China Berani Peringatkan Indonesia Setop Pengeboran Minyak dan Gas di Laut Natuna Utara
China peringatkan Indonesia untuk menghentikan pengobran minyak dan gas ( migas ) di laut Natuna Utara. Hal itu dilakukan China karena mengeklaim...
BANGKAPOS.COM -- Konflik Natuna memanas kembali.
Kali ini China peringatkan Indonesia untuk menghentikan pengobran minyak dan gas ( migas ) di laut Natuna Utara.
Hal itu dilakukan China karena mengeklaim wilayah itu miliknya. Padahal, Indonesia dengan tegas sudah mengatakan, ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.
Lalu bagaimana awal mula konflik terbaru di Laut Natuna Utara terjadi, dan bagaimana pendapat para pakar?
Baca juga: Kabar Terbaru, Begini Kondisi Terkini Tukul Arwana yang Diungkap Sang Anak, Mulai Berangsur Pulih
Baca juga: INILAH Bacaan Doa yang Dapat Mendatangkan Harta Sebumi Ilmu Selangit, Selalu Diamalkan Nabi Muhammad
Baca juga: Ternyata Seperti Ini Wanita Arab Saudi Nyetir Mobil, Bandingkan dengan di Indonesia
Baca juga: Lin Siniang Si Perempuan Nakal, Kuasai Seni Bela Diri di Usia 6 Tahun & Dijadikan Istri Raja China
Baca juga: Ada Pasar Loak di Los Angeles Amerika, Jual Barang Branded Bekas Berkualitas, dari Sepatu hingga HP
Berikut rangkumannya dari BBC Indonesia dan ABC Indonesia.
1. Klaim China di Laut Natuna Utara
Reuters pada Kamis (2/12/2021) melaporkan, China meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim di Laut China Selatan, yang diklaim kedua negara milik mereka.
Masalah tersebut sudah terjadi sejak awal tahun ini tanpa jalan keluar.
Hal ini disampaikan oleh empat orang yang mengetahui masalah tersebut kepada kantor berita Reuters.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan, mengatakan kepada Reuters, ia menerima pengarahan perihal sepucuk surat dari diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang dengan jelas meminta RI menghentikan pengeboran di rig sementara lepas pantai, karena aktivitas tersebut dilakukan di wilayah China.
"Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan, "Setiap komunikasi diplomatik antarnegara bersifat privat dan isinya tidak dapat dibagikan."

Dia menolak berkomentar lebih lanjut.
Adapun Kedutaan Besar China di Jakarta tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.
Baca juga: Dahsyatnya 2 Doa Pendek Ini, Dibaca oleh Nabi untuk Keluar dari Kesulitan dan Cobaan Hidup
Baca juga: Potret Luna Maya saat Diminta Bantu Orang Asing Jadi Fotografer Penonton Coachella, Totalitas Banget
Baca juga: Ternyata Seperti Ini Wanita Arab Saudi Nyetir Mobil, Bandingkan dengan di Indonesia
Baca juga: Rudal Satan 2 Milik Rusia Siap Digunakan, Amerika Serikat dan Inggris Bisa Hancur
Selain Muhammad Farhan, tiga orang lainnya yang mengaku juga telah diberi pengarahan tentang masalah tersebut membenarkan adanya surat dari China.
Sebanyak dua orang di antaranya mengatakan, China berulang kali menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran.
2. Sikap Indonesia soal kepemilikan Laut Natuna Utara
Indonesia mengatakan ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik kedaulatan Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.
China keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras bahwa jalur air tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan, yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U.
Namun, batasan ini tidak memiliki dasar hukum menurut Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016.
"(Surat itu) sedikit mengancam karena itu adalah upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," kata Farhan kepada Reuters.
"Dalam pendalaman itu terungkaplah China pernah mengirim surat protes. Ada dua surat protes diplomatik yaitu latihan bersama Garuda Shield dan protes keberadaan drilling (pengeboran) itu," ujar Muhammad Farhan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (2/12/2021).
Baca juga: Bacaan Doa ketika Mendengar Petir dan Hujan, Bisa Dibaca Agar Selamat dari Bencana dan Jadi Berkah
Baca juga: Tak Disangka Perempuan di Jeddah, Arab Saudi Lebih Suka Keluar Malam Hari Gara-gara Ini
Baca juga: NII, Organisasi Terlarang yang Berdiri 1949, Berencana Ingin Lengserkan Pemerintahan Jokowi
Baca juga: Pria ini Cari Gara-gara dengan Mike Tyson, Akhirnya Rasakan Bogem Mentah dari Si Leher Beton
Farhan mengaku tidak mengetahui persis tanggal dua surat itu dikirim karena nota diplomatik hanya boleh dibuka dan dilihat oleh pihak yang memiliki kewenangan diplomatik.
Akan tetapi, merujuk pada dua peristiwa yang disinggung China, dia memperkirakan surat protes tersebut dikirim dalam rentang antara Agustus hingga awal September.
Kementerian Luar Negeri RI, sambungnya, membalas nota diplomatik itu.
"Pemerintah mengirim surat balasan yang mengatakan bahwa protes itu tidak bisa kami terima karena kalau drilling (pengeboran) di wilayah landasan kontingen sesuai UNCLOS. Kalau latihan, karena kita tidak punya pakta pertahanan dengan siapapun."
"Karena (pemerintah) butuh dukungan politik, maka DPR perlu menyatakan dukungan atas sikap itu."
3. Konflik Natuna saat ini
Sengketa Laut China Selatan telah terjadi sejak tahun 1947. Dasar yang digunakan China untuk mengeklaim seluruh Kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.
Dalam sengketa Laut China Selatan, Indonesia dianggap menjadi penengah dan tidak pernah mengeklaim wilayah itu.
Di beberapa kali kesempatan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta setiap negara menghargai hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982.
Akan tetapi, data pergerakan kapal menunjukkan, beberapa hari setelah rig semi-submersible Noble Clyde Boudreaux tiba di Blok Tuna di Laut Natuna untuk mengebor dua sumur appraisal pada 30 Juni, sebuah kapal Penjaga Pantai China berada di lokasi.
Tak berapa lama, kapal Penjaga Pantai Indonesia juga ikut berada di sana.
Menanggapi pertanyaan dari Reuters, Kementerian Luar Negeri China mengatakan, kapal Penjaga Pantai China "melakukan kegiatan patroli normal di perairan di bawah yurisdiksi China."
Kemlu China tidak menanggapi pertanyaan tentang komunikasi dengan Indonesia selama pengeboran, dan Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan komentar.
Selama empat bulan setelahnya, kapal China dan Indonesia saling terlihat di sekitar ladang minyak dan gas, sering kali datang dalam jarak 1 mil laut satu sama lain, menurut analisis data identifikasi kapal dan citra satelit oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), proyek yang dijalankan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Amerika Serikat.
Data dan gambar yang ditinjau oleh AMTI dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), wadah pemikir independen yang berbasis di Jakarta, menunjukkan sebuah kapal penelitian China, Haiyang Dizhi 10, tiba di daerah tersebut pada akhir Agustus dan menghabiskan sebagian besar dari tujuh minggu berikutnya dengan bergerak lambat dalam pola yang berdekatan dengan Blok D-Alpha.
Blok D-Alpha adalah blok cadangan minyak dan gas yang juga berada di perairan yang diperebutkan, yang menurut studi Pemerintah Indonesia bernilai 500 miliar dollar AS (Rp 7,25 kuadriliun).
Pada 25 September, kapal induk Amerika USS Ronald Reagan datang dalam jarak 7 mil laut dari rig pengeboran Blok Tuna.
Sebanyak empat kapal perang China juga dikerahkan ke daerah itu, menurut IOJI dan nelayan setempat.
Pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik tadi kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna. Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional. Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.
"Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie dikutip dari BBC Indonesia.
Suara senada juga diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri.
Baginya jika pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan China justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik.
Kemudian, meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang. Ia menilai secara diplomatik Indonesia dan China memiliki kemitraan strategis.
"Dalam perdagangan, China bisa saja mengekspor bauksit dari Afrika, tapi selama ini China pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan di ASEAN. Makanya China berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya."
"Indonesia pun sadar mengakui China merupakan great power yang sedang rising dan Indonesia bisa mendapat keuntungan ekonomi di bidang perdagangan."
Arie dan Aisha lalu menyarankan, Pemerintah Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga dalam konflik Natuna dengan mengerahkan kekuatan keamanan laut.
(*/ BangkaPos.com)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan Tribun-Medan.com