Tribunners
Juara yang Tak Dirindukan
Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung membatalkan O2SN. Keputusan ini membuat kecewa kalangan wali murid atlet O2SN.
Oleh Yan Megawandi
Widyaiswara di Pemprov Babel dan Dosen
Delapan pelari terbaik dunia U-20 melakukan persiapan di garis start. Di antara delapan orang finalis itu ada duo sprinter unggulan Amerika Serikat, Anthony Schawrtz dan Eric Harrison berada di lintasan 4 dan 6.
Mereka dijagokan menjadi pemenang lomba lari 100 meter putra yunior dunia. Di lintasan 8 paling kanan Lalu Muhammad Zohri, satu-satunya finalis dari Asia.
Ia terlihat mengusapkan kedua telapak tangannya ke muka dan meneruskannya usapannya sampai ke kaki.
Zohri agak tertinggal ketika lari di awal. Tetapi dengan kecepatan penuh kemudian ia berhasil mengungguli para pesaingnya.
Muhammad Zohri berhasil menjadi juara dunia lari paling bergengsi 100 meter putra U-20. Catatan waktunya 10,18 detik.
Peristiwa itu berlangsung 11 Juli 2018 di Tempere, Finlandia. Tetapi menyaksikannya di youtube tetap menggetarkan perasaan.
Dunia olahraga lari sempat gempar. Indonesia geger. Zohri muncul menjadi pahlawan baru olahraga kita.
Anak muda yatim piatu yang berasal dari keluarga miskin di Dusun Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, jadi juara dunia U-20. Hal yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Karirnya dimulai ketika Zohri di SMP dilatih gurunya untuk pindah dari cabang kegemarannya sepak bola ke atletik.
Rosida Guru olahraga yang melihat bakat terpendam Zohri dan mengikutkannya pada lomba O2SN sebagai utusan kabupaten.
Menjadi juara lari di ajang itu membuat Zohri terpilih untuk masuk Pemusatan dan Latihan Pelajar (PPLP) NTB. Setelah itu prestasinya terus meningkat.
Cerita tentang Zohri tersebut mengingatkan penulis untuk mengomentari berita yang belakangan viral. Dinas Pendidikan Kepulauan Bangka Belitung membatalkan O2SN.
“Kalangan wali murid siswa atlet O2SN menyesalkan tidak diselenggarakan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) SD/MI dan SMP/MTS tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2024. Sebelumnya para atlet itu sudah menjalani TC pada tahun 2023 di tingkat kabupaten/kota”. Begitulah salah satu berita yang dikutip dari RRI.co.id.
Tak hanya itu saja, di laman instagram berita tentang pembatalan O2SN ini juga mendapatkan banyak tanggapan dari netizen.
Sementara di Bangkapos.com bahkan surat dari kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Ervian kepada para kepala dinas kabupaten/kota tertanggal 15 Februari 2024 juga ditampilkan cuplikannya.
Alasan pembatalan tersebut karena terkesan klasik. Tidak ada dana. Masalah lainnya adalah, di tingkat kabupaten/kota mereka sudah menganggarkan.
Bahkan mereka sudah persiapan dengan latihan dalam menghadapi kegiatan O2SN. Maklumlah O2SN ini merupakan kegiatan rutin dari pemerintah pusat sejak tahun 2008 silam.
Teman saya seorang guru olahraga yang telah lama malang melintang mendampingi para murid menyesalkan pembatalan ini.
“O2SN itulah kegiatan yang paling ditunggu oleh para atlet pelajar, orang tua dan terutama guru olahraga tingkat SD dan SMP. Bukankah kita diminta membina calon atlet dari usia dini. Kalau itu pun dihapus apa lagi yang menjadi ajang kami untuk memperlihatkan hasil latihan yang kami lakukan kepada anak-anak,” jelas teman saya itu.
Ia kemudian menjelaskan atlet-atlet daerah berprestasi yang berasal dari lomba-lomba di tingkat pelajar.
“Memangnya atlet itu langsung jadi? Langsung berprestasi bagus seperti yang terlihat sekarang? Mereka kan semuanya berlatih sejak dari pelajar,“ jelasnya dengan emosi.
Olahraga memang seringkali dianggap tidak penting. Bahkan terkadang dipandang sebelah mata. Apalagi olahraga di tingkat pelajar dan di daerah.
Orang baru tertarik membicarakannya paling-paling ketika ada hal yang mengejutkan.
Setelah itu perhatian hilang lagi. Kasus pembatalan anggaran kegiatan O2SN ini contohnya.
Fenomena ini melengkapi bagaimana perhatian masyarakat pada umumnya terhadap olahraga.
Salah satu contoh lainnya dapat dilihat dari pemberitaan yang ada di media.
Kebanyakan media lokal hanya tertarik pada olahraga tingkat dunia. Lihatlah betapa menonjolnya berita tentang liga sepakbola Inggris, Italy dan Spanyol.
Sementara liga atau pertandingan tingkat lokal sangat jarang diberitakan.
Lihatlah pula begitu gencarnya berita tentang balap motor dunia. Gran prix dan balap mobil formula. Atau liga basket Amerika dan tinju dunia.
Semua ajang pentas dunia yang hadir di pemberitaan lokal yang mengikuti skenario jaringan media internasional. Dan media kita hanya jadi pengekor.
Kita lalu kehilangan berita tentang atlet-atlet lokal yang merasa berjuang sendiri di jalan sepi.
Kekurangan perhatian, spnsor dan dana, tetapi diminta punya prestasi tinggi. Mesti menang kalau bertanding atau ikut lomba. Dicaci bila tak berprestasi dipujapuji bila berhasil meraih trophy. Hanya sebentar. Setelah itu kembali sepi.
Itu jugalah mungkin yang dialami oleh Lalu Muhammad Zohri. Ketika ia menjadi tenar. Buah bibir dimana-mana. Maka berebutanlah orang-orang membuat panggung untuk dirinya sendiri dan Zohri.
Hadiah bertubi-tubi datang menghampiri. Mulai dari hadiah rumah, kendaraan, bonus rupiah sampai kepada fasilitas untuk masuk kerja sebagai PNS.
Haruskah kita menjadikan orang-orang seperti Zohri yang mengajari kita akan pentingnya menyelenggarakan pembinaan atlet sedari dini.
Bukankah kecerdasan tak hanya perkara intelektualitas dan logika semata. Ada setidaknya sembilan macam kecerdasan yang semuanya mesti dikembangkan bila kita ingin menjadi manusia tangguh.
Salah satunya adalah kecerdasan kinetik atau gerak yang distimulan oleh kegiatan-kegiatan seperti olahraga.
Nampaknya memang kita mesti belajar banyak untuk menjadi lebih bijaksana dan pintar. Karena itu makan waktu.
Maka kita tunggulah dulu. Mungkin sampai saatnya nanti kebijaksanaan hadir ketika kuda sudah makan besi.
Kita rasanya memang seperti sedang menunggu seorang juara yang tak dirindukan. Wallahualam bissawab. Salam Takzim.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.