Korupsi Fasilitas Kredit BRI
Kuasa Hukum Gemara Keberatan Dakwaan JPU, Soroti Tidak Adanya Izin Pemeriksaan dari NKNW
Eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum yakni, M Adystia Sunggara, Agus Hendrayadi, Mardi Gunawan dan Bahtiar, tersebut memakan waktu 2 jam
Penulis: Antoni Ramli | Editor: khamelia
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Tim kuasa hukum Gemara Handawuri, terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit kepada 47 debitur kantor cabang BRI Pangkalpinang dan kantor cabang pembantu BRI Depati Amir keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pekan lalu.
Eksepsi atau nota keberadaan tersebut disampaikan tim kuasa hukum terdakwa Gemara pada sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit di kantor cabang BRI Pangkalpinang dan kantor cabang pembantu BRI Depati Amir, Rabu (22/9/2021).
Sidang diketuai Efendi didampingi hakim anggota MHD, Takdir, dan Warsono di Pengadilan Negeri PHI / Tipikor Negeri Kelas 1 A .
Eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum yakni, M Adystia Sunggara, Agus Hendrayadi, Mardi Gunawan dan Bahtiar, tersebut memakan waktu kurang lebih, hampir dua jam.
Ketua tim kuasa hukum M Adystia Sunggara menyebut ada beberapa poin penting yang mereka sampaikan dalam eksespi tersebut. Salah satunya, tidak adanya persetujuan atas permohonan pada pemeriksaan terdakwa Gemara, yakni dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (NKNW) provinsi Kepulauan Bangka Belitung, baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka.
"Dalam nota keberatan kami itu, menyikapi bahwa uraian dakwaan jaksa tidak cermat, sehingga dakwaan disusun dengan tidak sistematis dilihat dari sisi ada atau tidak izin dari majelis kehormatan notaris wilayah, dalam melakukan pemeriksaan yang dilandasi atas surat perintah Penyidikan dalam perkara tersangka Sugianto alias Aloy," ujar Adystia.
"Kami lihat dakwaan JPU, tidak terlihat adanya izin dari majelis kehormatan notaris wilayah, dalam memeriksa dan menyusun surat dakwaan Gemara. Sehingga perbuatan tersebut kami nilai melanggar undang- undang jabatan notaris, serta Permenkumham nomor 25 tahun 2000. Semestinya harus dengan izin majelis kehormatan notaris," lanjut Adystia, memaparkan nota keberatan kliennya.
Selain itu, lanjut Adystia, dalam penyusunan surat dakwaan tersebut, JPU harus mengacu pada 2 asas hukum sebagai parameter proses penegakan hukum Pidana terhadap Notaris.
Pertama asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis yang artinya Undang-Undang yang khusus menyisihkan Undang-Undang yang umum.
"Artinya syarat utama yang harus dipenuhi adanya kesamaan tingkat peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Undang-Undang dengan Undang-Undang," bebernya.
Selain itu, asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori yang artinya Undang-undang yang kemudian menyisihkan Undang-Undang yang terdahulu. Syarat yang harus dipenuhi yaitu tingkat perundang-undangannya harus sama dan substansinya juga harus sama.
"Dikarenakan, tidak adanya izin dari majelis kehormatan notaris, kami meminta majelis hakim tidak melanjutkan perkara Gemara ini, sehingga harapan kami eksepsi ini dapat dikabulkan, dan perkara ini dapat dihentikan dan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan," harapnya.
Sementara dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU Noviansyah, pekan lalu, menganggap bahwa terdakwa Gemara Handawuri, selaku Notaris, telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 740.184.000.
Alhasil, negara mengalami kerugian sebesar Rp 43.800.000.000. Tak sampai di situ, JPU juga menilai terdakwa turut memperkaya terdakwa lain dalam penuntutan terpisah.
JPU juga menilai, Gemara selaku pejabat notaris telah membuat surat keterangan atau cover notes yang isinya tidak benar, pada 42 proses sertifikat debitur BRI.