Bangka Pos Hari Ini

Modal Triliunan Tapi Masih Tekor, Pengusaha Udang Vaname Sebut Biaya Produksi Tak Sebanding Hasil

Editor: M Ismunadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bangka Pos Hari Ini, Selasa (19/8/2025)

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Usaha budidaya udang Vaname terkesan menggiurkan. Apalagi melihat data penjualan dari Bangka Belitung ke luar daerah yang mencapai angka triliunan rupiah. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Babel mencatat penjualan udang Vaname di triwulan II tahun 2025 ini tembus sekitar Rp9,1 triliun.

Kendati begitu, pengusaha udang Vaname di Babel menyebut hasil itu tidak sebanding dengan biaya operasional dan modal yang dikeluarkan. Walaupun bisa memanen hasil udang Vaname sebanyak 200 ton per satu siklus atau sekitar empat bulan budidaya, pemasukan bersih pengusaha masih jauh di bawah hitungan kertas.

“Usaha tambak udang ini kelihatannya menjanjikan, tapi kalau dihitung detail justru sangat berat. Modal sudah triliunan, biaya bulanan miliaran, tapi hasil yang masuk tidak menutup semua kebutuhan,” kata Ali Muhti, pimpinan PT Semeru Teknik, perusahaan budidaya udang Vaname di Bangka Selatan.

Ditemui Bangka Pos di kantornya di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Senin (18/8/2025), Ali Muhti menyebut biaya produksi yang luar biasa besar tak sebanding dengan pemasukan yang diperoleh. Belum lagi soal harga jual hasil budidaya yang terkadang stagnan.

Ali menjelaskan untuk membuka satu unit kolam tambak dengan ukuran 2.000 meter persegi, pihaknya harus mengeluarkan biaya sedikitnya Rp500 juta hanya untuk pembebasan lahan. Jumlah itu belum termasuk pembangunan infrastruktur dasar, instalasi listrik, kincir air, hingga sistem pemeliharaan.

“Kalau punya 40 kolam, hitung saja. Itu sudah lebih dari Rp20 miliar hanya untuk lahan. Belum lagi peralatan, pompa, genset cadangan, dan biaya lain-lain,” ujarnya.

Tak berhenti di modal awal, biaya operasional pun membengkak. Menurutnya, pengeluaran bulanan bisa lebih dari Rp1 miliar. Dari angka itu, Rp300 juta hanya untuk listrik, terutama karena tambak membutuhkan suplai energi besar untuk menggerakkan kincir air yang vital bagi kelangsungan hidup udang.

“Kalau kincir mati, udang bisa stres dan mati massal. Makanya listrik tidak boleh putus. Itu sebabnya biaya listrik membengkak. Belum lagi pakan, perawatan alat, pembelian mesin, sampai gaji tenaga kerja dan tim peneliti keluar lagi duit Miliaran,” kata Ali Muhti.

Baca juga: Rp9 Triliun Tak Terserap Jadi PAD, Babel Belum Mampu Ekspor Udang Vaname

Dengan pengeluaran sebesar itu, hasil panen ternyata tidak menutup kebutuhan. Satu kolam tambak rata-rata menghasilkan sekitar 5 ton udang per siklus. Jika 40 kolam panen, maka total produksi sekitar 200 ton.

Jika harga jual udang Rp60 ribu per kilogram, penghasilan kotor bisa mencapai Rp12 miliar sekali panen. Namun, itu masih sebatas perhitungan kasar.

“Realitanya lebih kecil. Udang itu tidak semuanya survive, banyak yang mati sebelum panen. Jadi hasil bersih bisa jauh di bawah hitungan kertas dan harga cenderung akan kembali turun mengingat pasar tidak baik baik saja,” tegas Ali.

Ia mengakui, tambak udang dulu digadang-gadang sebagai pengganti industri tambang di Bangka Belitung. Namun, menurutnya kenyataan di lapangan berbanding terbalik. “Kami sudah habis-habisan, tapi ujungnya banyak tekor,” ucapnya.

Lebih jauh, Ali menyebut kini para petambak berada di persimpangan sulit. Jika usaha tambak ditutup, maka semua peralatan yang dibeli dengan harga fantastis akan terbengkalai dan rusak. Namun jika tetap dijalankan, Ali Muhti menyinggung pepatah hidup segan mati tak mau.

“Kalau ditutup, alat hancur percuma. Kalau tetap dijalankan, risiko juga tinggi, apalagi kalau ada penyakit. Itu bisa habis dalam sekejap,” ujarnya.

Komoditas teratas

Halaman
123

Berita Terkini