Udang Vaname Babel ke Jakarta dan Lampung Dulu Baru Diekspor, Potensi PAD dari Rp9 Triliun Nguap

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tambak Udang Vaname - ilustrasi

Para pelaku usaha terpaksa mengirim hasil panen ke Jakarta atau Lampung terlebih dahulu untuk diolah sesuai standar global, baru kemudian diekspor.

Menurutnya, praktik ini membuat daerah kehilangan potensi PAD nonpajak yang semestinya bisa diperoleh jika ekspor dilakukan langsung dari Babel.

“Manfaat langsung bagi Babel menjadi berkurang. Kita hanya menikmati dampak tidak langsung seperti perputaran ekonomi lokal di tingkat tambak, tapi bukan penerimaan ekspor resmi.
Potensi tersebut akan terus mengalir keluar daerah. Kurang maksimal bagi PAD Babel,” kata Arief saat dihubungi Bangka Pos pada Rabu (13/8).

Arief menambahkan saat ini ada beberapa komoditas perikanan yang bisa langsung diekspor dari Babel. Di antaranya adalah udang kipas, ikan tenggiri, kerapu dan beberapa jenis ikan lainnya.

“Tapi udang vaname berbeda. Unit pengolahan ikan kita di Babel masih berada di tahap menengah, sementara pasar udang ini lebih banyak ke Eropa dan Amerika yang menuntut standar pengolahan yang lebih tinggi. Karena itu, udang vaname dikirim segar dulu ke daerah lain untuk diproses sesuai standar, lalu baru diekspor,” ujarnya.

Tidak Signifikan

Sementara itu, Kepala UPT Badan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BPPMHKP) DKP Babel, Dedy Arief Hendriyanto, menambahkan bahwa produksi udang vaname di Babel rata-rata mencapai 15.000–22.000 ton per tahun. 

Dengan harga rata-rata Rp48 ribu per kilogram, nilai penjualan bisa mencapai sekitar Rp1,056 triliun.

Meski produksinya besar, tren pertumbuhan budidaya udang vaname di Babel tidak menunjukkan kenaikan signifikan dalam tahun terakhir. Bahkan, sejumlah petambak mengeluhkan harga jual yang fluktuatif dan cenderung menekan margin keuntungan.

“Banyak pelaku tambak yang bilang harga kurang bersahabat, sehingga mereka tidak bersemangat meningkatkan produksi. Ini juga menjadi tantangan, karena ketika harga rendah,
produksi cenderung turun,” kata Dedy.

Harga tetap rendah

Harga tetap rendah Harga tetap rendah Harga tetap rendah Harga tetap rendah

Ali Muhti, pimpinan PT Semeru Teknik, mengaku rantai penjualan udang Vaname turut merugikan’ pihaknya.

Katanya, jalur penjualan hasil panen petambak lokal yang harus transit ke Jakarta atau Sumatera, membuat nilai jual anjlok dan daerah kehilangan kesempatan menikmati keuntungan penuh dari rantai pasok internasional. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha sulit berkembang.

“Harga jual di tingkat petambak kini hanya sekitar Rp80 ribu per kilogram, turun dari Rp120 ribu pada masa puncak tahun 2021. Selisih Rp40 ribu per kilo itu, kalau ratusan ton, nilainya sangat besar. Modal dan risiko kami di tambak tidak sebanding dengan harga yang diterima,” ujar Ali Muhti kepada Bangka Pos, Rabu (13/8).

Halaman
1234

Berita Terkini