Tujuannya agar bisa ular tidak menjelar ke seluruh tubuh.

Tri mengungkapkan, tindakan mengikat bagian tubuh yang tergigit ular itu salah kaprah yang menjadi penyebab utama enselofati.

Menurut Tri, bagian tubuh yang digigit ular seharusnya tak perlu diikat, tetapi tak dibiarkan bergerak agar racun ular tak menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Ikatan pada bagian tubuh tertentu yang digigit, bila tak disertai dengan imobilisasi, masih memungkinan bisa menyebar ke bagian lain.

Bila bisa menyebar, dampaknya bisa melumpuhkan otot-otot pernafasan. Bila terlalu lama, kondisi itu bisa berakhir pada kematian.

Dalam kasus Ananda, dia langsung dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Wates dengan menghabikan waktu sekitar 40 menit.

Kemudian, Ananda dirujuk kembali ke Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito yang memakan waktu sekitar satu jam.

Di RSUP Sardjito, Ananda langsung ditempakan di ruang ventilator.

Tindakan RSUP Dr Sardjito menaruh Ananda di ventilator sudah benar dan menjadi faktor utama yang membuat dia akhirnya selamat.

“Kalau lebih lama lagi fatal. Karena di Sardjito langsung masuk ventilator jadi lumayan tertolong tapi sel otak yang mengalami kematian sudah banyak,” ujar Tri.

Kematian sejumlah sel otak itulah yang memicu ketidakmampuan Ananda bicara serta kelumpuhan yang kini dialaminya.

Menurut Tri, Ananda masih bisa mempertahankan sel otak yang masih hidup.

Caranya dengan meminum obat dari dokter spesialis anak yang menanganinya dan dilakukan fisioterapi.

Obat itu harus dikonsumsi secara kontinyu untuk menghindari kejang yang berakibat pada kekurangan oksigen.

Ananda tak bisa dikembalikan seperti semula akibat kematian sel otak.

Namun dengan fisioterapi, kualitas hidupnya masih bisa ditingkatkan.

“Dengan proses fisioterapi yang bagus dia masih bisa melakukan aktivitas meski tidak kayak anak normal. Bisa menggerakkan tangan dan kaki. Anak itu masih bertumbuh,” kata Tri. (Kompas.com/ Lutfi Mairizal)

Berita Terkini