O.W. Walters menambahkan bahwa Cina melakukan kontak dengan Timor sudah dimulai pada awal abad masehi.
Selain pedagang-pedagang Cina juga datang pedagang India dan membarternya dengan kuda-kuda yang kemudian dibiakkan di pulau Sumba.
Para pedagang ini melakukan perjalanan dagang paling dua kali dalam satu tahun, membawa cendana dari Timor untuk diperdagangkan di Malaka.
Orang-orang Cina ini disebut dengan Sina Mutin Melaka (orang Cina berkulit putih dari Malaka) oleh penduduk lokal.
Pintu masuk para pedagang Cina ke tanah Timor, salah satu yang terkenal adalah pelabuhan Namon Sukaer (sekarang bernama Atapupu).
Lalu lintas perdagangan kayu cendana ini kemudian surut pada akhir abad ke-18.
Belanda mencoba menguasai perdagangan ini, namun mereka mengalami kerugian besar pada 1752.
Namun, orang Cina masih terus bertahan dalam rute perdagangan ini sampai akhir abad ke-19.
Tercatat pelbagai sumber naskah Portugis pun menyebut Timor sebagai pasar Cendana yang sangat ramai.
Begitu pula seperti Nagarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada 1365 telah menyebut Timor di dalam naskahnya.
Seiring waktu yang terus bergulir meninggalkan untaian kisah masa lalu, julukan Nusa Cendana bagi tanah Timor semakin pudar.
Ribuan batang pohon cendana yang dulu diagungkan dalam kronik klasik Cina tak lagi tampak.
Usaha budidaya cendana putih pun tidak berjalan mulus diterpa perubahan iklim yang semakin memanas.
Jutaan bibit cendana yang ditanam di pelosok tanah Timor tak ayal dihadang kematian.
“Cendana lebih mudah tumbuh liar dan tidak dibudidayakan. Usaha pemerintah daerah membudidayakan cendana sebagai ikon pulau Timor telah berkesinambungan. Namun penanaman bibit perlu perawatan.