Tribunners

Apa Kabar Miak?

Masyarakat Bangka menyebut kata 'miak' sebagai kata sapaan atau pun sebutan untuk menyapa atau memanggil kaum perempuan belia dan belum menikah

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Kurniati - Kepala SMAN 1 Riau Silip 

Sambil menunggu berjalannya proses kajian tentang fenomena bahasa, etimologi bahasa, (?) penulis memaknai fenomena bahasa daerah dalam kasus penggunaan kata 'miak' ini. Hemat penulis, telah terjadi perubahan makna kata sekarang dari makna kata yang dulu. Hal ini termasuk dalam perubahan makna kata.
Kita sadari bersama bahwa kata-kata adalah bagian penting dalam berbahasa. Tidak terkecuali bahasa daerah Melayu Bangka. Apalagi bahasa daerah dikenal dengan arti dan ungkapan makna tersendiri. Penggunaan kata tersebut disesuaikan dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, sangat mungkin dapat mengalami perubahan makna.

Terkait perubahan makna kata, dalam bahasa Indonesia sendiri terdapat beberapa istilah. Makna dalam kata tersebut dapat mengalami perubahan melalui berbagai proses, seperti penghalusan, pengkasaran, perluasan, penyempitan, dan sebagainya. Perubahan makna itu dalam ilmu kebahasaan disebut dengan ameliorasi (penghalusan), peyorasi (pengkasaran), asosiasi (kemiripan sifat), dan sinestesia (pertukaran tanggapan). Hal ini tidak menutup juga terjadi perubahan makna kata dalam bahasa daerah Melayu Bangka yaitu kata 'miak' tadi.

Berdasarkan perkembangan waktu, penggunaan kata 'miak' dari dekade tahun 60-an sampai beberapa puluh tahun menjelang pemilihan ajang 'kebisaan' bujang dan miak bahkan sampai saat ini makna katanya telah berubah. Dulu kata 'miak' digunakan untuk menyatakan sikap seorang gadis/perempuan muda yang disebut, bermakna kurang baik, tidak enak dirasakan. Namun, saat ini telah mengalami perubahan makna menjadi lebih baik. Jika demikian adanya, istilah perubahan ini terjadi pada kosakata bahasa daerah Bangka ini.

Kata 'miak' dalam perkembangannya mengalami perubahan makna dari bermakna negatif (genit, nyeleneh, tidak santun, bersikap berlebihan) menjadi memiliki makna 'amelioratif" makna yang baik atau positif. Ameliorasi adalah perubahan makna kata yang menunjukkan pergeseran makna kata dari kata yang dahulu bermakna "jelek" atau negatif menjadi lebih positif. Dan saat kata 'miak' digunakan sebagai salah satu kata promosi ikon pariwisata daerah Bangka kata tersebut bermakna positif.

Contoh kata dalam bahasa Indonesia yang mengalami ameliorasi di antaranya adalah kata 'perempuan'. Penggunaan kata 'perempuan' dahulu dirasakan derajat penggunaan kata itu bermakna lebih rendah daripada kata 'wanita' apalagi 'bini'.  Namun, saat ini penggunaan kata 'perempuan' telah bermakna netral alih-alih lebih Indonesia dan nasionalis. Misalnya, jadilah perempuan perkasa. Atau pada kalimat, "Biarkan dia lewat, dia adalah perempuan Indonesia."

Dengan demikian saat ini, penggunaan kata 'miak' dalam kehidupan kita sehari-hari dimaknai secara netral yaitu sebagai kata sapaan atau sebutan kepada seorang gadis Bangka, dan belum menikah. Setiap perempuan muda dalam batas pola tingkah yang layak, maupun tidak, dapat kita sebut dan sapa sebagai 'miak' Bangka.
Sementara itu, Datuk Sarnubi (ketua Lembaga Adat Melayu Bangka/LAM) mengenai penggunaan kata 'miak' ini menanggapi sebagai hal yang biasa saja. Penggunaan kata disesuaikan dengan budaya yang diyakini/dimufakatkan daerah. Termasuk pada penggunaan sebutan 'Miak' pada ajang Pemilihan Bujang Miak Bangka.

"Bagi kita di sini penyebutan bujang-miak sudah sangat familiar dan tidak ada konotasi negatif ketika memanggil 'miak' kepada seorang remaja putri. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, acara bujang miak pun tiap tahun dilombakan oleh Disparbud. Begitulah kearifan lokal yang berlaku di sebuah lokasi lokal/tempat tertentu.".(Datuk Sarnubi, via WA 23/05/22).

Kehidupan masyarakat di suatu daerah di mana pun berada, memang tak terlepas dari komunikasi yang berbudaya. Bahasa, baik lisan maupun tulis sebagai media dalam komunikasi akan terus berubah sejalan dengan perubahan perkembangan budaya, pandangan manusia penggunanya. Namun, setidaknya daerah kita, daerah dengan kelokalan yang kaya dan besar dalam budaya, selayaknyalah memiliki pedoman atau aturan dalam berbahasa daerah. Selain menjaga kelestarian bahasa daerah kita, juga berguna dalam mengatur tutur kata agar kita tidak dikatakan tidak teratur dalam berkata.

Carl Rogers (Alwisol,2009) menyatakan, "tingkah laku manusia hanya dapat dipahami dari bagaimana dia memandang realita secara subjektif (subjective experience of reality)." Pendekatan ini sangat menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Agar kita menjadi pribadi yang potensial, mulai bermakna baiklah dalam pengalaman hidup. Bukankah begitu?

Mudah-mudahan saat mendatang kabar-kabur tentang bahasa daerah (Bangka) ini mulai terang-benderang. Bahasa daerah kita terpelihara, terjaga, dan lestari dan tak hilang sampai sekian lama generasi. Dan Miak Bangka, kabar kalian tentu baik-baik saja, ya. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved