Berita Pangkalpinang
MK Disebut Mahkamah Keluarga, Begini Reaksi Anwar Usman hingga BRIN Sebut Ancaman Serius Demokrasi
MK Disebut Mahkamah Keluarga, Begini Reaksi Anwar Usman hingga BRIN Sebut Ancaman Serius Demokrasi
Penulis: Evan Saputra CC | Editor: Teddy Malaka
BANGKAPOS.COM, BANGKA - MK Disebut Mahkamah Keluarga, Begini Reaksi Anwar Usman hingga BRIN Sebut Ancaman Serius Demokrasi.
Kunjungan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ke Universitas Bangka Belitung (UBB) menjadi sorotan publik khususnya para mahasiswa.
Hal tersebut karena pengesahan batas usia Capres dan Cawapres.
Bahkan setelah pengesahan tersebut, Mahkamah Agung atau biasa disingkat MK disebut sebagai Mahkamah Keluarga.
Lantas bagaimana tanggapan Anwar Usman?
Anwar Usman buka suara soal plesetan terkait lembaga yang diketuainya disebut sebagai Mahkamah Keluarga di berbagai media.
Anwar Usman tidak habis pikir dengan plesetan orang-orang yang melabeli MK dengan julukan mahkamah keluarga.
"Loh, ini Mahkamah Keluarga, Keluarga Bangsa Indonesia, itu, jadi begini, yang fitnah atau segala macam, dosa mereka jadi pahala buat saya, buat kami, hakim-hakim mahkamah konstitusi," kata Anwar Usman, Jumat (20/10/2023).
Anwar Usman mengatasi, jika ada pihak yang menghina atau memfitnah dirinya atau MK tidak perlu dilawan karena dosanya akan menjadi pahala untuk dirinya dan hakim-hakim konstitusi.
Menurutnya, putusan tentang apa pun, siapa pun hakimnya dan di pengadilan mana pun akan selalu menuai pro dan kontra. Sejak jaman dulu pasti selalu ada pro dan kontra tentang suatu keputusan, sebagus apa pun.
"Yang jelas hakim menjatuhkan putusan itu atas nama Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.
"Jadi bertangungjawabnya kepada Allah, saya juga bingung kalau ada plesetan seperti tadi," demikian kata Anwar Usman
Ancaman Serius
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami.
"Kami khawatir secara jangka panjang akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita dengan kemungkinan potensi terjadinya politisasi hukum," ujar Athiqah.
Athiqah menuturkan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi juga tidak bulat karena dari sembilan hakim ada tiga hakim setuju, dua hakim concurring opinion, dan empat hakim disenting opinion.
Dia juga menganggap putusan Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dan sarat muatan politis, serta memberi jalan pada kepentingan perorangan dan kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.
Sementara Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan kajian terkait keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut penting bagi masyarakat, khususnya para peneliti dan akademisi hukum dan politik ketatanegaraan.
Menurut dia, keputusan itu merupakan salah satu tragedi penting dalam proses berjalannya demokrasi di Indonesia.
Perludem sebagai salah satu pihak terkait dalam perkara pengujian syarat usia calon presiden dalam undang-undang pemilu tersebut.
Perludem menolak penurunan syarat usia calon presiden untuk diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Hal ini melihat bahwa sebenarnya rentang usia antara 35 - 40 tahun itu masih di area rentang yang sama.
"Usia bukan diskriminasi dalam syarat usia calon presiden yang telah dibuat undang-undang karena tidak ada unsur sara dalam syarat itu, juga karena merupakan kebijakan hukum dari pembuat undang-undang," kata Fadli dikutip dari Antara.
Dia menerangkan fakta syarat usia merupakan kebijakan pembuat undang-undang yang telah ada di beberapa ketentuan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah maupun pemilihan jabatan-jabatan publik yang telah ada.
Misalnya, syarat kepala daerah jabatan gubernur 30 tahun, bupati/walikota 25 tahun dan DPR 21 tahun.
Fadli melihat beberapa catatan dalam perkara tersebut, antara lain kedudukan hukum pemohon yang tidak memenuhi legal standing dalam upaya permohonan. Hal lainnya adalah adanya konflik kepentingan antara Ketua Mahkamah Konstitusi yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan salah satu kepala daerah.
"Semestinya secara etik Ketua Mahkamah Konstitusi tidak ikut dalam persidangan perkara. Namun, dia justru menjadi hakim yang memutus perkara dengan mengabulkan melalui penambahan frasa, berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” ucapnya.
Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Amelya Gustina mengungkap bahwa sejarah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu anak kandung hasil reformasi.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi atau The Guardian of Constitution dan The Final Interpreter of Constitution karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satu institusi yang berwenang dalam menafsirkan konstitusi dan setiap keputusan adalah final dan mengikat.
Pasal 169 huruf q yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang diajukan judicial review dan menjadi kehebohan di masyarakat adalah adanya inkonsistensi keputusan Mahkamah Konstitusi.
Keputusan hakim-hakim sebelumnya yang menolak permohonan dengan menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka.
"Hal itu merupakan kewenangan dari kebijakan pembuat undang-undang yakni DPR dan Presiden," pungkas Amelya
(Bangkapos.com/Sepri Sumartono/Evan Saputra)
| Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Babel Gelar Bimbingan Teknis Literasi Informasi |
|
|---|
| Pilkada Ulang Telah Selasai, Kapolresta Ajak Masyarakat Bersama-Sama Membangun Pangkalpinang |
|
|---|
| Pemprov Bangka Belitung Ajak HIPMI Bersinergi Kembangkan Sektor Unggulan |
|
|---|
| Permudah Masyarakat Perpanjang SIM, Polisi Hadirkan Pelayanan Keliling |
|
|---|
| Jemput Bola Melalui Samsat Setempoh, Dody Kusdian Sebut Program Mempermudah Masyarakat |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.