Tak Hanya Kaya Ikan, Tetapi Laut Natuna Punya Harta Karun di Dalam Laut, Pantas Jadi Rebutan
Ini setelah insiden masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard terdeteksi masuk ke perairan Natuna secara ilegal.
Tak Hanya Kaya Ikan, Tetapi Laut Natuna Punya Harta Karun di Dalam Laut, Pantas Jadi Rebutan
BANGKAPOS.COM - Laut Natuna menjadi perhatian serius dari Indonesia. Masuknya kapal-kapal dari China ke perairan tersebut membaut Indonesia mengambiul sikap,
Hubungan Indonesia China dalam beberapa hari terakhir sedang panas dingin.
Ini setelah insiden masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard terdeteksi masuk ke perairan Natuna secara ilegal.
Masuknya kapal-kapal Negeri Tirai Bambu di Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE ) Indonesia membuat berang pihak Indonesia.
Pemerintah sendiri, lewat Kementerian Luar Negeri, telah mengirim nota protes resmi dan memanggil Dubes China untuk Indonesia di Jakarta.
• Tagar Perang Dunia III Jadi Trending, AS dan iran Saling Ancam, Negara TImur Tengah Mulai Resah
• Suansana Dunia Memanas, Amerika Serikat Beri Ancaman, Raja Arab Saudi Panggil Irak
Selain kaya sumber daya perikanan dan alamnya yang indah, perairan natuna.
Dikutip dari Harian Kompas, 23 Juli 2016, Haposan Napitupulu, mantan Deputi Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas, menjabarkan kalau laut Natuna memiliki cadangan minyak dan gas ( migas ) yang sangat besar.
Salah satu blok migas di Natuna yang cadangannya sangat besar lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara yang kegiatan eksplorasinya telah dilakukan sejak akhir 1960-an.
• Tahun Baru Hp Baru, Ini Daftar Lengkap Harga HP Samsung Terbaru Januari 2020, Harga Mulai 1 Jutaan
Ketika itu salah satu perusahaan migas Italia, Agip, melakukan survei seismik laut yang ditindaklanjuti dengan melakukan 31 pengeboran eksplorasi.
Kegiatan in berhasil menemukan cadangan migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.
Namun, sayangnya, hingga ditemukan pada 1973, lapangan gas D-Alpha ini belum dapat dieksploitasi karena membutuhkan biaya yang tinggi disebabkan kandungan gas CO2-nya yang mencapai 72 persen.
Pada 1980, pengelolaan blok ini digantikan oleh Esso dan Pertamina.
Esso kemudian bergabung dengan Mobil Oil menjadi ExxonMobil dan telah menghabiskan biaya sekitar 400 juta dollar AS untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan kajian pengembangan lapangan.
Namun, tetap saja lapangan gas ini belum berhasil dieksploitasi.