Opini

Tantangan Pariwisata dan Geopark Belitong

Salah satu prestasi menyangkut pariwisata Bangka Belitung adalah diumumkannya Pulau Belitung sebagai Unesco Global Geopark.

Editor: fitriadi
Bangkapos.com
Yan Megawandi 

Oleh: Yan Megawandi Adani*

Hari Pariwisata Dunia Tanggal 27 September tahun ini akan diperingati ditengah badai Pandemi Covid-19 yang masih merisaukan banyak orang.

Pariwisata pula merupakan sektor yang paling merasakan dampak pandemic. Sejumlah usaha pariwisata terpaksa tiarap dan karyawannya kembang kempis.

Cerita teman di Belitong misalnya pekerja pariwisata yang selama ini merasakan manisnya rupiah di saat pandemic terpaksa gigit jari banting stir bekerja serabutan demi menghidupkan asap dapur masing-masing. 

Salah satu prestasi menyangkut pariwisata yang patut dicatat dalam salah satu milestone pembangunan di Kepulauan Bangka Belitung adalah diumumkannya Pulau Belitung sebagai Unesco Global Geopark.

Perjuangan yang dilakukan tidak mudah. Kurang lebih empat tahun barulah usulan sebagai Global Geopark ke enam di Indonesia itu dikabulkan Unesco. Bahkan jika ditarik mundur lagi rancangan menyatukan dua wilayah administrative di Belitong dalam mengembangkan pariwisata sesungguhnya sudah dimulai di 2012 dengan kajian Geo Wisata Belitong oleh provinsi bersama, kabupaten dan P2Par ITB.

Langkah tersebut seolah-olah merupakan periode lanjutan dari model pembangunan yang dipilih yaitu benar benar bertransformasi. Dari model pembangunan yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam yaitu menambang timah menjadi lebih melindungi sumber daya alam. Atau kalau pun tetap “mengeksploitasinya” dengan pendekatan yang jauh lebih bermartabat, yaitu dengan meminimalkan sampai jika mungkin tanpa merusaknya. Karenanya sinergi kedua pemerintah daerah di Negeri Laskar Pelangi ini layak diacungi jempol.

Deklarasi Belitung Global Geopark

Deklarasi yang diumumkan Unesco 22 April 2021 dari Paris yang disiarkan langsung ke puluhan negara itu pula untuk sementara melegakan bagi para pejuang lingkungan dan pariwisata yang selama ini sering kali merasa kecewa.

Maklum saja kelompok ini biasanya harus berhadapan langsung atau tidak langsung dengan kepentingan kapitalisme global yang mempergunakan tangan-tangan lokal dalam mempertahankan kepentingannya di wilayah Bangka Belitung.

Daya pikat penambangan terutama timah yang menggiurkan baik dalam kecepatan dan besaran keuntungan yang didapatkan adalah salah satu penyebab bertahannya penambangan timah di kepulauan Bangka Belitung.

Penyebab lainnya ialah sulitnya ekonomi daerah untuk dapat keluar dari belitan kepentingan para pemodal penambangan ini.

Penyebabnya antara lain karena hampir tak ada yang tak bisa dibeli oleh tangan tangan tadi. Mulai dari pemerintah di tingkat bawah sampai yang di atasnya. Mulai dari tokoh masyarakat apalagi kaum bedasi. Pokoknya tambang merupakan energi yang sangat manjur untuk mengantarkan seseorang menduduki kursi kehormatan yang diinginkan. Baik sebagai penguasa atau pengusaha, atau keduanya sekaligus.

Di samping itu penyebab lain bertahannya eksploitasi tadi adalah karena sulitnya menjaga kekompakan pergerakan sebagai akibat dari minimnya kepemimpinan yang kuat dan berwawasan panjang dan stategis.

Karena itu wajar apa bila hampir semua persoalan besar di Bangka Belitung bermula dan berakhir dari tambang timah sejak berabad-abad lalu. Kondisinya belum banyak berubah sampai hari ini.

Terjadinya migrasi besar-besaran ke Bangka dan Belitung sejak lebih tiga abad lalu adalah karena timah. Perang Bangka yang kemudian melahirkan pahlawan Depati Amir juga karena ada kepentingan timah. Terbentuknya provinsi juga hasil dari strategi perjuangan yang antara lain disumbangkan pula oleh uang dari hasil timah.

Hampir semua pemilihan kepala daerah biasanya pula melibatkan para cukong timah di belakangnya. Demikian pula kerusakan lingkungan yang cukup masif terjadi baik di darat dan di laut juga hasil penambangan timah yang tidak dikelola secara bijak.

Ada banyak sekali hal yang terhubung dengan cerita timah di Bangka Belitung. Ada yang positif dan sebaliknya. Yang kemudian menjadi lembaran sejarah warna warni negeri Serumpun Sebalai. Bumi Laskar Pelangi.

Sejak tahun 1980an memang telah mulai banyak timbul kesadaran akan perlunya mengubah pendekatan pembangunan di Bangka Belitung. Hal itu didorong pula oleh krisis timah yang terjadi di akhir tahun 80an yang kemudian memaksa PT Timah merubah dirinya secara luar biasa.

PT Timah dipaksa untuk kembali ke core bisnisnya sebagai penambang. Walaupun pada kenyataannya juga lalu terkadang terkesan hanya menjadi semacam broker alias calo bisnis timah dari masyarakat.

Di awal era tahun 2000 an booming penambangan timah Kembali terjadi. Adanya otonomi yang membawa angin perburuan bijih timah di masa ini. Akibatnya kerusakan yang semakin menjadi-jadi yang kemudian berlangsung. Sungai, laut dan perairan tercemar. Hutan keranggas yang tak banyak lagi hamparannya di dunia dan menjadi ciri khas hutan di Bangka dan Belitung menghilang dengan kecepatan luar biasa.

Demikian pula hutan bakau yang konon menjadi benteng dalam menghadapi abrasi dan ekosistem yang menjadi sumber kekayaan perlindungan yang banyak flora fauna dirusak dengan semena-mena. Terumbu karang merana. Sejumlah satwa lalu kehilangan rumahnya.

Sudah banyak satwa yang dulu dengan mudah dijumpai, namun kini entah kemana mereka berlindung. Mereka terancam punah. Konflik satwa dan manusia semakin tinggi. Banjir besar melanda. Kerugian tak terhitung nilainya.

Namun semua permasalahan lingkungan tadi seolah hanya catatan kelam yang dengan mudah terlupakan. Digilas kepentingan ekonomi dan politik yang silih berganti diulang-ulang. Atas nama kesejahteraan.

Semula banyak orang berharap bahwa dalam kesusahan yang dihadapi akan membawa hikmah yang harusnya semakin menumbuhkan kesadaran akan keberlanjutan pada kehidupan.

Bukan hanya sekedar kelanjutan bisnis semata. Misalnya dengan memberikan nilai tambah yang semakin bermutu dalam pengolahan bijih timah di daerah penghasilnya. Tapi harapan tersebut nampaknya masih jauh. Kepentingan lima tahunanlah yang lebih menarik untuk diraih.

Lihat lah misalnya apa saja teknologi tambang dan pasca tambang yang semakin bermartabat yang berkembang? Bagaimana kah penanganan limbah dan lingkungan yang ditangani? Apakah pengendalian terhadap kegiatan ekstraksi alam makin menjadi lebih baik?

Metamorfosa Belitong

Apakah benar bahwa nilai mineral yang justru lebih tinggi mutunya justru tidak mendapat perhatian memadai dan masih dianggap remah remah hanya karena kurangnya penguasaan teknologi dan kapital? Atau memang karena kita tak faham bagaimana menangani nya? Atau memang karena kita yang kemaruk dan tak pernah merasa puas atas semua nikmat yang telah diterima.

Terlepas dari semuanya masyarakat Belitong telah terlebih dahulu tercerahkan dengan masuknya pariwisata. Nampaknya Pariwisata membuat wawasan jadi lebih luas sikap menjadi lebih bijak dan kesabaran juga jadi lebih baik.

Lihatlah bagaimana masyarakat Pulau Belitung yang dengan segala daya menolak untuk memberikan ruang laut mereka menjadi kawasan penambangan kembali. Walau Coba dibujuk rayu dengan berbagai cara.

Kuntoro Mangkusubroto, seorang Direktur utama PT Timah di awal tahun 90an telah memberikan jalan mulus bagi dihentikannya penambangan di perairan Pulau Belitung. Yang membuat Kawasan perairanya sekarang menjadi lebih biru. Apakah Pulau Belitung mati Ketika waktu itu ditinggalkan PT Timah? Ternyata tidak.

Dengan kearifannya sendiri masyarakat Pulau Belitung dan pemerintah daerahnya yang bersinergi dengan kalangan swasta ternyata mampu bertahan. Walau pun sulit ternyata mereka mampu berprestasi.

Pendapatan daerah yang tidak terlalu banyak sementara kebutuhan yang semakin meningkat membuat penggunaan dana semakin harus dibuat lebih baik. Buktinya Kabupaten Belitung yang waktu itu dipimpin oleh Bupati Ishak Zainudin mampu membuktikan kinerja terbaiknya.

Mereka memperoleh predikat sebagai Kabupaten dengan pengelolaan anggaran Wajar Tanpa Pengecualian alias WTP oleh BPK.

 WTP ini bukanlah kaleng-kaleng. Pada waktu itu masih hitungan jari saja daerah yang mampu menandingi prestasi tersebut.

Rasa gembira karena mendapatkan status UGG sangat layak dinikmati. Tapi kerja ke depan jauh lebih sulit, yaitu menunjukan bahwa dengan status tersebut masyarakat Pulau Belitung akan lebih baik dan lebih sejahtera. Serta jangan pula dilupakan kepentingan kelompok pemiliki modal besar yang penasaran untuk terus menggerakan kelompok masyarakat kecil guna melakukan eksploitasi alam dan tak peduli akan lingkungan.

Memburu kesejahteraan adalah jargon yang terus dikumandangkan walau keselamatan jadi taruhan. Jika lengah sedikit saja maka status UGG yang akan dapat dibuat goyang bahkan bisa jadi hilang. Caranya? Akh anda kira-kira sendirilah… Salam takzim.

* Widyaiswara di BKPSDMD Bangka Belitung, dan tenaga edukatif di Stisipol Pahlawan 12 Sungailiat.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved