Berita Pangkalpinang

Suku Lom di Bangka Kurang Mendapatkan Perhatian dari Pemerintah dan Terancam Punah

Jika kondisi itu berlarut-larut, kebudayaan Suku Lom dan Lembaga Adat Mapor bisa tergerus bahkan mengalami kepunahan.

Penulis: Adi Saputra | Editor: Hendra
(Ist/AJI Pangkalpinang)
Tangkapan layar zoom meetting diskusi media launcing temuan hasil pemantauan kebijakan Pemerintah daerah melalui audit sosial. 

Teddy Malaka menyatakan, dari wawancara dengan berbagai pihak menunjukkan bahwa Suku Lom 
Bangka, terutama Lembaga Adat Mapor, tidak mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah, sehingga belum memberikan dampak positif pada kelompok marjinal tersebut.

"Pembina Lembaga Adat Mapor menyatakan bahwa Suku Lom tidak merasakan manfaat besar dari 
program pemerintah. Pengakuan dan dukungan anggaran masih belum mencapai kelompok rentan 
tersebut," terangnya.

"Pembangunan gebong memarong yang merupakan rumah adat Suku Lom dilakukan oleh PT Timah Tbk melalui program CSR dan swadaya dari orang-orang lum serta warga yang peduli kata 
Teddy Malaka.

Dalam proses audit sosial ini, dalam wawancara dengan Teddy Malaka, Kepala Bappeda Fery Insani mengaku belum ada program secara khusus terhadap pengakuan masyarakat hukum adat Lembaga Adat Mapor/Suku Lom. 

Ia juga berterima kasih telah diingatkan tentang tidak adanya anggaran kepada Lembaga Adat Mapor/Suku Lom.

Fery insani mengakui lemahnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang dan mengungkapkan masyarakat mengusulkan program pembangunan fisik, dibandingkan program pengakuan masyarakat hukum adat.

"Meskipun Pemda mendorong keterlibatan publik melalui Musrenbang dan usulan RKPD melalui sistem online, terlihat bahwa kelompok marjinal seperti Suku Lom belum tersentuh dan lemahnya 
partisipasi masyarakat dalam Musrenbang menjadi kendala," jelas Teddy Malaka.

Berdasarkan keterangan Hafiz, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Babel, menyebutkan organisasi masyarakat sipil di antaranya Walhi tidak dilibatkan oleh pemerintah dalam hal perencanaan kegiatan, sehingga menilai partisipasi publik dalam pembangunan sangat kecil.

Ketua AJI Pangkalpinang, Barlyanto menyebutkan pemerintah kurang peduli terhadap pengakuan masyarakat hukum adat, penetapan wilayah adat dan hukum adat.

"Minimnya partisipasi masyakat dalam kebijakan anggaran. Seharunya resprestatif masyarkat adalah DPRD, namun wakil rakyar tidak peka terhadap keberaaan Lembaga Adat Mapor, Suku Lom," kata  Barlyanto.

Dari audit sosial tersebut, AJI Pangkalpinang menyimpulkan :

1. Berdasarkan hasil audit sosial, dapat disimpulkan bahwa Suku Lom Bangka masih menghadapi ketidakpedulian dari pemerintah daerah. Suku Lom Bangka, terutama Lembaga Adat Mapor, mengalami keterpinggiran oleh pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Babel . 
2. Tidak adanya dukungan finansial yang signifikan dari pemerintah menyebabkan Suku Lom belum merasakan manfaat besar dari program pembangunan. 
3. Izin usaha pertambangan, konsesi sawit, dan hutan tanam industri menjadi ancaman serius terhadap ruang hidup Suku Lom. Degradasi lingkungan yang masif disebabkan oleh ekspansi 
perusahaan menyebabkan lahan atau hutan adat orang Lom dalam kondisi kritis.
4. Suku Lom masih belum mendapatkan pengakuan hukum dan perlindungan yang memadai dari pemerintah daerah. Perlindungan hukum dan pengakuan wilayah adat serta kebudayaan mereka masih menjadi isu yang belum terselesaikan.
5. Lemahnya partisipasi masyarakat, termasuk Suku Lom, dalam Musrenbang menjadi kendala serius dalam menentukan prioritas pembangunan. Prioritas program pembangunan fisik cenderung lebih diutamakan dibandingkan program pengakuan dan perlindungan 
masyarakat hukum adat.
6. Lembaga Adat Mapor/Suku Lom mengalami ketergantungan pada sumber-sumber eksternal, seperti bantuan dari PT Timah Tbk, untuk membangun rumah adat. Ketergantungan ini menunjukkan ketidakberdayaan dalam memperoleh dukungan finansial dari pemerintah daerah.
7. Keberpihakan program pemerintah yang dipimpin penjabat kepala daerah belum 
menyentuh terhadap masyarakat marginal seperti Suku Lom.

Oleh karena itu AJI Pangkalpinang merekomendasikan :
1. Pemerintah daerah perlu segera memberikan pengakuan hukum yang jelas terhadap Suku Lom, termasuk penetapan wilayah adat dan hukum adat. Penyusunan dan penegakan peraturan daerah yang melindungi ruang hidup dan kebudayaan Suku Lom harus menjadi prioritas.
2. Pemerintah daerah harus mengambil tindakan serius untuk melindungi lingkungan hidup Suku Lom dari dampak negatif industri pertambangan, sawit, dan hutan tanam industri.
3. Program perlindungan lingkungan yang melibatkan masyarakat hukum adat perlu 
dirumuskan dan diimplementasikan. Peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk Suku Lom, dalam proses perencanaan pembangunan harus didorong.
4. Program pemberdayaan masyarakat hukum adat perlu dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian mereka. Pemerintah daerah harus mengevaluasi dan memastikan efektivitas program pengakuan dan pemberdayaan lembaga adat, khususnya Lembaga Adat 
Mapor/Suku Lom.
5. Peningkatan alokasi anggaran yang tepat sasaran untuk mendukung program tersebut perlu dipertimbangkan. Pemerintah daerah dan lembaga terkait perlu membuka dialog terbuka dengan Suku Lom untuk memahami lebih baik kebutuhan dan aspirasi mereka.
6. Mendorong keterlibatan lembaga sipil dan media massa dalam mendukung hak-hak dan kesejahteraan Suku Lom. Oleh karena itu, direkomendasikan agar pemerintah meningkatkan keterlibatan publik, memberikan pengakuan hukum adat, dan memberikan dukungan finansial kepada Suku Lom untuk memastikan keberlanjutan budaya dan kehidupan mereka. (Bangkapos.com/Adi Saputra).

Sumber: bangkapos.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved