Pembunuh Hafiza Ditangkap

Dilematis Penegakan Hukum Bagi Pembunuh Hafiza, Masih Anak-anak tapi Keji dan Tidak Manusiawi

Apakah hukumannya nanti akan ringan, berat atau maksimal, itu tergantung pada konstruksi hukum, alat bukti, dan penerapan aturan hukumnya dari

Penulis: Sepri Sumartono | Editor: Iwan Satriawan
istimewa
Praktisi Hukum Babel, David Wijaya. 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Praktisi hukum Bangka Belitung, David Wijaya mengakui kasus pembunuhan Hafiza (8) yang dilakukan oleh AC (17) di Kabupaten Bangka Barat memang menyita perhatian masyarakat luas sekaligus mengutuk perbuatan keji tersebut.

Menurut David Wijaya, selayaknya penegakan hukum dilakukan secara komperhensif dan khusus dengan mengingat baik korban maupun tersangka sama-sama masuk kategori anak.

Kenyataan itu merujuk pada aturan hukum khususnya UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.

Terlebih lagi, dalam proses hukumnya akan merujuk aturan khusus pula yakni, UU nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

David Wijaya mengamati, perkembangannya terkini dengan maraknya anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum telah menimbulkan sikap apriori dan pesimistis dalam masyarakat.

"Jika nantinya terhadap proses hukum yang melibatkan pelakunya adalah anak, maka hukuman akan ringan atau tidak sebanding dengan perbuatannya," kata David Wijaya, Kamis (16/3/2023).

Sehingga, kemudian timbul pertanyaan masyarakat bagaimana nantinya penegakan hukum terhadap perbuatan AC yang dikategorikan sebagai anak namun dari segi perbuatannya menurut etika dan moral serta aturan hukum sudah begitu keji di luar batas kemanusiaan.

Sebenarnya, menurut David Wijaya terkait hal tersebut sudah ada aturannya, yaitu dahulu Mahkamah Konstitusi telah mempunyai sikap dan menjadi norma hukum yang memutuskan batas usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.

 "Dengan pertimbangan hukum bahwa Anak secara psikologi pada umur tersebut sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sehingga tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya," jelasnya.

Ada juga UU tentang sistem peradilan pidana anak yang menyatakan anak dapat dipidana apabila sudah berumur 14-18 tahun dengan maksud pidana tersebut sebagai upaya akhir.

Maka, terhadap AC selaku anak yang menjadi tersangka atau berkonflik dengan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban hukumnya.
 
"Apakah hukumannya nanti akan ringan, berat atau maksimal, itu tergantung pada konstruksi hukum, alat bukti, dan penerapan aturan hukumnya dari penyidik kepolisian," ungkapnya.

Jika penyidik mempunyai bukti kuat adanya perencanaan terlebih dahulu, yang kemudian sebagai akibat dari perencanaan dan perbuatan lainnya tersebut menimbulkan kematian terhadap korban, maka pasal yang diterapkan tentunya ancaman hukuman paling berat atau maksimal.

Dalam hal ini, David Wijaya menilai rumusan ancaman hukuman tersebut akan disandingkan dengan ketentuan UU sistem peradilan pidana anak yang menyatakan pidana penjara dapat dijatuhkan kepada anak paling lama setengah dari maksimal ancaman pidana bagi orang dewasa.
 "Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam pidana mati atau seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah penjara paling lama 10 tahun," jelasnya.

Kemudian, sejauh ini dalam konteks perkembangan teknologi, yang membuat anak zaman sekarang dapat memiliki pengetahuan dengan cepat melalui sarana teknologi berupa gadget atau komputer, jika tidak diawasi dan diedukasi maka pengetahuan tadi mengandung suatu hal positif sekaligus negatif.

Misalnya, anak kini cepat berkomunikasi lewat gadget sehingga kekerasan anak antar geng sekolah terasa massif, atau anak mengetahui trik kejahatan dari menonton gadget dan lain-lain.

Oleh karena itu, perkembangan zaman dan teknologi tersebut selayaknya mendesak untuk diselaraskan penerapannya ke dalam UU Perlindungan Anak dengan cara melakukan revisi mengenai batasan umur anak.

"Yang menurut saya batas usia anak yang tadinya dianggap anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun direvisi jadi berbunyi anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun," ujarnya.

"Dengan sudut pandang, rentang usia 15 tahun sampai sebelum 16 tahun, anak sudah akil balig dan rata-rata sudah berpendidikan SMP yang secara psikologis sudah memiliki kecerdasan sehingga mengetahui hak dan kewajibannya dalam berkehidupan," tambahnya.

Hal tersebut nantinya diharapkan dapat memberikan ketegasan hukum yang selaras dengan perkembangan zaman, yang mendidik dan membuat perilaku anak jadi lebih berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sekaligus memberikan efek jera lebih dini jika terjadi pelanggaran aturan hukum.


(Bangkapos.com/Sepri)

 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved