Tribunners

Menulis Itu Pekerjaan Langka

Bagi saya, menjadi sastrawan atau novelis adalah profesi dan karier paling mulia

Editor: suhendri
Bangka Pos
Ilustrasi 

Oleh: Supadilah Iskandar - Pengamat dan Penikmat Sastra Milenial Indonesia

KITA menaruh hormat pada sosok-sosok langka yang bekerja membaktikan dirinya bagi kemajuan budaya peradaban. Mereka sanggup duduk berjam-jam menghadap layar komputer (laptop), menekuk punggung, memancangkan tatapan mata, mengetik, dan menelusuri padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia yang baru seumur jagung. Pikiran dan perasaannya seakan-akan diperas untuk menangkap gagasan demi gagasan, mencari kalimat yang efektif, paragraf yang pas dan sinkron. Kadang harus merancang plot baru, menentukan klimaks, hingga menunggu ilham datang untuk mencapai ending. Kadang juga terpaksa tulisan digagalkan karena merasa kewalahan untuk menentukan bagaimana akhir dari ceritanya.

Seorang seniman dan sastrawan kadang merenggut seluruh waktu luangnya, menghantui malam-malam gelap, dan ketika menemukan titik akhir yang paling mantap, tahu-tahu dia hanya mendapat jawaban penolakan dan penolakan bertubi-tubi dari pihak penerbit atau media cetak dan daring. Menurut saya, setiap penulis dan pengarang harus mampu menghadapi ujian semacam ini, setidaknya sepuluh atau seratus kali sebelum penerbit menyatakan layak untuk dimuat dan diterbitkan. Meskipun belum tentu ada jaminan bisa mendatangkan kepopuleran, kekayaan materi, atau sekadar kritik dan tanggapan publik.

Bagi saya, menjadi sastrawan atau novelis adalah profesi dan karier paling mulia. Meskipun, selagi muda saya pernah juga tergoda ingin menjadi pemain sinetron, penyanyi, atau bintang film. Ketika membaca cerita, pikiran saya bisa mengembara ke mana-mana, ke pulau terpencil di tengah lautan, ke planet lain yang tak berpenghuni, bahkan merasuki penderitaan dan kesenangan sang tokoh, hingga terpesona oleh luasnya galaksi, bintang-bintang, dan semesta raya.

Menyelesaikan suatu cerita dengan menuliskannya akan membuat saya merasa plong dan terpuaskan. Celakanya, kadang kita kurang waspada apakah ending dari cerita yang kita tuliskan itu akan berdampak positif maupun negatif bagi pembaca. Fakta bahwa cerita itu mengandung unsur tragedi dan sentimentil, seakan-akan tak mengubah pendirian saya untuk menuliskannya. Dan ironisnya, pihak penerbit (media) justru lebih menyukai hal-hal seperti itu, terlepas apakah saya menyuguhkannya dengan memakai inisial ataukah nama yang sebenarnya.

Dengan menampilkannya ke ranah publik, saya membayangkan ratusan dan ribuan orang sedang menikmati karya-karya saya. Seakan-akan saya tenggelam dalam aktivitas mental, hingga memberi saya curahan pengalaman yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Saya membaca ulang melalui media yang sedang terbit pagi itu, membayangkan orang-orang sedang menikmati karya saya, seakan-akan di dalam ruang dan waktu yang sama, merasakan indahnya pikiran yang sama. Bangun dari tidur, memeriksa ponsel dan melihat karya kita ditampilkan media daring, membuat hati ini berbunga-bunga, dan kita akan memulai hari baru dengan penuh optimistis.

Bahkan, dengan menyelesaikannya saja, dapat memberi saya kepuasan tersendiri, suatu pencerahan batin, kebenaran absolut, gagasan brilian, suatu dunia mikro yang mewakili jagat makro, yang takkan mungkin terwujud dan dibaca ribuan orang, jika saya tak memiliki keterampilan tersendiri untuk menuangkannya ke dalam teks. Tak peduli apakah tulisan itu kemudian ditarik kembali karena dinilai tendensius atau bombastis, tetapi saya yakin banyak orang sudah meng-copy dan men-download-nya.

Dengan menulis cerita dan menyuguhkannya ke pembaca, membuat saya tengah memasuki dunia nyata. Ada tuntutan dan panggilan tersendiri, yang membuat saya merasa gatal dan terus-menerus terdorong agar menuliskan setiap gagasan yang muncul di kepala, serta menemukan makna melalui narasi.

Ada beberapa teman mengeluhkan puluhan dan ratusan kali tulisannya telah ditolak terus-menerus oleh media yang berhonor, hingga ia menyatakan bosan dan kapok untuk mengirim lagi. Baginya, setiap media memiliki ukuran format, standar dan gaya bahasanya sendiri sehingga yang satu punya patokan untuk menolak yang lainnya. Bahasa Indonesia seakan-akan dianggap "baku" di wilayah habitatnya masing-masing.

Perlu saya tegaskan di sini, bahwa apa yang dimaksud dengan menulis dan berkarya semestinya dianggap sebagai "pekerjaan" yang menyenangkan, dan bukan semata-mata tugas yang ingin dibayar dan dihargai dengan royalti. Bekerja dengan asyik dan menarik tentu akan beda kualitasnya dengan tugas yang membutuhkan honor maupun royalti tertentu. Ada banyak ide dan gagasan besar di republik ini yang perlu kita goreskan lewat pena, minimal untuk konsumsi pribadi. Kita harus terampil mengolah potensi dan kemampuan agar membuat diri kita bermaslahat bagi bangsa dan negeri ini, sebab bila kita menyibukkan diri untuk fokus pada tugas yang dibayar, tentu sangat terbatas dan sedikit sekali jumlahnya.

Apakah mungkin kita bisa produktif berkarya dan menulis, selain hanya urusan honor dan royalti yang ditentukan oleh penerbit? Mestikah jumlah royalti mendikte cara kita memilih untuk menggunakan ruang dan waktu secara produktif? Bagaimana jika pekerjaan itu sepenuhnya merupakan kontribusi sukarela untuk mendidik, mencerdaskan, dan mendewasakan masyarakat?

Siapkah Anda sebagai penulis dan sastrawan, untuk tetap konsisten menulis dan melakukan sesuatu yang bermakna bagi peradaban, jika Anda tidak dibayar? Atau, siapkah Anda menulis di harian luring maupun daring, sementara rolyatinya hanya 300 ribu atau 100 ribu perak, bahkan tak ada royalti sama sekali?

Secara pribadi, sebagai penulis saya hanya dapat mencoba dan berikhtiar agar membuat wajah pembaca tetap berdiri tegak, punya harapan dan rasa percaya diri, tetap optimistis dalam mengarungi ujian hidup. Sebab, ujian hidup itu bukan hanya soal kesedihan, penderitaan dan tragedi yang harus dihadapi dengan kesabaran, melainkan juga kelapangan dan kenikmatan, harus juga dihadapi dengan sikap legawa dan rendah-hati, bukan dengan watak angkuh, jemawa dan sarat kesombongan.

Terkait dengan ini, saya akan mencoba sekuat tenaga untuk menempatkan diri dalam jajaran penulis yang mengajak pembaca agar terus memiliki harapan akan kebaikan. Sebab, bagaimanapun hidup ini akan terasa lapang dan nikmat jika tetap konsisten memupuk harapan, hingga memudahkan kita untuk terbebas dari segala penderitaan dan kemalangan.

Pada prinsipnya, kenikmatan dalam dunia tulis-menulis, kadang membawa jiwa saya keluar dari jasad saya sendiri. Melanglang buana, menembus batas-batas, hingga menciptakan sesuatu yang imanen dan transenden. Sejak dua tahun lebih masa pandemi Covid-19, kadang saya merasa kepala ini terbakar oleh emosi. Namun, dengan menulis serasa ada pelepasan yang bijak ketimbang kita meluapkan amarah dan kekerasan yang tak beralasan.

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved