Berita Viral

Penggugat Gibran Subhan Palal Tak Lagi Tuntut Rp125 Triliun Tapi Minta 2 Hal Ini: Saya Ga Butuh Duit

Subhan meluruskan bahwa tujuan utama gugatan ini bukan uang tetapi bentuk kepedulian terhadap kualitas kepemimpinan nasional.

|
Penulis: Vigestha Repit Dwi Yarda | Editor: Rusaidah
TRIBUNNEWS/IMANUEL NICOLAS MANAFE
WAPRES GIBRAN DIGUGAT -- Advokat Subhan Palal (kiri) bicara tentang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming (kanan) ketika sebagai Tergugat I dan Komisi Pemilihan Umum sebagai Tergugat II saat diwawancarai secara khusus oleh Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Studio Tribun Network, Jakarta, Kamis (11/9/2025). Subhan menjelaskan terkait tuntutan gugatan Rp125 triliun dalam gugatannya terkait ijazah SMA Gibran. Dia menegaskan uang tersebut tidak untuk dirinya tetapi untuk warga negara Indonesia. Menurutnya, jika nanti gugatannya dikabulkan hakim, maka diperkirakan tiap warga memperoleh Rp450 ribu. 

BANGKAPOS.COM -- Inilah pernyataan mengejutkan Subhan Palal dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).

Sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan.

Terbaru, penggugat Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI) dengan nilai fantastis Rp 125 triliun itu menegaskan bahwa dirinya tidak lagi menuntut uang ganti rugi demi tercapainya perdamaian.

Baca juga: Profil Subhan Palal Minta Wapres Gibran Mundur & Alasannya Tak Jadi Gugat Ganti Rugi Rp125 Triliun

Menurutnya keadilan dan nilai moral jauh lebih penting dibanding nominal yang tercantum dalam gugatan.

 “Saya enggak minta pokok perkara (uang ganti rugi Rp 125 triliun). Tadi mediator minta (penjelasan) bagaimana tentang tuntutan ganti rugi. Enggak usah, saya enggak butuh duit,” ujar Subhan seusai sidang.

Ia menyampaikan bahwa syarat perdamaian yang ia ajukan kepada para tergugat bukan berupa kompensasi materiil, melainkan dua tuntutan moral dan politik.

“Pertama, para tergugat minta maaf kepada warga negara, kepada bangsa Indonesia baik Tergugat 1 atau Tergugat 2. Terus, Tergugat 1 dan Tergugat 2 selanjutnya harus mundur,” tegasnya.

Subhan meluruskan bahwa tujuan utama gugatan ini bukan uang tetapi bentuk kepedulian terhadap kualitas kepemimpinan nasional.

Ia berpendapat, rakyat Indonesia tidak membutuhkan uang ganti rugi, tetapi butuh pemimpin yang bersih dan tidak cacat hukum.

“Warga negara Indonesia tidak butuh uang, butuh kesejahteraan dan butuh pemimpin yang tidak cacat hukum,” lanjutnya dengan nada tegas.

Meski menolak kompensasi finansial, nilai ganti rugi Rp 125 triliun yang tertera dalam gugatan disebut masih akan dibahas lebih lanjut dalam proses mediasi dan sidang lanjutan.

Agenda berikutnya dijadwalkan pada Senin, 13 Oktober 2025, dengan materi tanggapan tergugat atas proposal perdamaian dari pihak penggugat.

Subhan Nilai Gibran dan KPU Melawan Hukum

Dalam gugatan ini, Subhan menilai Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum, lantaran beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden disebut tidak terpenuhi saat Pemilu 2024.

Ia menyoroti latar belakang pendidikan Gibran yang dianggap tidak sesuai ketentuan, meskipun bukan mempermasalahkan kelulusan.

Berdasarkan data resmi KPU RI, Gibran tercatat bersekolah di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan di UTS Insearch, Sydney (2004–2007) keduanya merupakan pendidikan setara SMA.

“Aspek yang saya persoalkan bukan soal lulus atau tidak, tapi tempat beliau menempuh pendidikan,” jelas Subhan di hadapan awak media.

Karena itu, Subhan meminta majelis hakim untuk menyatakan bahwa Gibran dan KPU RI telah melakukan perbuatan melawan hukum serta menilai bahwa status Gibran sebagai Wakil Presiden tidak sah secara hukum.

Selain itu, ia juga menuntut agar Gibran dan KPU secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil sebesar Rp 125 triliun serta Rp 10 juta kepada seluruh warga negara Indonesia, dengan dana tersebut disetorkan ke kas negara.

“Menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta, disetorkan ke kas negara,” bunyi salah satu petitum dalam berkas gugatan.

Meski demikian, sikap terbaru Subhan yang menegaskan tidak membutuhkan uang, melainkan permintaan maaf dan pengunduran diri para tergugat, memberi dimensi baru dalam kasus ini.

Publik kini menunggu langkah selanjutnya dari pihak Gibran dan KPU, apakah mereka akan merespons proposal damai tersebut atau memilih melanjutkan pertarungan hukum hingga putusan final dijatuhkan.

Sosok Subhan Palal

Subhan Palal berprofesi sebagai pengacara alias advokat. 

Ia juga memiliki firma hukum sendiri yaitu Subhan Palal & Rekan yang beralamat di Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Dalam sebuah situs blog, Subhan menulis, firma hukumnya akan melayani jasa hukum dengan sepenuh hati, familiar, dan friendly dengan tetap mengutamakan profesinalisme bidang jasa hukum.

Selain itu, firma hukum Subhan Palal & Rekan didukung oleh sekumpulan orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas di bidang hukum.

Dari penelusuran Tribunnews.com, Subhan Palal memiliki nama dan gelar lengkap yaitu Haji Muhammad Subhan Palal SH MH.

Subhan Palal juga diketahui merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 2018.

Dia memajang foto wisudanya melalui akun Instagram @subhanpalal yang diikuti oleh lebih dari 1400 follower.

Bahkan beberapa waktu yang lalu, Subhan Palal mem-posting foto bersamanya dengan mahasiswa UI lainnya yang kompak memakai jaket almamater kuning.

Dalam caption-nya, ia seolah menyindir sosok yang ijazahnya palsu.

"Berani nggak yang punya ijazah palsu," tulis Subhan Palal.

Dalam sebuah video, Subhan Palal pernah meminta KPU untuk tidak terburu-buru menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskannya.

Pada Februari 2025 lalu, Subhan Palal juga mengajukan permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 2.

Dikutip dari akun Facebook MK, Subhan menguji frasa "orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang".

Menurutnya, dalam pengisian jabatan, baik di tingkat eksekutif seperti Presiden/Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, maupun di legislatif seperti MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta di lembaga negara seperti BPK dan ASN, persyaratan utama adalah kewarganegaraan Indonesia.

Namun, kenyataannya, banyak orang dari bangsa lain yang tidak memiliki pengesahan sebagai WNI justru mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(Bangkapos.com/Tribun Trends/Tribunnews)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved