Kisah Pemberontakan PKI Madiun 1948, Ujian Pertama Bangsa Indonesia Setelah Menyatakan Kemerdekaan
Pemberontakan PKI Madiun dikenal sebagai salah satu pemberontakan besar yang pernah terjadi di Indonesia, sekaligus yang pertama sejak kemerdekaannya.
Setelah para tokoh PKI Madiun tersebut ditangkap dan dieksekusi, pemberontakan pun berhasil dipadamkan.
Pemberontakan ini berlangsung kurang lebih selama tiga bulan sebelum diakhiri oleh pemerintah Indonesia.
Peristiwa ini menjadi salah satu peristiwa pemberontakan paling besar dalam sejarah Indonesia.
Dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun diperkirakan korban mencapai 24.000 orang, 8.000 di antaranya dari Madiun, 4.000 di Cepu, dan 12.000 di Ponorogo.
Inilah yang diumumkan para tokoh pemberontakan PKI Madiun hingga dikecam Presiden Soekarno.
Sementara Musso pada hari yang sama pukul 23.30, menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuding Soekarno dan Hatta menjadi budak imperialisme Amerika dan pengedar Romusha.
Namun setelah itu, beberapa pemimpin FDR justru memutuskan untuk berbalik arah, menyatakan kesediaan untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia.
Mereka menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukan kudeta, melainkan upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.
Pada 23 September 1948, Amir juga menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah negara Republik Indonesia, bendera mereka tetap merah putih, dan lagu kebangsaan mereka masih Indonesia Raya.
Sayangnya, upaya tersebut tampak diabaikan pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirimkan Brigade Siliwangi Letkol Sadikin untuk mengerahkan pasukannya dan menguasai Madiun
Untuk menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI pun mundur ke pegunungan.
Di bawah komando Amir, mereka melarikan diri dari Madiun dan menuju ke sebuah desa kecil bernama Kandangan sebelum akhirnya ditangkap.
Itulah Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, salah satu pemberontakan besar dalam sejarah Indonesia.
Awal Mula Terjadinya Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948
Pemberontakan PKI Madiun ini diawali oleh jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.