Herman Willem Daendels si Tangan Besi yang Diutus Napoleon Bereskan Sejumlah Daerah Indonesia
Herman Willem Daendels berstatus utusan khusus Louis Napoleon Bonaparte dari Prancis, yang menjadi "Raja Belanda"
Pemerintahnya juga mengatur kebijakan pengadaan kayu untuk kapal besar, atau untuk industri konstruksi kapal kayu yang sibuk menyediakan cadangan kapal, akibat seringnya gangguan bajak laut.
Meski punya masalah keuangan, Daendels dengan naluri militernya masih membangun dan memperkuat benteng pertahanan, berikut penambahan puluhan meriam besar.
Sebagai jenderal Angkatan Darat, Daendels pun membangunan dan memperluas kompleks militer di sekitaran Lapangan Banteng yang masa itu disebut Paradeplaatz.
Bekas bangunan zaman itu kini masih tersisa di asrama marinir TNI-AL di seputaran Jln. Kwini Jakarta Pusat, atau bangunan megah dan luas yang sekarang dimanfaatkan untuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.
Malah Lapangan Monas yang dulu disebut Koningsplein seluas 1.000 x 850 m, dijadikan lapangan latihan militer yang mampu menampung apel besar 20.000 tentara.
Sedangkan sekitar 9 km di selatan Weltevreden, Daendels membangun tangsi tentara dari Striswijk atau Jln. Raya Matraman sampai ke daerah Meester Cornelis atau Mester di Jatinegara.
Saat itu, kekuatan tentara zaman Daendels di Batavia mencapai 15.000-an personel, campuran tentara Eropa dan penduduk lokal.
Komentar baik buruk
Daendels, pada 1 Desember 1811, dengan kapal perang Sapho, berlayar mudik ke Belanda. Di sana lelaki bertangan besi ini sempat memimpin perang lagi.
Lalu ia diangkat menjadi penguasa di Pantai Emas Afrika. Daendels meninggal pada 2 Mei 1818.
De Haan dalam bukunya setelah Daendels meninggal menyatakan, tulisan dan laporan angka kematian seratusan ribu jiwa pekerja rodi di tangan Daendels selama bikin jalan raya pos, boleh jadi karena pelapornya adalah musuh-musuh Daendels, termasuk mantan Gubjen N. Engelhardt dan T.S. Raffles.
Meski begitu, dalam bukunya The History of Java, 1817, Raffles sempat menulis: "... Marsekal Daendels merupakan gubernur paling aktif dan paling energik."
Juga Mayor William Thorn dalam buku The Conquest of Java, 1815, menulis: "Jenderal Daendels ... begitu sampai langsung bersiap-siap untuk menghadapi serangan angkatan laut dan militer Britania Raya .... Sejumlah rencana yang dimiliki oleh perwira ini, sebagian besar sangat bijaksana."
Namun Lord Minto, Gubjen Inggris di India, menyatakan: "Dia tergolong penjahat dari jenis yang tidak terbayangkan ... seorang monster ... yang kejam dan tidak acuh dengan nyawa manusia, melebihi sebagian besar para tiran revolusi semasa kekuasaan teror
Nama H.W. Daendels memang sama terkenalnya dengan J.P. Coen. Namun Daendels lebih terkenal dengan penerusan jalan raya pos Anyer - Panarukannya.
Bersama ingatan buruk sebagai jenderal bertangan besi, pembunuh, serta tindakannya yang kejam terhadap bangsawan dan penduduk lokal.
Ikuti pasukan Sultan Agung
Catatan sejarah lama menggariskan, soal proyek Anyer - Panarukan, Daendels sebenarnya terinspirasi pasukan Sultan Agung yang pernah menggunakan jalan raya tersebut pada tahun 1614-an, untuk ulang-alik menyerang Batavia - saat itu dipimpin Gubjen VOC Jan Pieterszoon Coen.
Jalan tanah yang mampu dilalui cikar dan pedati dengan roda tinggi berjari-jari, agar mudah ditarik tangan apabila terperosok, konon juga dipakai untuk mengangkut meriam oleh Sultan Agung.
Di beberapa daerah, terdapat pondokan untuk istirahat dan mengganti kuda segar, juga mengikuti lokasi yang sudah ada 200-an tahun lalu, karena bekas pondokan dengan jarak tempuh tertentu, memang masih cocok dan dapat dimanfaatkan, bukan hanya sebagai pos ganti kuda, namun juga sebagai pondok istirahat petugas pos.
Comptoir post jadinya kantor pos
Herman Willem Daendels diduga menjadi "pencipta" kata kantor pos. Ada penelitian kecil menyebutkan, kata kantor itu asalnya dari kata comptoir, lalu lama-kelamaan dikorupsi bunyinya menjadi kantoor.
Kata kantoor yang asal Belanda, kemudian menjadi kata "kantor" sesuai lafal Indonesia.
Kata "pos" juga asalnya dari kata poste atau post, asal dari kata posita. Pada surat menyurat di zaman Daendels, konon tertera cap dan tanggal serta kata postkantoor.
Setelah lepas dari penjajahan Belanda, kata postkantoor menjadi kantor pos. Merdeka!
(Ditulis oleh Rudy Badil. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2008)