Breaking News

Tribunners

Mengapa Perempuan Sulit Lepas dari Bayang-bayang Kekerasan?

KEKERASAN berbasis gender, terutama kekerasan terhadap perempuan keluarga, masif mencuat akhir-akhir ini, baik di tingkat lokal maupun nasional

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Luna Febriani, M.A. - Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Luna Febriani, M.A. - Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung

KEKERASAN berbasis gender, terutama kekerasan terhadap perempuan keluarga, masif mencuat akhir-akhir ini, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang banyak terjadi didominasi oleh kekerasan dalam hubungan privat seperti kekerasan dalam rumah tangga dan dalam ranah pacaran hingga kekerasan dalam keluarga.

Di tingkat nasional, kita menyaksikan kasus dr Qory yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya hingga melarikan diri dari rumah. Selain itu, ada Rinoa Aurora yang mengalami kekerasan dalam hubungan privat dari kekasihnya Leon Dozan hingga yang baru-baru terjadi seorang perempuan dibunuh dan disembunyikan dalam ruko kosong oleh kekasihnya.

Untuk di tingkat lokal Bangka Belitung, masyarakat kita dihebohkan dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya hingga mengakibatkan korban harus kehilangan penglihatan dan mengalami kerusakan atau cacat fisik. Ada juga yang baru-baru ini terjadi di mana seorang istri dipukul menggunakan sapu hingga diancam dengan sebilah parang.

Sejalan dengan kondisi ini, Komnas Perempuan mencatat di tahun 2022 laporan yang masuk ke Komnas Perempuan bahwa kasus kekerasan di ranah privat atau personal mencapai 61 persen atau sebanyak 2.098 kasus dari total keseluruhan kasus. Disusul kasus kekerasan dalam ranah publik dan kekerasan ranah negara.

Selain itu, data lain menunjukkan bahwa kasus kekerasan yang terjadi lebih banyak didominasi pada kekerasan dalam bentuk fisik sebanyak 6.001 kasus dan kemudian diikuti dengan kekerasan dalam bentuk seksual sebanyak 4102 kasus. Ironisnya, kasus-kasus kekerasan yang acapkali terjadi dalam masyarakat baru banyak diungkap ketika sudah mengancam jiwa atau bahkan ketika sudah menimbulkan korban hingga meninggal dunia.

Mengapa perempuan sulit lepas dari kekerasan? Menjadi pertanyaan besar mengapa masyarakat kita sulit membincangkan atau menceritakan hingga melaporkan kekerasan yang terjadi ke pihak yang berwenang. Selain sulit dalam mengungkapkan kekerasan yang terjadi, acapkali korban juga ‘terjebak’ atau susah melepaskan diri dalam ikatan yang penuh dengan kekerasan. Hal ini kemudian menjadikan kekerasan itu berkelanjutan. Untuk menjawab mengapa hal ini terjadi, ada baiknya mengurai akar dari kekerasan yang sering terjadi kepada perempuan.

Kekerasan berbasis gender terutama yang terjadi pada perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosio-kultural yang dibentuk atas dasar kekuatan sistem patriarki yang ada dalam masyarakat. Konstruksi sosio-kultural yang dibangun sistem patriarki mengonstruksi bahwa ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari struktur biologisnya.

Konstruksi tersebut menyatakan bahwa kekuatan struktur biologis melekat pada kaum laki-laki yang kemudian menempatkan kaum laki-laki sebagai kelompok yang lebih unggul dan dominan dalam masyarakat, sebaliknya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan akibat konstruksi ini. Nilai-nilai ini terus ditanamkan dan dilestarikan dalam segala aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat. Konsekuensinya, nilai ini membentuk kuasa laki-laki untuk atas kontrol diri perempuan baik hal privat, simbol, hingga persoalan materi yang kemudian menjadikan perempuan dapat tergantung dengan laki-laki dalam segala lini kehidupan.

Sindrom tawanan

Pengaturan dan kontrol atas diri perempuan yang telah ditanamkan sedari dini dan kerap dilestarikan dengan nilai-nilai yang dogmatif, membentuk sindrom menyeramkan bagi perempuan yang dikenal dengan sindrom tawanan (hostage syndrome). Sindrom ini menggambarkan keterjeratan perempuan dalam menentukan kehidupannya sendiri karena ketergantungan secara psikologis maupun fisik hingga ekonomi akibat nilai dan norma yang dibentuk dalam masyarakat.

Terkait kekerasan yang sering terjadi pada perempuan, sindrom tawanan menjadi salah satu hal yang menjadikan perempuan terjebak atau susah lepas dari hubungan meskipun hubungan tersebut dipenuhi dengan kekerasan. Perempuan sulit meninggalkan pasangannya meskipun mereka menjadi korban kekerasan karena nilai sosio-kultural yang telah terbangun dalam masyarakat menjadikan perempuan tergantung pada laki-laki dalam segala kondisi. Dalam kasus ini, kekerasan yang terjadi pada perempuan justru kerap dianggap pelajaran atau pendidikan kepada perempuan dari seorang suami kepada istri, atau bisa juga dianggap sebuah kepatuhan dan ketundukan sebagai konsekuensi bagi seorang istri terhadap suaminya.

Sindrom paradoks

Selaim sindrom tawanan, yang menjadikan perempuan sulit lepas dari hubungan yang penuh dengan bayang-bayang kekerasan adalah karena adanya sindrom paradoks yang timbul akibat ikatan yang kuat antara korban dengan pelaku. Sindrom ini dikenal dengan stockholm syndrome, biasanya dalam kondisi ini yang terjadi adalah korban menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab dari kekerasan hingga menyangkal kekerasan yang terjadi.

Sindrome paradoks kerap melibatkan romantisme tentang kebaikan yang pernah dilakukan atau dimunculkan pelaku kepada korbannya sehingga dengan meromantisir kebaikan-kebaikan dan cinta-cinta yang pernah ada, korban memiliki harapan yang besar bahwa pelaku akan berubah dan tidak melakukan tindakan kekerasan lagi. Padahal, ini tidak menjamin pelaku tidak melakukan kekerasan berulang, melainkan justru dalam hubungan seperti tidak memungkinkan terbentuk ikatan yang tidak sehat antara korban dan pelaku yang menjadikan kekerasan dapat terjadi berulang. 

Sumber: bangkapos
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved