Bangka Pos Hari Ini

Buaya Lempuyan Mengganas, Nelayan Waswas Turun ke Sungai

Sungai Lempuyang di Dusun Tanah Merah, Desa Baskara Bakti, Kabupaten Bangka Tengah merupakan lahan pencaharian nelayan setempat.

|
Editor: M Ismunadi
Bangkapos.com
Bangka Pos Hari Ini, Selasa (3/10/2023). 

Namun kata Bachtiar, Sungai Lempuyang juga banyak berkeliaran buaya muara yang memeng dikenal ganas itu.

“Tapi kalau kejadian buaya menyerang manusia, setahu saya ini merupakan yang pertama di Sungai Lempuyang,” bebernya kepada Bangka Pos, Senin (2/10/2023).

Berkaca dari insiden ini, Bachtiar berharap warga desa agar lebih waspada saat beraktivitas di wilayah Sungai Lempuyang.

Kendati demikian, Bachtiar mengimbau masyarakat jangan terlalu resah.

“Saya juga mengimbau warga agar lebih waspada saat beraktivitas di Sungai Lempuyang,” tandasnya.

Dia juga mengajak masyarakat untuk sama-sama menjaga alam, agar makanan alami dari predator tersebut tetap terjaga. 

6 Korban Meninggal Dunia

Sepanjang tahun 2023, telah terjadi sebanyak 8 konflik negatif antara buaya dan manusia di Pulau Bangka.

Konflik tersebut menyebabkan 6 orang meninggal dunia.

Jumlah tersebut merupakan data dari Resor Konservasi Eksitu Wilayah XVII Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan.

Kepala Resor Konservasi Eksitu Wilayah XVII BKSDA Sumatera Selatan, Ahmad Fadhli menyebutkan, kasus terakhir yakni kejadian yang menimpa anak asal Desa Baskara Bakti ketika menjadi korban terkaman buaya, saat memancing bersama ayahnya di Sungai Lempuyang, Bangka Tengah.

“Sekarang pemakaian bahasanya Interaksi Negatif (buaya vs manusia). Di Pulau Bangka sendiri, Januari dan Juni ada 2 kasus dalam 1 bulan, sedangkan Maret, Mei, Juli, September masing-masing 1 kasus,” ujar Ahmad Fadhli, Senin (2/10/2023).

Ia menambahkan, selama periode Januari-September 2023 konflik negatif antara buaya dan manusia tersebut menyebabkan 6 korban meninggal dunia.

“Itu jelas meningkat, karena tahun 2022 hanya ada tiga korban jiwa dengan jumlah kasus 10 kali konflik negatif,” jelasnya.

Ahmad juga menjelaskan, tingginya kasus itu tidak terlepas dari kondisi geografis Pulau Bangka yang mejadi habitat buaya jenis muara.

“Habitat utama buaya muara ini memang di sekitaran sungai-sungai hingga tepian laut atau muara. Itu kan banyak di sini, jadi kami meminta masyarakat untuk waspada,” imbuhnya.

Untuk itu, BKSDA terus berkomunikasi dengan semua stakeholder untuk melakukan pencegahan sehingga konflik negatif itu bisa dihindari.

Ahmad mengungkapkan, pencegahan itu mulai dari pemasangan spanduk imbauan di dekat titik lokasi yang rawan, sehingga agar
masyarakat tidak beraktivitas di kawasan yang menjadi habitat buaya.

“Kemudian kita juga terus memberikan sosialisasi dan mengingatkan masyarakat tidak mencari ikan dengan metode setrum atau racun. Terus diimbau tidak membuang isi perut dan sisa ikan di kawasan habitat buaya, karena itu merupakan pakan utama buaya,” pungkasnya. 

Habitat Rusak Akibat Tambang Liar

Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung berpendapat, maraknya konflik negatif antar buaya dan manusia di
Pulau Bangka saat ini, tidak terlepas dari semakin rusaknya habitat asli satwa liar tersebut.

Manager Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung, Endy R Yusuf menjelaskan, rusaknya habitat buaya salah satu faktornya yakni semakin maraknya penambangan liar yang mencemari aliran sungai.

“Bisa dibilang kan baru akhir-akhir ini sering terjadi kasus (buaya dan manusia) itu, padahal dari dulu buayanya ada, orang yang mancing juga banyak. Kalau ditanya penyebabnya, karena rusaknya aliran sungai yang jadi habitat buaya,” ujar Endy R Yusuf saat dihubungi Bangka Pos, Senin (2/10/2023).

Menurut Endy, rusaknya habitat buaya muara itu berakibat pada terputusnya rantai makanan, yang pada akhirnya membuat reptil tersebut lebih agresif ketika berjumpa dengan manusia.

“Satwa liar itu, sebuas apapun, seharusnya ketika bertemu manusia pasti menghindar. Karena mereka tahu, manusia bukan
makanannya, lalu kenapa mereka menyerang, karena makanan itu hilang, mau tidak mau mereka menerkam manusia yang  ditemui,” tegasnya.

Untuk itu, ia berharap agar masyarakat ikut menjaga ekosistem satwa liar, agar tidak terjadi konflik dengan manusia yang bisa menimbulkan korban.

“Kami merasa, karena sering terjadinya konflik ini, membuat warga justru menangkap buaya-buaya itu. Tapi tidak pernah memikirkan habitatnya. Padahal, penyebab utamanya karena rumah mereka (buaya) rusak,” beber Endy.

Lebih lanjut, ia mengingatkan agar masyarakat lebih waspada ketika beraktivitas di daerah aliran sungai, terutama ketika menjelang
malam hari pada masa musim kawin buaya seperti saat ini.

“Ini termasuk musim kawin, jadi buaya akan lebih agresif. Hindari juga kawasan habitat buaya ketika menjelang malam, karena mereka nokturnal, jadi mereka lebih agresif saat malam,” pungkasnya. (w4/w1/u2)

Sumber: bangkapos
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved