Tribunners

Konflik Buaya vs Manusia dalam Perspektif Pelayanan Publik

Konflik berkepanjangan antara buaya dan manusia bukan hanya urusan konservasi semata, tetapi juga wajah dari pelayanan publik yang berkualitas

Editor: suhendri
Dokumentasi Kgs Chris Fither
Kgs Chris Fither - Asisten Ombudsman Republik Indonesia 

Oleh: Kgs Chris Fither - Asisten Ombudsman Republik Indonesia

DI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, konflik antara manusia dan buaya muara (crocodylus porosus) menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menunjukkan bahwa sejak 2019 hingga Maret 2024 tercatat 127 kasus konflik. 

Jika ditelusuri lebih jauh, tahun 2019 mencatat 28 kasus, periode 2020–2021 ada 20 kasus, dan pada 2022 terlapor 10 kasus. Peta hotspot terbaru bahkan menunjukkan konsentrasi konflik tertinggi di Kabupaten Bangka (36 kasus), Belitung Timur (23 kasus), serta Kota Pangkalpinang (20 kasus).

Secara lebih luas, database internasional mencatat ribuan insiden di Indonesia pada dekade terakhir. Basis data CrocAttack/CrocBITE menunjukkan ratusan hingga ribuan insiden di seluruh Nusantara dalam kurun 2014–2024, dengan proporsi fatalitas yang tetap mengkhawatirkan pada beberapa wilayah. 
 
Laporan media internasional juga melaporkan 179 serangan pada 2024 dengan 92 fatal. Angka ini tidak hanya menggambarkan ancaman nyata bagi keselamatan manusia, tetapi juga mengindikasikan tekanan serius terhadap keberlangsungan ekosistem.

Analisis kasus dan penelitian lapangan menempatkan faktor antropogenik/aktivitas manusia sebagai pemicu utama konflik. Hilangnya habitat alami melalui alih fungsi lahan pesisir (tambak, perkebunan, kanalisasi), ekspansi tambang (khususnya penambangan bijih timah ilegal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), dan perubahan jalur sungai menciptakan overlap antara ruang hidup buaya dan ruang aktivitas manusia. 

Bahkan lebih lanjut berdasarkan penelitian Fifin Fitriana, Randi Syafutra, Zikri Alamsyah, dan Ririn Apriyani dalam Jurnal Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (CONSERVA) Vol. 2 (2023) menyebutkan sekitar 60 persen konflik antara buaya vs manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terjadi di area pertambangan. Fakta ini memperkuat bukti bahwa aktivitas manusia menjadi faktor dominan yang memperparah interaksi berbahaya tersebut.

Secara teoretis, penanganan human–wildlife conflict idealnya memadukan teori partisipasi publik (melibatkan warga dalam pengambilan keputusan) dengan model pentahelix (pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, media). Partisipasi meningkatkan legitimasi intervensi, sedangkan pentahelix memastikan solusi holistik. Dan menariknya pola serupa sudah diterapkan di Australia dan terbukti efektif. 

Dalam upaya konservasi buaya dan pelayanan publik, Australia menyajikan pola yang menarik. Pemerintahnya tidak hanya menegakkan hukum ketat terhadap perburuan buaya, tetapi juga menyediakan pelayanan publik berbasis konservasi: patroli habitat, layanan darurat konflik satwa, hingga ekowisata berbasis buaya. 

Di Northern Territory dan Queensland, Australia menerapkan paket kebijakan: kampanye edukasi publik (“Be Crocwise”), zonasi aktivitas manusia, penanganan buaya bermasalah (targeted removal), serta penguatan kapasitas darurat dan keterlibatan komunitas adat. Pendekatan ini menempatkan masyarakat bukan sebagai korban, melainkan mitra pelestarian. 

Upaya tersebut pun sangat berdampak. Menurut studi oleh Charles Darwin University, meskipun populasi buaya muara dan jumlah manusia yang tinggal di area terpencil di Northern Territory terus meningkat, setelah tahun 2008 frekuensi serangan buaya pada manusia menjadi “stabil” dan terjadi penurunan sekitar 10 persen dalam frekuensi insiden dibanding dekade sebelumnya.

Dorongan layanan

Dari perspektif pelayanan publik, penanganan konflik buaya bukan sekadar urusan
konservasi, tetapi bagian dari kewajiban negara menjamin keselamatan warganya. Untuk itu, pendekatan yang diperlukan bukan hanya top–down, melainkan kolaboratif. Bahkan dari sudut pelayanan publik, negara berkewajiban menghadirkan perlindungan yang seimbang dengan melindungi masyarakat dari ancaman langsung dan melindungi spesies serta ekosistem yang menjadi warisan generasi. 

Di Indonesia, penanganan konflik buaya kerap bersifat reaktif, baru bergerak ketika insiden sudah terjadi. Pendekatan reaktif tersebut harus diubah menjadi lebih preventif, edukatif, dan partisipatif. Hal itu menjadi penting karena negara memiliki kewajiban menjamin rasa aman warga sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Begitu juga di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, seluruh instansi terkait harus mulai melakukan langkah konkret untuk menindaklanjuti konflik antara buaya dan manusia. 

Berdasarkan referensi pola pelayanan publik berbasis konservasi yang diterapkan di Australia, idealnya pola yang sama pun bisa dan harus diterapkan di Indonesia. Penanganan konflik buaya harus ditempatkan sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menjamin rasa aman, keselamatan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

Sekurang-kurangnya terdapat 4 langkah strategis yang bisa dilakukan. Pertama, penyediaan layanan informasi dan edukasi publik. Pemerintah wajib menyediakan layanan informasi yang mudah diakses tentang zona rawan buaya, pola migrasi, dan cara menghindari interaksi berbahaya. Kampanye publik melalui sekolah, media lokal, hingga papan peringatan di tepi sungai adalah bentuk pelayanan dasar yang harus berkesinambungan. Edukasi ini juga perlu menekankan nilai konservasi agar masyarakat memahami bahwa buaya bukan semata ancaman, tetapi juga aset ekologis.

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved