Dosen IPB Meilanie Buitenzorgy Kuliti Ijazah Wapres Gibran, Pengamat Sebut Prabowo Bisa Diuntungkan

"Iya kalau berbicara siapa yang diuntungkan, tentu saja adalah satu sisi Pak Prabowo tentu sangat diuntungkan

Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: Rusaidah
prabowosubianto.com
POLEMIK IJAZAH GIBRAN -- Dalam foto: Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka. Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, menyebut, Presiden RI Prabowo Subianto dapat menuai keuntungan dari polemik keabsahan ijazah dan data pendidikan milik Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka. 

BANGKAPOS.COM -- Presiden Prabowo Subianto bisa diuntungkan soal polemik ijazah Wapres Gibran.

Di sisi lain, Prabowo juga bisa direpotkan dengan polemik ijazah anak Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, tersebut.

Sebab, polemik yang menerpa Gibran saat ini tetap memengaruhi pemerintahan Prabowo.

Baca juga: Sosok dan Nasib Meilanie Buitenzorgy Dosen IPB Sebut Wapres Gibran Cuma Tamat SD, Dipanggil Kampus

Adapun hal ini disampaikan oleh pengamat politik dari Citra Institute, Efriza.

Menurut Efriza, polemik ijazah ini dapat menurunkan citra atau image dari anak sulung mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tersebut.

Jika citra Gibran menurun, maka pengaruh Jokowi maupun sang anak terhadap pemerintahan Prabowo bisa berkurang, sehingga Prabowo dapat mengambil keuntungan.

Hal ini disampaikan Efriza saat menjadi narasumber dalam program On Focus yang ditayangkan di kanal YouTube Tribunnews, Rabu (1/10/2025).

"Iya kalau berbicara siapa yang diuntungkan, tentu saja adalah satu sisi Pak Prabowo tentu sangat diuntungkan kalau seandainya citra dari Gibran ini semakin lama semakin menurun," kata Efriza.

Baca juga: Alasan Meilanie Buitenzorgy Sebut Wapres Gibran Cuma Tamatan SD, KPU Diduga Ganti Pendidikan jadi S1

"Artinya pengaruh dari Pak Jokowi maupun pengaruh dari Gibran ini semakin lama semakin berkurang," tambahnya.

Akan tetapi, Efriza menilai, di sisi lain Prabowo juga bisa direpotkan dengan polemik ijazah Gibran tersebut.

Sebab, polemik yang menerpa Gibran maupun Jokowi masih tetap memengaruhi pemerintahan Prabowo.

"Tapi apakah dengan seperti itu, pemerintahan Prabowo ini 100 persen bisa tidak terpengaruh oleh kasus Gibran maupun Pak Jokowi? Tentu tidak," tutur Efriza.

"Jadi ini adalah sebuah kondisi yang sangat merepotkan buat Pak Prabowo sendiri," katanya.

"Karena Pak Prabowo tentu saja dinarasikan sebagai seorang presiden yang mengedepankan persatuan, mengharapkan semua masyarakat ini bisa bekerja sama membangun negeri," imbuhnya.

"Namun di sisi lain, ada permasalahan di aspek wakil presidennya. Bagi Pak Prabowo, tentu saja ini tidak menguntungkan bagi dia," jelas Efriza.

Meski demikian, Efriza menilai, menurunnya citra Gibran dapat dimanfaatkan menjadi ajang pembuktian bahwa Prabowo tidak mudah terpengaruh dan bukanlah boneka seperti yang ditudingkan kepadanya oleh beberapa pihak.

"Namun bagi orang-orang yang di belakang Prabowo, ini adalah kesempatan yang luar biasa [untuk] membuktikan bahwa Pak Prabowo ini tidak terganggu, Pak Prabowo tidak dipengaruhi," ujar Efriza.

"Jadi, Pak Prabowo ini bisa menunjukkan dia sebagai presiden yang luar biasa, bisa mandiri, tidak sebagai presiden boneka atau tidak dipengaruhi oleh Pak Jokowi maupun Pak Gibran karena mereka berdua sedang dalam proses yang bermasalah," paparnya.

Akan tetapi, Efriza mengingatkan, bagaimanapun kasus Gibran tetap berpengaruh terhadap Prabowo.

Dalam sistem demokrasi Indonesia, presiden dan wakil presiden adalah paket yang tidak dapat dipisahkan dalam persepsi publik.

Ketika Gibran tersandung masalah, baik itu terkait isu administrasi, kinerja, atau bahkan tuduhan politisasi, hal ini akan memengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintahan secara keseluruhan. 

Meski begitu, Efriza menilai, Prabowo sudah tahu betul konsekuensi dari isu yang menerpa Gibran terhadap pemerintahannya.

"Namun permasalahannya adalah bahwa politik itu tidak bisa dilihat dalam posisi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Karena ini adalah pasangan calon," kata Efriza.

"Jadi apa pun yang terjadi, kasus Gibran ini tentu memengaruhi Pak Prabowo," tambahnya.

Efriza menilai, polemik ijazah Gibran menjadi dilema, antara keinginan publik untuk mendapatkan pemimpin yang baik atau potensi politisasi yang dapat merusak legitimasi pemerintahan Prabowo.

"Satu sisi memang baik karena kita ingin menghasilkan seorang pemimpin yang benar-benar baik, baik dari sisi administrasi maupun dari sisi kinerjanya," ujar Efriza.

"Namun, jangan pula hal ini menjadi politisasi untuk menyandera seseorang dan tentu saja untuk menghancurkan legitimasi dari pemerintah," jelasnya.

"Dan ini tentu merepotkan, dan saya rasa Pak Prabowo pun dengan legawa juga menyadari bahwa apa pun yang terjadi dengan Gibran tentu imbasnya adalah ke pemerintahannya," tandasnya.

Dosen IPB Kuliti Ijazah Gibran

Nama Meilanie Buitenzorgy, Dosen IPB mencuat belakangan ini setelah pernyataannya yang sempat viral.

Sosok Meilanie Buitenzorgy viral karena menganalisa dan menguliti ijazah pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Meilanie Buitenzorgy menyebut pendidikan Gibran tidak tidak bisa disetarakan dengan tingkat SMP apalagi SMA.

Analisis tersebut berdasarkan argumen pendidikan Gibran di Orchid Park Secondary School (Singapura) dan UTS Insearch (Australia) dianggap tidak setara dengan SMA di Indonesia.

Meilanie tak segan menyebut pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka setara dengan lulusan Sekolah Dasar (SD).

Pernyataan Meilanie tersebut memicu kontoversial di media sosial dan kalangan akademisi.

Bahkan, pertanyaan pun bergulir mengenai proses penyetaraan ijazah luar negeri bagi tokoh publik.

Meilanie mengunggah analisisnya di media sosial, menyatakan bahwa pendidikan Gibran di Orchid Park Secondary School (Singapura) dan UTS Insearch (Australia) tidak setara dengan jenjang SMA di Indonesia.

Ia lantas mempertanyakan keabsahan penyetaraan ijazah luar negeri yang dimiliki Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi dasar legalitasnya dalam mengikuti kontestasi politik nasional.

“Pendidikan yang ditempuh Gibran tidak memenuhi standar SMA Indonesia, sehingga penyetaraannya patut dipertanyakan,” tulis Meilanie dalam unggahannya yang telah menyebar luas dan menjadi perdebatan publik.

Said Didu Pertegas Gibran Tak Lulus SMA

Polemik ijazah Gibran sendiri berawal dari beredar luasnya surat berkop Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di media sosial.

Dalam potret yang beredar luas di media sosial, surat ter tanggal 6 Agustus 2019 itu menyatakan Gibran Rakabuming Raka telah menyelesaikan pendidikan Grade 12 di UTS Insearch Sydney, Australia.

Surat itu melegitimasi Gibran bahwa dia pernah menempuh pendidikan setingkat SMA atau SMK.

Beredar luas di media sosial, surat tersebut pun dipertanyakan banyak pihak.

Satu di antaranya adalah Said Didu.

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu menyatakan UTS Insearch bukan merupakan sekolah.

Tetapi hanya sebuah bimbel bagi calon mahasiswa S1 UTS Insearch.

Hal tersebut disampaikan Said Didu lewat twitternya @msaid_didu pada Kamis (18/9/2025).

Dalam postinganya, dirinya mengaku memiliki bukti yang kuat atas hal tersebut.

Sehingga menurutnya, aneh jika keterangan lulus UTS Insearch setara dengan ijazah kelulusan setingkat SMA/ SMK.

"Anak saya alumni S2 UTS, menjelaskan ke saya bhw UTS Insearch bukan sekolah tapi semacam 'bimbel' utk masuk program S1 di UTS," ungkap Said Didu pada Kamis (18/9/2025). 

"Jadi menjadi aneh jika keterangan 'lulus' UTS Insearch dinyatakan setara dengan SMK," jelasnya.

Dampak dan Reaksi Publik
Pernyataan Meilanie tidak hanya memicu diskusi akademik, tetapi juga menjadi bahan perdebatan di media sosial.

Sebagian publik mendukung keberanian Meilanie dalam menyuarakan pendapatnya, sementara yang lain mempertanyakan motif dan akurasi analisisnya. 

Nama Meilanie dan IPB University pun sempat menjadi trending topic di berbagai platform digital.

Di tengah sorotan ini, isu penyetaraan ijazah luar negeri pun kembali menjadi perhatian.

Banyak pihak menilai perlu adanya transparansi dan standar yang jelas dalam proses penyetaraan, terutama bagi pejabat publik yang menempati posisi strategis di pemerintahan.

Lantas apa motif Meilanie Buitenzorgy menyoroti pendidikan Gibran Rakabuming Raka? 

Berikut beberapa poin dirangkum Tribun-medan.com, yang menjelaskan latar belakang dan motifnya:

1. Motif Akademik dan Regulatif

- Kritik terhadap penyetaraan ijazah luar negeri: Meilanie mempertanyakan keabsahan ijazah Gibran yang diperoleh dari institusi luar negeri seperti Orchid Park Secondary School (Singapura) dan UTS Insearch (Australia). Menurutnya, keduanya tidak memenuhi syarat sebagai lembaga yang dapat mengeluarkan school leaving certificate resmi.

- Merujuk regulasi resmi: Ia mengacu pada Peraturan Mendikbudristek No. 50 Tahun 2020 yang mengatur penyetaraan ijazah asing. Meilanie menilai bahwa ijazah Gibran tidak memenuhi standar penyetaraan yang sah menurut regulasi tersebut.

- Analisis berbasis data dan perbandingan: Untuk memperkuat argumennya, Meilanie bahkan membandingkan ijazah anaknya yang lulus dari Elizabeth Macarthur High School di Australia, yang secara eksplisit mencantumkan "High School" sebagai bukti kelulusan.

2. Motif Etis dan Sosial

- Kekhawatiran terhadap transparansi politik: Meilanie menyampaikan bahwa ijazah tersebut menjadi dasar legalitas Gibran untuk maju dalam kontestasi politik. Ia tampaknya ingin mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses verifikasi pendidikan pejabat publik.

- Panggilan akademik untuk klarifikasi publik: Sebagai dosen IPB dengan gelar PhD dari University of Sydney, Meilanie merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan analisis kritis berbasis regulasi dan sistem pendidikan internasional.

3. Reaksi Kampus dan Konsekuensi

- Pernyataan pribadi yang viral: IPB University menegaskan bahwa analisis Meilanie adalah opini pribadi, bukan sikap institusi. Namun, pihak kampus tetap memanggilnya untuk berdiskusi secara persuasif.

Riwayat Pendidikan Gibran Versi KPU

Gibran Rakabuming lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 1 Oktober 1987. 

Ia mengawali pendidikan dasar di SDN Mangkubumen Kidul 16, Kecamatan Laweyan, Solo. 

Setelah itu, ia melanjutkan ke SMP Negeri 1 Surakarta dan lulus pada tahun 2002. 

Dari kota kelahirannya, Gibran kemudian merantau untuk menempuh SMA dan pendidikan tinggi di luar negeri. 

Setelah lulus SMP, Gibran masuk ke Orchid Park Secondary School, Singapura. 

Sekolah menengah atas yang berdiri sejak 1999 itu mendapat pendanaan dari pemerintah Singapura. 

Gibran menempuh pendidikan di sana hingga 2004. 

Perjalanannya berlanjut ke Australia, tepatnya University of Technology Sydney (UTS) College, yang saat itu dikenal sebagai jalur persiapan kuliah. 

Selama tiga tahun ia belajar di sana, tetapi tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas.

Gibran kemudian kembali ke Singapura dan memilih kuliah di Management Development Institute of Singapore (MDIS), sebuah universitas swasta vokasi tertua di negara itu. 

Ia mengambil jurusan Manajemen dan menyelesaikan studinya pada 2010.

Usai lulus kuliah, Gibran pulang ke Solo dan membangun bisnis katering bernama Chili Pari. 

Namanya makin dikenal sebagai pengusaha muda. 

Pada 2015, ia menikah dengan Selvi Ananda. 

Kariernya meluas ketika ia menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pemuda Cari Cuan pada 2019. 

Tahun yang sama, ia mulai masuk ke dunia politik dengan bergabung ke PDI Perjuangan.

Gibran kemudian diusung sebagai Wali Kota Solo bersama wakilnya, Teguh Prakosa, dan resmi menjabat pada 2021. 

Namun, jabatannya tidak tuntas karena ia maju dalam Pemilihan Presiden 2024. 

Ia mengundurkan diri pada Juli 2024, sekaligus melepas posisinya di perusahaan. 

Kini, Gibran bukan hanya dikenal sebagai pengusaha, tetapi juga sebagai politisi muda yang melesat cepat hingga menduduki kursi Wakil Presiden RI ke-14.

(Bangkapos.com/TribunnewsBogor.com/Wartakotalive.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved