Berita Pangkalpinang
Jaenah Bawa Anaknya Ikut Memulung Sampah, Kisahnya Merantau di Tanah Bangka dari Cirebon
Hampir 10 tahun ini, pendatang dari Karawang, Jawa Barat mencari barang bekas dan rongsokan di seputar Kota Pangkalpinang.
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Keberadaan pemulung yang menyusuri jalan-jalan Kota Pangkalpinang, lebih mudah dilihat akhir-akhir ini.
Bahkan, tak jarang ada anak kecil yang ikut serta orang dewasa melakukan pekerjaan tersebut.
Wali Kota Pangkalpinang Maulan Aklil khawatir anak-anak ikut serta orangtua memulung sebagai modus mendapatkan simpati orang lain.
Namun, ada pemulung yang terpaksa membawa anak kecil karena tidak ada yang merawat di rumah.
 
Seperti yang dilakukan seorang perempuan berusia 70 tahun ini.
Hampir 10 tahun ini, pendatang dari Karawang, Jawa Barat mencari barang bekas dan rongsokan di seputar Kota Pangkalpinang.
Mak Acih, perempuan itu biasa disapa mengaku mencari barang bekas, di atas pukul 12.00 WIB.
"Kami carinya di sekitar Pasar Pangkalpinang, lalu memilahnya di sini," ungkap Mak Acih saat ditemui di kawasan Jalan Trem Kota Pangkalpinang, Rabu (8/1).
Dia tak sendiri, tapi bersama menantu perempuan dan seorang cicit yang berusia empat tahun.
Mak Acih terpaksa membawa cicitnya ikut memulung karena tidak ada yang merawat di rumah.
"Suami dan anak kami semuanya mulung," katanya.
Satu keluarga ini diberi tempat tinggal oleh bos pengumpul barang bekas di kawasan Pelipur Kota Pangkalpinang.
Sementara, Jaenah pemulung dari Cirebon, Jawa Barat pertama kali tiba di Pangkalpinang 2007 lalu.
Dia mengumpulkan plastik bekas di tepi jalan dan got, untuk dijual ke pengumpul barang bekas.
Jaenah mengadu nasib di Pangkalpinang bersama suami dan anaknya.
"Setelah salat Zuhur kami berkeliling mencari platik bekas. Pagi hari kita aktivitas di rumah, memasak dan mencuci, seperti biasa ibu rumah tangga," ungkap Jaenah, Kamis (9/1).
Namun, sejak dua tahun ini, suaminya sakit stroke dan hanya bisa berbaring di rumah.
Lantaran kondisi itu, Jaenah mengambil alih mencari nafkah, untuk menghidupi empat anaknya.
"Anak pertama sudah menikah, anak kedua di bangku SMA, ketiga dan kempat masih sekolah dasar," katanya.
Jaenah memilih jadi pemulung karena dianggap mudah dilakukan dan dapat menghidupi keluarganya.
Dia ingin anak-anaknya tumbuh sukses, tidak seperti dirinya.
"Saya ingin anak-anak sukses, makanya mati-matian nyekolahin mereka biar tidak seperti mamaknya ini.
Syukur Alhamdulilah anak-anak mengerti keadaan saya, mereka tidak pernah macem-macem," ungkap Jaenah.
Jaenah memulung setiap hari meski cuaca hujan.
Satu hari memulung, Jaenah bisa mendapatkan Rp 25 sampai Rp 30 ribu per harinya.
"Alhamdulillah selalu cukup, biasanya beli beras setengah kilo. Jajan anak-anak kadang seribu juga tidak apa-apa untuk yang SD," tambahnya.
Jaenah juga berjuang untuk membiayai pengobatan suaminya yang dianggapnya sangat mahal.
Tak bisa berbuat banyak
Sementara, Pemkot Pangkalpinang tidak bisa berbuat banyak menyikapi pemulung yang membawa anak-anak saat mencari nafkah.
Kondisi itu terkadang dilematis, karena pemulung terpaksa membawa anak-anak mereka karena tak bisa ditinggal di rumah.
Kepala Bidang Rehabilitas Sosial (Rehsos) Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Pangkalpinang, Riza Setiawati mengatakan pihaknya berupaya melakukan pendekatan, untuk menangani pemulung yang membawa anak tersebut.
Hanya Riza mengaku pihaknya tidak bisa melakukan tindakan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Meski, secara aturan, pemerintah wajib melindungi anak-anak di bawah umur.
"Kita pernah melakukan pendekatan kepada orangtuanya, tetapi alasannya bila tidak memulung tidak bisa makan.
Bila anak ditinggal tidak ada yang jagain. Kita tidak bisa apa-apa, kalau sudah dijawab seperti itu," ujar Riza, Rabu (8/1).
Dia menyayangkan ada pemulung yang membawa anaknya.
"Kita lebih pada anaknya yang dibawa saat memulung, memberikan pemahaman dan pendekatan kepada orangtuanya agar tidak membawa anaknya.
Kita tidak ada wewengan memberikan sanksi, lebih pendekatan secara sosialnya," tuturnya.
Selama tidak melakukan tindakan di luar kewajaran, pihaknya hanya melakukan pemantauan saja.
Mengenai pengemis dan gelandangan, petugas dinsos kerap harus mengeluarkan tenaga lebih.
"Kita dalam sebulan selalu melakukan dua kali patroli untuk menangani gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Tapi kesulitan kita di lapangan, mereka sudah tahu mobil kita bahkan sudah tahu juga ada petugas.
Jadi mereka kabur, kucing-kucingan kemudian sembunyi," jelas Riza.
Hal tersebut yang menjadi kendala dinas sosial untuk melakukan perlindungan sesuai dengan Perwako (Peraturan Walikota) Pangkalpinang dalam menganyomi dan memberikan pengertian kepada gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Upaya yang dilakukan dinas sosial pun bila ada orang yang terjaring dalam patroli, akan dibawa ke penampungan sementara atau Rumah Sosial Perlindungan (RSP) di Pasir Garam, Pangkalpinang.
"Nanti kita tindaklanjuti, mereka tersebut baik anak terlantar maupun gelandangan kita identifikasi, penyebab bisa seperti itu.
Baru kemudian kita beri penanganan dikembalikan ke orangtua, atau dirujuk kemana sesuai dengan kondisi mereka," katanya.
Upaya dinas sosial saat menangani orang-orang tersebut di Rumah Perlindungan Sosial minimal tiga hari dan maksimal tujuh hari harus segera diselesaikan.(Cr2/S2)

 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											