Tribunners

Greenwich Mean Time dan Mecca Mean Time: Selisih Waktu Indonesia dan Saudi Arabia

Seharusnya di mana pun kita berada di muka Bumi ini tidak boleh mendahului waktu pelaksanaan salat di Masjidil Haram

Editor: suhendri
(BANGKA POS / DEDY Q)
Prof. Saparudin, Ph.D. - Guru Besar Bidang Informatika, Telkom University 

Oleh:  Prof. Saparudin, Ph.D. - Guru Besar Bidang Informatika, Telkom University

PENETAPAN tanggal-tanggal penting pelaksanaan ibadah umat Islam dalam kalender Hijriah dan kesesuaiannya dengan kalender Masehi sering kali berbeda, misalnya hari raya Iduladha pada tanggal 10 Zulhijah dalam sistem penanggalan Hijriah dan perbedaan penetapan tanggal dalam sistem penanggalan Masehi masih terus menjadi perdebatan, khususnya di Indonesia, antara Pemerintah Republik Indonesia, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama, serta beberapa kelompok/aliran dalam Islam lainnya sering kali menetapkan tanggal yang berbeda sehingga hal ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Apalagi jika Pemerintah Saudi Arabia sudah menetapkan tanggal 10 Zulhijah tahun Hijriah jatuh pada tanggal tertentu dalam penanggalan tahun Masehi. Dikarenakan selisih waktu Indonesia (Jakarta) dan Arab Saudi (Makkah) hanya 4 jam, maka secara logika penetapan hari dan tanggal di Arab Saudi harusnya sama dengan di Indonesia. Dengan demikian, ada sebagian masyarakat Indonesia mengikuti penetapan tanggal penting ibadah umat Islam merujuk pada penetapan tanggal oleh Pemerintah Arab Saudi.

Secara umum, terdapat dua metode yang digunakan dalam menetapkan tanggal-tanggal penting dalam Islam yang dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah, di antaranya penetapan awal puasa Ramadan, Idulfitri 1 Syawal, dan Iduladha 10 Zulhijah. Metode pertama dengan rukyatul hilal yakni melihat hilal dan kedua hisab yakni perhitungan matematis dan astronomis.

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab, tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengeklaim memiliki dasar yang kuat.

Dari perspektif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peralatan teleskop untuk mengamati hilal sudah sangat canggih sehingga dapat menampilkan berbagai ukuran seperti ketinggian (altitude) bulan dan sudut elongasi atau jarak lengkung Bulan-Matahari secara akurat dan presisi. Di samping itu juga, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal perhitungan matematika dan astronomi untuk hisab juga sudah sangat detail dan juga akurat dengan melibatkan banyak parameter dan variabel. Lalu, mengapa penetapan tanggal dengan kedua metode tersebut masih sering kali berbeda?

Metode Imkanur Rukyat yang digunakan Pemerintah Republik Indonesia berupaya mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat hilal dan metode hisab. Terdapat 3 kemungkinan kondisi terlihatnya hilal:

1. Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.

2. Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengonfirmasi terlihatnya hilal. Dengan demikian, awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.

3. Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab, hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.

Pertanyaan yang muncul "Mengapa ketinggian hilal harus di atas 2 derajat sehingga awal bulan sudah masuk malam itu?" Bukankah teknologi teleskop yang canggih telah mampu melihat hilal secara akurat dan presisi, walaupun kemunculan hilal di antara 0 sampai 2 derajat. Apakah karena faktor geografis Indonesia yang luas sehingga pemerintah mengambil kebijakan 2 derajat agar dari Sabang sampai Merauke melaksanakan penetapan, misalnya Iduladha, pada tanggal yang sama.

Kemudian ditambah lagi, pada tahun 2022, Pemerintah RI melalui Kementerian Agama mengubah batas ketinggian hilal dari 2 derajat menjadi 3 derajat, dan elongasi 6,4 derajat, berdasarkan kesepakatan Menteri Agama di Malaysia, Brunei, dan Singapura, Indonesia yang disebut dengan MABIMS. Perubahan ini tentunya makin membuka lebih lebar perbedaan penetapan tanggal berdasarkan hilal dan hisab.

Karena adanya perbedaan penetapan tanggal tersebut yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat, ada sebagian masyarakat berpikir dan berkesimpulan, jika demikian halnya, gunakan saja rujukan penetapan tanggal yang dilakukan oleh Pemerintah Saudi Arabia. Tentu dengan dasar pemikiran dan pertimbangan bahwa selisih waktu Jakarta dan Makkah hanya 4 jam dan pertimbangan lain bahwa Makkah merupakan pusat Islam.

Berdasarkan logika seharusnya waktu di Jakarta (GMT +7) lebih cepat dari waktu di Makkah (GMT +3). Dengan demikian, seharusnya antara Indonesia dan Saudi Arabia tidak signifikan perbedaan hari dalam penetapan tanggal-tanggal penting tersebut ataupun jika terjadi perbedaan harusnya Indonesia lebih dahulu penetapan tanggalnya dibandingkan di Saudi Arabia.

Di sinilah terjadi perbedaan pemahaman di tengah masyarakat, untuk itu diperlukan penjelasan dari perspektif penggunaan standar waktu dunia. Jika yang digunakan adalah standar waktu dunia GMT (Greenwich Mean Time) maka perbedaan waktu antara Jakarta (GMT +7) lebih cepat 4 jam dibandingkan Makkah (GMT +3). Tetapi, jika yang digunakan standar waktu dunia MMT (Mecca Mean Time) maka selisih waktu adalah 20 jam antara Jakarta (MMT -20) lebih lambat dari Makkah (MMT 0).

Jadi, seharusnya jika konsisten dengan metode penetapan berdasarkan Islam, maka standar waktu dunia yang digunakan untuk umat Islam adalah MMT sehingga jika MMT yang digunakan, selisih waktu Jakarta lebih lambat 20 jam dari Makkah. Untuk itu, wajar secara logika jika penetapan tanggal penting di Saudi Arabia berbeda dengan di Indonesia. Contohnya, jika Saudi Arabia menetapkan Iduladha tanggal 10 Zulhijah 1444 H bertepatan dengan tanggal 29 Juni 2023, maka wajar secara logika jika Indonesia menetapkannya pada keesokan harinya yakni tanggal 30 Juni 2023.

Ada juga hal penting lainnya yang tampaknya bertentangan dengan wahyu Allah SWT, bahwa dengan menggunakan standar GMT, kota Makkah berada di zona waktu GMT+3, sedangkan Jakarta ada di GMT+7, dalam artian ini kita mendahului melaksanakan salat empat jam dari Masjidil Haram. Seharusnya di mana pun kita berada di muka Bumi ini tidak boleh mendahului waktu pelaksanaan salat di Masjidil Haram. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved