Kisah Cinta Bung Karno dan Ratu Tanpa Mahkota di Istana Bogor, Ada Mistisnya

Jika di tempat tidur kita 'kan "pelacur" bagi suami. Kita melayani permintaan mereka. Apa pun. Sementara een kameraad maksudnya

Editor: Iwan Satriawan
Istimewa
Hartini dan Soekarno 

Untuk para tamu negara biasanya dihidangkan makanan Eropa, paling-paling ditambah sate. "Mereka sendiri biasanya bisik-bisik kepada duta besarnya masing-masing supaya dikirimi makanan khas negera mereka sendiri ke kamar. Sama saja dengan kami.

Kalau jamuan makan resmi, kami makan hanya untuk formalitas. Ambil sedikit saja. Di rumah kami baru menikmati makan. Bapak memang biasa, di rumah makannya muluk (tanpa sendok-garpu)."

Makanan kesukaan Bung Karno antara lain botok, buntil, sayur asam, rawon, pecel.

"Dalam soal makanan ini saya  mesti turun tangan sendiri, karena Bapak itu rewel. Kalau mau makan mangga pun, jika belum selesai makan, jangan dikupas, nanti bau angin dan tidak enak. Begitu pun dengan sambal, baru diulek jika Bapak sudah duduk. Cobeknya dialasi piring yang bagus dan diletakkan di meja."

Hartini mengaku dirinya  bisa masak, "Tapi terus terang masakan saya tidak sedap," katanya.

Saling memanjakan

Jika Bung Karno mau ke Bogor, biasanya Hartini akan bertanya, "Pak hari ini mau tindak mriki, dahar menopo nang dalem?" Dalam berbicara dengan Bung Karno, Hartini selalu berbahasa kromo inggil.

Kesederhanaan Bung Karno lainnya tergambar dari penuturan sang istri tentang kebiasaannya berpakaian. "Kalau akan keluar, pakaiannya harus rapi. Tidak boleh kepanjangan atau kependekan setengah senti pun! Tapi kalau di rumah, kepanasan, ia cukup pakai kaus oblong cap Lombok buatan Hongkong dengan celana piyama."

Meskipun tinggal di lingkungan tersendiri, Hartini tetap bersosialisasi dengan masyarakat luar seperti dengan bupati, walikota, residen dengan istri masing-masing yang sering berkunjung ke kediamannya.

"Bila Bapak tidak ada, saya juga senang berjalan-jalan ke luar bersama empat orang pengawal: dua wanita, dua pria. Biasanya beli baju ke toko. Salah satu toko favorit saya waktu itu adalah Toko De Zon (kini Toko Sinar Matahari di. Jl.  Kapten Muslihat, Bogor)."

Bung Karno selalu menginginkan Hartini tampil berkain kebaya. "Kalau dulu ada empat tamu, ya saya harus empat kali ganti," katanya. Baru setelah Bung Karno wafat, Hartini mulai memakai rok.

Dalam mendidik anak Hartini tidak berlebihan. "Kegemaran mereka mengendarai traktor pemotong rumput sambil makan-makan. Mereka juga bermain bersama anak-anak tukang kebun, anak pelayan, main voli, dsb. Anak-anak dari luar juga boleh main di sini, asalkan melewati sekuriti untuk dicatat namanya," kenangnya.

Selain itu kesibukan rutin Hartini, pagi-pagi sembahyang, lalu jalan-jalan. Pukul 09.00 atau 10.00 ia menerima tamu, diikuti acara-acara peresmian atau ke RS PMI. "Saya 'kan aktif di rumah sakit," katanya.

"Apalagi ketika itu saya mudah sekali mencari dana. Tinggal telepon, orang-orang kaya tak keberatan menyumbang," sambungnya.

Selama tinggal di Bogor berbagai tamu negara datang dan pergi silih berganti. Meskipun Bung Karno sudah tiada, persahabatan Hartini dengan beberapa mantan tamunya masih terjalin sampai kini.

"Hubungan saya dengan Putri Michiko dan Pangeran Sihanouk sampai sekarang masih terjalin dengan baik. Pangeran Sihanouk setiap kali datang selalu mengundang saya. Malah pernah ia akan berkunjung ke rumah saya, tetapi saya katakan, 'Jangan deh. Lebih baik saya yang ke guest house. Nanti repot,'" katanya.

Jumat memang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Hartini bersama anak-anaknya, karena pada hari itulah Bung Karno mulai menginap di Bogor dan baru kembali pada Senin pagi.

"Tiap hari Jumat, pukul 16.00 saya sudah siap dan rapi. Sudah bebenah diri luar-dalam (bersih-bersih, minum jamu, tirakat). Sebagai anak presiden, Taufan dan Bayu sudah dibiasakan memberi hormat ala militer saat ayahnya datang. Tapi namanya juga anak kecil, sering kali mereka sudah menurunkan tangannya, sebelum sang ayah menurunkan tangannya lebih dulu.”

Dalam kehidupan berumah tangga, baik Hartini maupun Soekarno sama-sama memanjakan pasangannya. "Kalau Bapak datang saya lepas sepatunya. Kalau mau sembahyang, sajadah sudah saya gelar. Pakaiannya pun sudah saya sediakan. Saya yang membuka jasnya."

Menurutnya, kalau orang lain mungkin akan berkata copot saja sendiri, ngapain. "Tapi mungkin itu salah satu yang orang lain tidak punya, tapi saya punya," katanya.

Setelah itu, Hartini akan mengeluarkan rujak parut dan cendol kegemaran Bung Karno. "Pokoknya, I'll do my best," katanya.

Bertengkar di kamar

Sejak awal Hartini tahu pasti akan posisinya. Karena itu ia tidak bisa menuntut kehadiran Bung Karno sepenuhnya. Saat senggang mereka kadang bermain kartu 41 dengan bayaran korek api.

Tapi laiknya rumah tangga biasa Hartini dan Soekarno pun pernah terlibat pertengkaran. Kalau akan bertengkar kami masuk ke kamar, supaya tidak ketahuan ajudan dan anak-anak. Kami biasanya tidak lama bermusuhan.

Sifat saya, kalau bertengkar semuanya saya keluarkan, ribut. Setelah itu selesai. Saya bukan pendendam. Saya tidak tahan saling diam. Tapi Bapak tidak pernah main tangan (memukul) pada saya," katanya.

Dalam mendampingi Bung Karno, 'Hartini bertindak sebagai een moedertje, een geliefde, een kameraad (seorang ibu, seorang kekasih, seorang teman). Een geliefde, artinya, "Jika di tempat tidur kita 'kan "pelacur" bagi suami. Kita melayani permintaan mereka. Apa pun. Sementara een kameraad maksudnya, jika di luar saya bukannya minta digandeng terus ke mana pun."

Kalau kebetulan sedang ada acara tari lenso Hartini akan bertanya kepada Bung Karno mengenai wanita yang akan menemaninya berdansa. "Biasanya saya akan menggandeng dan mengantarkannya ke wanita yang ditunjuk Bapak."

Apakah Hartini tidak pernah cemburu melihat suaminya yang banyak dikelilingi dan dikagumi wanita? "Pertama-tama cemburu itu pasti ada, tapi meski saya ribut Bapak toh tetap begitu," katanya.

"Jika Bapak punya pacar," katanya terus terang, ketika ditanya hal apa yang paling menjengkelkannya.

Paviliun Istana Bogor memang menyimpan banyak kenangan bagi Hartini. Di situlah Taufan dan Bayu lahir.

Di situ pulalah ia melewatkan hari-hari terindah bersama Bung Karno. Meskipun demikian, "Saat harus meninggalkan tempat itu, anak-anaknya tidak terlalu merasakan, karena masih kecil. Mereka senang saja. 'Ini sudah rumah sendiri, ya Bu? Dulu kita 'kan nyewa,'" kata mereka.

Semenjak meninggalkan Istana Bogor tahun '60-an, Hartini memang sudah beberapa kali menginjak tempat itu kembali.

Menurutnya, kondisinya kini lebih baik daripada dulu, karena perabotannya baru. Seandainya memiliki kesempatan untuk tinggal kembali di sana maukah ia mengulang saat-saat indah?.

"Saya rasa saya tidak kuat, sedih. Lebih baik tidak deh. Daripada saya ngngis terus dan sakit jantung saya kumat nanti," kata wanita yang mewakili keluarga Soekarno saat Bung Karno dianugerahi gelar proklamator oleh pemerintah.

"Saya tak pernah menyesal menjadi pendamping Bung Karno, karena saya merasa pengorbanan yang saya berikan masih seimbang dengan kebahagiaan yang saya peroleh," katanya. (LR Supriyapto Yahya/Lily Wibisono)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1996)
Reporter : K. Tatik Wardayati

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved