Muso Dianggap Lebih Cocok Jadi Tukang Gebuk
Soeripno dan Muso berhasil menerobos blokkade Belanda, dan mendarat dengan pesawat Catalina di rawa Campurdarat.
Ada yang juga harus saya catat di sini. Pada waktu itu di antara para pengawalnya ada seorang anak muda. Sikapnya masih agak kaku dan malu-malu. Dalam konferensi pers itu dia mencari tempat pinggir.
Rambutnya berombak, kulitnya kuning, tampannya memang ngganteng. Saya ingat-ingat kemudian. Saya ingat-ingat….
Namanya: Aidit. Dipa Nusantara Aidit, yang kemudian dalam perkembangan sejarah Indonesia juga mengalami nasib seperti Muso sendiri, mati sia-sia karena (dianggap) berkhianat kepada negara dan bangsa.
Itulah "perkenalan" saya untuk kali pertama dengan Muso. Perkenalan kedua kalinya terjadi sewaktu para mahasiswa Gadjah Mada mengadakan malam ceramah; sedangkan yang memberikan ceramah adalah para tokoh-tokoh politik pada waktu itu.
Salah seorang di antara para tokoh yang diminta memberi ceramah ini ialah Muso ini. Tempat ceramah di pagelaran Alun-alun Lor.
Baca: Tangis Soekarno Pecah di 3 Peristiwa Bersejarah
Mula-mula yang hadir cukup banyak. Ruang ceramah penuh dengan mahasiswa-mahasiswi. Tetapi, entah memang disengaja entah tidak, bertambah lama jumlah pengunjungnya menjadi susut, menjadi berkurang sehingga ruangan hampir-hampir menjadi kosong.
Kala itu yang menjadi moderatornya ialah Jusuf Simanjuntak yang kemudian kita kenal sebagai Yusuf Adjitorop, tokoh PKI pelarian yang kemudian bermukim di Peking dan hidup atas belas kasihan pemerintah China.
Seorang mahasiswa menanyakan, “Pak Muso mengapa sekarang anti-Linggarjati, padahal dulu Amir Syarifuddin yang notabene juga orang komunis justru mendukungnya?"
Suasana menjadi geger. Tetapi, sebelum pertanyaan itu diajukan suasana memang juga sudah agak panas. Memang begitulah, cara pada waktu itu apabila ada sesuatu golongan hendak mengacau rapat atau pertemuan. Beraneka ragam caranya; rupa-rupa metodenya.
Simanjuntak nampak agak panas juga telinganya. Kok ada yang berani mengajukan pertanyaan begitu? Tetapi Muso-nya sendiri lalu menenangkan anak buahnya.
"Tenang, tenang…, jangan panik, jangan panik. Saya juga sudah tahu, dari mana angin menghembus…”
Simanjuntak oleh sementara pengunjung dianggap kurang mampu dan tidak tegas menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang datang kepada Muso; karena itu dia lalu disoraki, dijengek-jengeki. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik.
Saya terus terang saja lupa, entah bagaimana tempo hari itu jawabnya Muso atas pertanyaan itu. Yang saya masih ingat ialah, bahwa sewaktu rapat itu ditutup ruang ceramah sudah hampir kosong.
Agaknya para mahasiswa-mahasiswi sudah ogah lagi mendengarkan pidato gembong komunis itu.